NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Sabtu, 31 Desember 2011

31 Desember 2011

Aku tidak pernah mau menutup mataku, mencabut satu alis dan mematikan saraf penglihatan dalam beberapa detik

Aku tidak pernah mau menutup hidungku, menyumbat lubangnya dan berganti bernapas lewat mulut

Aku tidak pernah ingin hidup di hari kiamat, karena pasti akan lebih menyakitkan matinya

Aku ingin mati saat ini, agar mengurangi roda dosaku

Apa yang belum bisa kucapai seperti semakin menjauh dan pergi, lebur pada desir anginan malam

Rasanya seperti mati berdiri di tempat aku memangsa darahku, setelah mendengar prioritas utama yang kukira membuat bedebah debu iri pada kita

Tidak seperti yang aku impikan

Aku belum siap untuk meninggalkannya,

meninggalkan

2011

untuk

2012


PS: Selamat jalan, mimpi..


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Selasa, 27 Desember 2011

Oh.. Mek..

Ini bukan tentang kamu. Lagi-lagi selalu kamu menjamur menanti sebuah sindiran dariku yang sok puitis dengan puisi yang kutulis, bukan? Ini bukan tentang kamu!

Di atas nisanmu, puisi ini sengaja kutulis dengan darah bekas sayatan jenuh pada tuhan mata yang merajammu. Dengan memanah utusan warna yang kamu torehkan pada kanvas hitam pagi itu. Jengah?

Sudah pahamkah kamu bahwa pagiku selalu indah dengan ukiran baja di antara lembab embun bukan gerimis pekat seperti di maret itu? Sudah kutinggalkan hinaan bual yang bapak sodorkan sebelum beliau berangkat menuju pabrik sorban, ini tetap tak pernah kutulis untukmu.

Memanah dengan ujung tombak telur berdarah, eh, bukan karena retak hampir pecah untuk embrionya yang baru. Ibu memanen gundah pada genangan malam, tidak setitik pun berhasil dikurasnya karena memang terlalu deras kumpulan-kumpulan rela itu. Di balik sebuah titik, aku mencelamu pada sore, ini jujur.

Aku tak pernah sayang padamu, oh.. Mek..


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Terasa Hambar

Pagi ini tanpa guratan senyummu

Pagi ini tanpa desiran nafas dari dinginmu

Pagi ini tanpa pelukan hangat auramu

Pagi ini tanpa ucapan selamat datang dari kelopak bibirmu

Pagi ini tanpa jengah yang kautinggalkan

Pagi ini tanpa resah yang kaugambarkan

Pagi ini tanpa kenangan semu

Pagi ini tanpa rasa cintaku pada malam yang sebelumnya kubenci

Pagi ini tanpa kamu

Tanpa

Kamu


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Senin, 26 Desember 2011

K I T A


Aku ingin berhenti memanggilmu “dear” di depan namamu

Ya, aku hanya tak mau menyamakan aku dengan masa lalumu

Mungkin kamu bernyatakan aku yang sama, ya, aku hanya tak mau ada yang “sama” dari masa lalu di antara kita, ya, kita itu “kita”, bukan?


Aku ingin berhenti memanggilmu dengan sebutan karakter sebuah film kartun

Ya, aku tahu memang itu bukan favourite-mu yang sebenarnya, hanya karena sebutan (lagi-lagi) masa lalumu

Aku berusaha memberikan sebuah kue tart berbentuk itu di harimu yang lalu

Semua setuju

Namun akhirnya gagal karena tak tahu gagal


Kamu sudah kupatahkan?

Selasa, 20 Desember 2011

Pematah Penamu

Di depan sebuah ruang kosong dengan background yang gelap

Di antara beberapa cangkir kopi, kali ini kopi yang kuteguk bukan hitam

Di bawah jatuhan gerimis angin yang semakin membungkam dingin

Ah, kusorot kopi baruku

Kecoklatan

Berbusa

Choco granule

Aku membenarkan pada guntur

Ini hari ke berapa aku mematikan beku, memuncakkan banjir di atas jurang hampa

Rajin, ya?

Kumatikan segala mood yang sedang di atas kelabu

Jahat!

Aku penjahat?

Atau, pematah?


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Calon Istriku Seorang Wakil Presiden

Aku tidak mampu berkata apapun. Ini sangat berat. Hei, aku bangga! Aku merasa hebat, dia hebat. Sudah berevolusi jauh di atas mimpi. Aku masih konstan.

Calon istriku, wakil rakyat. Lalu, kamu bisa apa?


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Minggu, 18 Desember 2011

(Fake) December

Our nice dream is coming

It is really our ideal dream

Grow up into the betrayal cave and make it to be a big strong stone

The stone protects us from the worst jail

Have you mention about our dream list?

This is really great way, great moment

Yeah, it’s December now, isn’t it?

It’s really great, unfortunately it’s just a dream in the dream


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

3D

Aku masih tenggelam di antara darah-darah pemberantasan hampa

Di sana saat aku terpuruk pada risau jengah dengan pisau menggebu, lepas kosong menarik angan

Ini bukan kutulis lagi di atas nisan timbul yang kumaki

Emboss

Itu efek palsu huru jumpa kepada lemah

Kepada malam aku mencaci fana karena aku tak lain tertelan jemu

Inikah yang dinamakan resah?

Ini atau lemah?

Guratan heran pada masa lalu jinak menyapa kaki dengan membasuh pupil mata

Tiga dimensi

Tentang tiga refleksi

Masa lalu

Tidak sama


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Jumat, 16 Desember 2011

Eksekusi

Aku di tengah rakyat jelata yang sedang menggenggam sebuah tomat

Siap melempari aku saat diaba-aba mulai

Harusnya, aku lebih memilih untuk segera lompat dari tali pasung ini

Agar pisau raksasa itu segera memenggal kepalaku

Sejujurnya, aku sudah sangat sakit pagi itu

Ternyata pagi tak seindah yang kupikirkan,

harusnya juga kubenci pagi seperti malam

Aku lebih memilih

Mati


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Kamis, 15 Desember 2011

Th-ur-s-day

Thursday morning.

I hate Thursday as yours. Yes.


Thursday afternoon.

I really hate Thursday like you hate it.


Thursday evening.

I’m sure that I hate Thursday as much as you done


Thursday night.

I prefer to close a couple of my eyes than I said that I hate Thursday same as you.


Thursday midnight.

Bloody damn! I can’t close my eyes, because of the dump moment, Thursday!


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Jumat, 09 Desember 2011

Konstan

Apa ini?

Gerimis, hujan di tengah terik?

Aku semakin dikalahkan air-airnya hingga lekuk jemari yang kuhamparkan tak terlihat

Fatamorgana di atas aspal lenyap, padahal aku suka menipu pengendara-pengendara polusi yang bodoh itu, mereka seakan tergoda oleh segarnya siangku

Ah, entah pagi, siang, sore, petang, atau malam

Aku bukan keledai

Karena pengulangan kesalahanku lebih dari tiga kali

Aku tetap mencintainya


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Kamis, 08 Desember 2011

Tribute to Almarhum Muhammad Dedy Rizaldy


Selamat.

Selamat.

Selamat.

Selamat.

Selamat.

Selamat.

Selamat.

Selamat.

Selamat.

Selamat.

Selamat.

Selamat.

Selamat.

Selamat.

Selamat.

Selamat.

Mengulang sebuah angka lahir.

Meskipun sudah di tempat yang berbeda.

Buku ini untukmu, mengenangmu, Malaikat...


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Rabu, 07 Desember 2011

Nightmare

Seperti sedang tenggelam. Ini persis seperti refleksi tubuhku di depan cermin yang sengaja diretakkan oleh siraman whisky sisa pemabuk semalam, saat ia kalah telak di arena perjudian agama. Frustasi, aku termangu pada titik embun dan hujan yang menetes di daun pandan pagi ini, ini mimpi? Ini mimpi!

Aku tertidur selama 38 jam. Mungkin lebih dari itu, sambil menggerogoti jerami jalang pada kosong, meneguk darah hijau pada fase puncak sebuah kejuaraan kelam. Ini bukan sebuah kemenangan.

Aku tersudut pada dini hari, aku tertutupi oleh kabut dari segala mimpiku di masa depan. Aku tak pernah ingin mengakhirinya.

Ini mimpiku. Lalu aku masih berlari sambil bergerinjang sepi melewati sebuah jembatan jenuh yang dihabiskan perokok-perokok berat dengan napas engah dan enyah. Aku masih berlari untuk penggapaian meski semakin jauh. Masih menghirup dengan sengaja, air sisa embun pagi itu.


Catatan: Ditulis di SCS Universitas Brawijaya, setelah 38 jam itu.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Selasa, 06 Desember 2011

38 Jam


Untuk 38 jam itu

Aku dan kamu

Aku dan pagi

Aku dan embun

Aku dan sampah

Aku dan dhuha

Aku dan terik

Aku dan siang

Aku dan matahari

Aku dan letih

Aku dan asa

Aku dan sore

Aku dan penat

Aku dan after hour

Aku dan kelam

Aku dan Venus

Aku dan senja

Aku dan jingga

Aku dan kabut

Aku dan dingin

Aku dan beku

Aku dan malam

Aku dan bulan

Aku dan bintang

Aku dan dini hari

Aku dan nol derajat

Aku dan tidur

Aku dan terjaga

Aku dan mimpi

Aku dan kokok

Aku dan subuh

Aku dan fajar

Aku dan embun

Sampai 38 jam berikutnya


PS: Ini hari bahagiaku, namun mungkin bukan untukmu


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Jumat, 02 Desember 2011

Aku Benci (Jika Tidak) Mencintaimu


Aku benci mencintai kamu

Kamu selalu mendominasi segala pikiranku

Selalu mengalihkan segala yang harus kukerjakan

Selalu membuat aku tidak FOKUS!


Aku benci mencintai kamu

Kamu selalu memakan semua organ pencernaanku

Selalu membatalkan laparku ketika bertemu

Selalu menutup kantong haus di tengah hari


Aku benci mencintai kamu

Kamu selalu mencuri sedikit demi sedikit hatiku

Selalu mengambil rajin organ-organ cintaku

Selalu membungkus raga percaya dan membawanya pulang


Aku benci mencintai kamu

Kamu selalu berhasil meninggalkan benih rindu di tengah mimpi

Selalu membuat aku membayangkan bagaimana kecantikanmu

Selalu memaksa mata berhalusinasi melihatmu


Aku benci mencintai kamu

Sialnya lagi, aku lebih benci jika tidak mencintaimu


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Kamis, 01 Desember 2011

Selamat Datang, Desember


Sebongkah sampah dari masa lalu membau busuk dan menerkam hidung

Liriknya semakin basah dan lembab akibat radiasi pagi

Pagi itu beda, sampah yang siap dikemas lalu dibuang tanpa didaur ulang

Sampah itu telah mati, hilang dari fungsi utamanya

Buruk tak sejernih barang baru yang menangguhkan malam,

atas kekuatannya menopang kelabu

Mimpi itu telah jadi sampah

Merekah pada kolom-kolom pembaharuan mental

jenuh mata meranah gerimis


Setitik cahaya dari matahari pagi

Ini masih sedikit fajar, matahari hanya mengintip alam yang masih pulas

Terang, menetralisir segala racun yang memakan hati

para pria-pria hidung belang, pada malam di tiap kabut

Matahari menetralisir kabut pagi, menghilang dari guratan buta

yang melamun di atas permukaan jurang harapan

Penerangan hingga benih terpecah lebur hingga luntur

dan membaur kosong di antara kantong

Ini adalah matahari, penerang kelam


Lalu, akukah sampah, atau matahari?


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Selasa, 29 November 2011

Ini Sudah Pagi, kan?

Pagi itu aku masih buta. Harusnya ketika terbangun, dapat kuhirup aroma gerimis fajar yang menyepoi tanah liat dengan segar. Aku telah belajar mencintai malam dengan segala usahaku. Nyatanya malam masih kejam dan menghinaku di depan berjuta kunang-kunang. Tentu, ini mengubah faktaku bahwa aku tidak benci malam, aku semakin benci malam.

Menggeliat kesakitan di antara subuh tanpa tangis sepi jalanan yang basah oleh air mata nista para budak-budak trotoar. Aku terjerembab pada permainan yang kugambarkan sendiri rancangannya di dinding kamarku. Ya, kugambarkan rancangan itu dengan spidol fosfor agar tak mudah terlihat oleh mata telanjang.

Aku masih mengantuk. Aku pura-pura. Pagiku hambar. Ini sudah pagi, kan?


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Minggu, 27 November 2011

Titik Lebur Air Mata

Jadi, ini hari burukmu, ya?

Pasti karena aku melantunkan lagu kematian di tiap desir telingamu

Atau karena aku rajin menyapu gembiramu dan membuangnya ke tong sampah?

Mungkin sedikit olesan emosi yang kamu tuangkan dalam madu pagimu

Itu yang sedikit mematikan jera yang kamu rasakan

Ya, jera


Ini pasti hari burukmu

Bisa aku melihatnya dalam tiap detik jalanmu

Pagi

Siang

Sore

Malam


Aku sangat yakin

Ini hari burukmu

Kamu melipat segala senyum di tiap detil tubuhmu

Embun pagi

Matahari siang

Venus sore

Bulan petang

Bintang malam

Ya, di tiap satu momenmu, kamu melenguh sakit


Tapi hanya malam ini, aku bisa merasakan indahnya ungkapanmu

Indah, karena tak pernah semudah biasanya untuk kudapat

Indah, menanti sepanjang hari untuk keluarkan hibahnya

Indah sekali


Hari burukmu,ya?

Dan hari ini aku mulai belajar mencintai malam


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Sabtu, 26 November 2011

Kelu

Air

Tak kutemukan lagi hujan tiga hari

Tak kuminum pula ronggokan mimpi dalam sepi

Luluh dalam peluh yang melebur dengan dubur

Pembunuh dengan asap-asap meresap hinggap pada lembab


Air

Pada subuh aku meronta dingin

Jenuh untuk penat yang merenggut senyap kelu

Aku tersiram pada deburan sinar mata

Jubah putih penutup tepi jurang merangsang gendang


Terkulai terkapar gempar pada hambar maghrib

Tetap kutatap jauh ke dalam sorot juangnya yang siap menerkam

Terkam cinta pada tinta kelam


Rajin menggetar jiwa hingga luluh lantah terlintah hina lalu sepi

Lagi

Sepi

Dan malam

Untuk guratan air dalam kendi yang segar

Beraroma batu patung candi benak sang pemimpi

Malam masih kelam


Aku masih cinta

Meski aku terjebak dalam beku

Meski aku bergetar dalam angin

Aku dingin


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Sedang Stres

Setengah sepuluh pagi.

Fly over.

Operasi.

Tertangkap basah.

STNK direnggut.

Tilang.


Stres.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Selasa, 22 November 2011

Hermeneutika

Harus dijelaskan, ya?

Seberapa dominan rasaku pada embun, seberapa luas lautku untuk pagi?

Harus diteliti, ya?

Seberapa dalam hatiku untuk matahari dhuha, seberapa tinggi pandanganku pada sinarmu?


Semua tak perlu kujabarkan hingga terkemuka beberapa rumus tak penting

Ketika lidah kelu menyapa angin sepoi

Saat itu embun sedang cacat, ia datang dengan pincang lalu tumpang

Tenggelam di antara titik-titik gerimis dingin yang memusingkan ubun-ubun


Lalu masih perlukah untuk kujelaskan naskah di atas penelitian?

Haruskah kujelaskan lagi?

Aku cinta kamu

Titik

Tidak ada penjelasan lagi


PS: Mungkin kausebut rabu itu kulupakan. Namun tak pernah kulupakan di tiap kamis pagi itu, kita.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Senin, 21 November 2011

Ini Sudah Pagi

Eh, ini jam berapa?

Mataku mulai bosan terlalu lama terpejam

Mataku ingin menghirup sejuknya embun

Mataku ingin sadar dan terbuka

Mataku tak pernah ingin mandi gelap malam yang mereka sebut kelam

Mataku jenuh pada beku malam yang sok tahu

Mataku tak mungkin terjaga lagi untuk jurang-jurang mimpi

Mataku bukan hina

Mataku...

Ini sudah pagi...


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Minggu, 20 November 2011

Aku Benci Malam


Aku benci malam, tak sepertimu

Kamu bilang malam itu indah, dingin, romantis

Nyatanya, malam itu busuk, kejam, dan seenaknya sendiri

Malam yang memisahkan matahari dan embun pagi,

malam yang menghapus relief langit tanpa gundah dengan balutan awan putih,

malam itu kejam, ya?


Malam selalu datang dan menjadi larut, mengusir aku dari pelataran rumah kosmu

Aku tak pernah ingin berhenti menyentuh lantainya, di atas trotoar itu

Menyilangkan kaki-kakiku di antara kakimu,

menafsirkan malam dengan tabu dan tak lazim

Mengkritik tiap detil mata memandang malam yang gelap dan busuk, siap menerkam

Memang pantas dikritik, malam memang pantas


Aku benci malam, yang selalu mengkonversikan geliat tawa bahagiaku menjadi gurat sedih dan kecewa saat memisahkan senyummu dari pupilku

Aku tak pernah suka malam, gelap dan mendung, meski tetap dihuni bintang

Malam itu kejam


Aku benci malam

Aku cinta kamu

Aku benci mencintai malam, dan kamu

Mencintaimu menggilakan aku, membutakan aku

Aku buta

Aku cinta


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Kamis, 17 November 2011

Dan Embun


Matahari pagi

Pagi ini ingin kupeluk dengan napas hangat di antara para embun

Meski mereka menerobos di sela-sela jendela yang masih tertutup rapat

Suara keras pejantan-pejantan ayam bersahutan membangunkan alam, bahwa dunia masih milikku, dan kamu

Masih dalam konteks kesegaran embun, bukan kebekuan lagi

Kamu ada di antara embun, lalu secercah sinar dari matahari menerobos lalu meruntuhkan beku yang telah kadaluarsa, aku siap menyambut langit

Meski yang datang beberapa gerimis sepi dengan campuran air hitam kelam

Ya, aku matahari

Lalu kamu embun

Aku menghangatkan pagimu

Kamu menyejukkan pagiku


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Jumat, 11 November 2011

11-11-11...?

Spesial?

Pakai telur?

Tidak?

Lalu apa yang spesial di hari ini?

Tanggalnya?

Atau karena cantik?

Atau karena kembar?

Bisa menghasilkan uang untuk makan saya sehari-hari?

Tidak juga?


Ah, hari ini ternyata lebih buruk..


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Kamis, 10 November 2011

Mata (Masa) Lalu


Sore ini aku terpukau, menatap jauh ke dalam matanya

hingga tak berkedip nol koma sekian detik pun

hanya agar tak kehilangan sepeser cahaya pun dari sorotnya

Jauh, kutikam jauh ke dalam matanya

dan tak kulewatkan sejengkal jari pun agar tak tertinggal

oleh mimpinya, cintanya padaku


Juga kuraup beberapa aroma parfumnya yang memaksaku

terpikat pada sepi, tergetar oleh anggunnya senja

Sengaja kuletakkan parfumku sejenis dengannya,

Maksudnya memang agar kami terlihat match satu sama lain

Rabu, 09 November 2011

Delapan Bintang


Malam itu gerimis setia menyapa beku untuk selalu (dan masih) menampar aku

Pada embun, awan tak bergeming sepi dan berkedip

Hujan yang mendominasi gundah malamku seakan mematikan rasa lelah

Harusnya malam ini


Ya, malam ini

Malam dengan segala penyambutan hebat di antara bintang dan bintang

Bintang

Bukan hujan!

Bukan hujan lagi yang selalu kausebut aku mencintainya, ini bintang!

Sekitar delapan kali kuulang pengucapan mantra pada langit

Berharap lebih untuk semua kabut agar segera beranjak dari selimut malam

Lalu tersingkirkan oleh rasi-rasi bintang yang harusnya datang

Malam ini


Sengaja kubuai guntur agar tak mendengar rintihan pelacur malam

Aku bangun, atas mimpi-mimpi yang lama kugantung di kamar mandi

Kubiar hingga mengembun busuk di samping air lusuh

Saat mencoba untuk meraih kembali, sedikit telah luntur dari genggaman

Tidak, ini masih mimpiku


Tak pernah aku hapuskan gelap dengan paksa

Hanya karena aku terlalu membara, bersemangat menampik gerimis

Hanya untuk merangkai bintang menjadi mimpiku, nyata

Ini nyata, aku dan bintang nyata

Kami nyata


Aku bahagia, gundah terusik dari mimpi dengan penat yang pergi berlalu karena bosan

Aku berhasil

Kugubah malam tanpa angin dingin

Lalu kurangkai lagi bintang ini, delapan


#8thjrocks1spirit


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Minggu, 06 November 2011

Dia Tak Pantas Untuk Aku


Ketika sebutir sampah (tak perlu kugambarkan cirinya, kau pasti paham bagaimana busuknya) berdiri tegak di samping bunga melati putih dengan harum yang luar biasa.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Jumat, 04 November 2011

Merdeka

Indonesia

Negeriku yang merdeka

Katanya merdeka

Bahkan kami tak mengerti arti merdeka seperti apa

Merdeka itu apa?

Bisa tolong kalian jelaskan padaku, apa itu MERDEKA?


Merdeka untuk mati, bukan mati untuk merdeka

Merdeka untuk makan apapun

Merdeka untuk minum apapun

Merdeka lalu tertawa, tanpa pertahankan mata?

Merdeka itu apa?

Atau tentang kematian saat pembelaan harga diri?

Aku ingin merdeka


Merdeka untuk korupsi

Merdeka untuk memperkosa

Merdeka untuk kolusi

Merdeka nepotisme

Merdeka berkhianat

Merdeka telanjang di depan umum

Merdeka menghamili paksa

Merdeka menghirup nikotin

Merdeka sakaw


Yang malam ini kulihat, banyak lampu gemintang

Lampu-lampu itu membunuh arti merdekaku

Yang awalnya kuterka, merdeka itu gelap dari pahala

Penuh lari dari merah darah, putih tulang, seperti kata mereka

Degup jantung semangat rebut kebebasan telah hilang


Berarti, merdeka itu maksiat?

Lalu, mengapa berbeda dengan di kitabku?

Aku masih berjalan di tengah mimpi, lalu mati

Ini sudah merdeka?

Aku belum merasa bebas sama sekali

Tolong, bisakah kalian tunjukkan, tunjukkan padaku!

Apa itu merdeka?


Semua serba merdeka, Indonesia merdeka!

Oooo.. Kami paham, merdeka itu bebas, bukan?

Bebas! Semua bebas memakan negerinya sendiri

Matahari sangat akrab memberi peluh

Kami meminum keringat kami, kurang, kurang air minum

Semua tercemar

Inikah negeriku yang kaya?

Kaya utang? Kaya korupsi? Kaya pornografi?


Lalu apa yang harus kami banggakan?

Banyak tamu datang, kami malu, malu!

Kami malu atas kekotoran yang terjadi di pakaian kami

Atas noda-noda sampah ciptaan dari pemaksa

Tapi kami menunggu,

Kami masih menunggu tanpa tahu kapan datangnya titik itu

Kau, kami, kita adalah yang harus mengubahnya, mengubah makna merdeka itu

Itu kau


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Terakhir


(Mengertilah, R)

Mungkin aku sedang bersalah pada bulan. Kubual dia hingga membangkang ketika malam harus datang. Atau, dia membuali aku yang terpaksa menurut pada malam? Hai bintang, jatuhkan bidadarimu agar aku tak bimbang dalam memilih jalan! Aku telah mengantongi sebuah bintang pijar untuk menuntun jalanku di tiap terjal langkah, untuk menamparku halus saat aku tersandung. Harusnya menolong, mengapa menampar? Oh, mungkin harus jauh lebih mempertegas.

Kupikir ini memang pilihanku, yang jauh terbaik untuk bekal dalam jalanku lurus ke depan. Juga pernah dibisikkan padaku jangan sekali-sekali menoleh ke belakang. Berjalan harus menatap depan, agar tak terjatuh jika tersandung dan terganjal batu dunia. Segala yang membunuh kelu lidahku juga sempat (selalu) dibersihkannya dengan telaten dan tanpa pamrih. Atau aku yang kurang peduli? Lalu apa yang harus kulihat?

Sayang, aku selalu paham apa yang kautasbihkan hanya untuk perlakuan terbaikku. Kaujaga api kecil yang menyalai lilin ini, terang (sedikit) dalam gelap pekat dan angin semilir beku yang meleburkan pompa nadi biru. Sayang, aku tak paham apa yang telah kuiriskan pada lehermu, hingga kau tak lagi bernapas dengan lancar, bibir merahmu membiru kelu tak berucap satu patah pun. Lalu kau berbalik dan menjauh dari mataku. Hey, harusnya jalanmu ke arahku, ke arah yang sama denganku. Kau salah jalan, sayang, kemari dan tuntun aku kembali. Aku, aku sedikit (selalu) rindu pada tuntunmu yang mendorongku menghindar dari lubang jerami di tengah rawa.

Mengapa tetap tak kaupalingkan wajahmu menghadap aku? Ini aku yang merindumu, aku rindu! Mungkin akan sedikit terasa hilang, namun selalu tak bisa (karena aku tak mau) hapuskan jauh-jauh hari yang penuh arti, tentang perjalanan kita. Lalu di mana saja partikel yang pernah kaurawatkan untuk aku? Haruskah kau buang juga di tempat sampah? Aku telah akrab dengan sampah, bau busuknya sangat wangi kuhirup (tanpa terpaksa) di tengah keringat busuk petinggi negara. Aku telah terbiasa, atau aku telah cinta? Sayang, kembalilah!

Aku cinta, kita telah bertemu. Lama. Seperti dulu.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Rabu, 02 November 2011

500 Detik

Jadi, 500 detik itu berharga sekali

Malam ini, lagi-lagi menabrak pandangannya,

memaksanya untuk kuat melihat serta meraih cahaya mata itu

Meski sebelumnya tak pernah nyata dan selalu sementara


Di 20 detik pertama,

memang belum terlihat apapun, masih belum berubah sedikit pun

Wajahnya tetap seperti apa yang kusuka

Senyumnya?

Sama, masih seperti yang kusuka


Di 80 detik kedua,

lalu kucoba bereksperimen

Kubayangkan guratannya itu orang lain

Gagal

Ia tetap masih sama

Tetap sama

Bahkan sorot itu tak pernah bisa terwakili


Menjelang 500 detik,

ia mulai panik

Alibinya, ia takut aku lelah,

lelah menghadapi apa yang kutantangkan pada dunia

Ia terlihat melemah, seperti biasa,


telah berpijak tepat di detik ke-500, ia sudahi

inilah angka terbesarnya

Katanya,

ia akan bisa lebih lama lagi

Benar atau tidak, aku tetap gila malam ini

karena senyumnya

hingga di detik ke-500


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Seperti Embun, Seperti Matahari

“Kita seperti embun dan matahari, aku menyejukkanmu dan kamu menghangatkan aku. Tidak ada pagi yang cerah tanpa kita.”


Aku mencintaimu, embun

Pagi buta, kaucuri start di saat semua sedang lelap

Telah berkeliaran membasahi daun-daun malam

Menjaga tidur budak-budak bangsa, mungkin mencoba hapus lelah mereka

Bekukan air mata bekas tangis derita penyesalan semalam

Aku rindu Ibu, juga rindu betapa panasnya tempat lahirku

Embun,

Bedakan cuaca dengan tempat lahirku

Embun beku tak lagi sekadar sejuk lalu mematikanku dengan satu rasa

Cinta


Kau mencintaiku, matahari

Seperti pelumpuh dingin di gelap fajar, di tengah subuh saat kaubasuh air wudhu

Setengah dari pagi ini kauhangatkan dengan api besar yang tak tampak hebat

Ya, sangat remeh dan terlihat setitik kuman dari tempat kita berdiri

Jangan remehkan!

Coba saja menatapnya mata telanjang, tak kujamin matamu bertahan hidup-hidup

Segala yang tercipta tumbuh darinya, matahari

Kita berhenti melangkah jika matahari tak berkobar dengan lantang

Matahari,

Aku rindu

Hangat pelumpuh beku tak pernah gagal menorehkan satu rasa

Cinta


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Senin, 31 Oktober 2011

Oktober


Apa yang kalian lakukan?

Apa saja yang telah kalian lakukan?

Spesialkah bulan Oktober kalian?

Atau buruk?


Silakan kalian saling beradu teriakan

Oktoberku sangat sempurna, oh, mungkin hampir sempurna

Ini penutupannya, dan sangat sempurna meski belum terjadi apa-apa


Ibu mengulang umur untuk yang keempatpuluhtiga kalinya

Hari itu

Bulan ini


Juga kakak yang selesaikan penderitaan belajarnya selama empat kali duabelas bulan

Seorang ahli hitung

Dia hebat, sempurna


Sempat kujalani Oktober yang menyedihkan dan menjijikkan

Mengecewakan!

Namun inilah Oktober yang baru

Masih segar untuk kutarik napas

Oktober yang hampir sempurna, namun kukira tak seburuk bulan lainnya

Intinya, ini bulan terbaik tahun ini


Karena ada dia

Bukan seseorang yang baru, karena bukan tentang lama atau baru

Bukan seseorang yang pertama, karena bukan tentang pertama atau ke berapa

Dia itu satu, aku berusaha dan yakinkan dia yang terakhir


Bagaimana kalian?


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Minggu, 30 Oktober 2011

Alun-Alun Kota Wisata

Mungkin selalu berpikir akan hambar hari ini. Ya, bukan hari baik seperti biasa, yang setiap detik sangat berhasil dikonversikan menjadi hal indah karena matanya. Panas, gerah, sangat berpeluh meski bungkam di bawah atap tinggalku. Aku bahkan belum bertemu hujan sejak aku tinggal di sini, sekali saja, kecuali saat aku singgah ke pusat perkotaan. Ah, peluhku semakin menjadi.

Ya, mulai terencana. Satu pertemuan lagi. Mungkin tak akan pernah bosan dengan satu per satu pertemuan ini, justru semakin kecewa saat ada akhir dari pertemuan di tiap satu hari.

Di tengah petang dan awan penuh abu-abu, kesibukan kendaraan bermotor yang beradu klakson di tengah kota, tetap kulanjutkan langkah menuju pertemuan ini, pertemuan dengannya. Menuju kota atas, kota tetangga. Taman wisata kota yang baru, sangat baru. Kami duduk di tepi kolam dengan pancuran kebahagiaan yang kami ciptakan sendiri. Gelembung sabun masih akrab menemani tiap pertemuan kami.

Romantis? Terlihat sedikit berlebihan dengan pernyataan itu. Memang yang terjadi demikian. Iringan lagu karawitan ciptaan bocah-bocah lugu sangat cocok, aku terkagum-kagum. Senyum itu masih sangat terekam dalam pikiran (aku tak suka menyebut otak), mungkin tak akan mampu luntur meski dipaksa.

Kami menikmati indahnya kota kecil itu di atas kincir raksasa, memutar perlahan, hanya kami berdua di dalamnya. Bertatap muka, tanpa berkata namun sangat bermakna. Membisikkan kata itu lagi, masih sama, namun bermakna selalu bertambah dan bertambah, indah.

Malam ini sempurna. Di tengah taman wisata kota. Dingin, menjadi panas oleh satu pembius semua manusia, cinta.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Kamis, 27 Oktober 2011

Tak Tahan Lagi

Jancok!

Tempat apa ini? Tak lebih buruk dari lokalisasi bahkan tempat perjudian! Di sini serba munafik dan sok pintar. Lihat, kalian dibesarkan dari planet berpendidikan. Bahkan kalian tak pernah merasakan panas di luar siang sekali pun, meski sedetik. Lihat?

Tempat ini lebih buruk dari neraka JAHANAM sekali pun! Penjual-penjual makanan ringan mengais receh di depan tempat kami, ya, ini tempat kami, TEMPAT KAMI...!

Kami peras peluh ibu bapak untuk menampar tempat ini dengan bermilyar-milyar Rupiah, dengan bertrilyun-trilyun keringat. Kami punya segala hak, kepemilikan di tempat ini. Kami punya!

Kalian? Pernahkah kalian peras peluh orang tua kalian seperti yang kami lakukan? Pernahkah kalian tampar kami dengan fasilitas-fasilitas terbaik? Hampir seluruh suguhan kalian itu WORST. Kalian bukan membayar, namun dibayar. Kalian itu BODOH! The best FREAKY PEOPLE that I ever known...

Jadi, kamilah yang harusnya menjalankan permainan ini, kalian sebagai pion yang menuruti kami. Bukan sebaliknya. Kalian tak pernah sadar dan paham tentang permainan ini. Kalian tetap bodoh.

Lihat, lelaki kecil menangis ketika kalian buang jajan jualannya. Kalian memang tak pernah lahir dengan organ tubuh sempurna, ya, tanpa hati.

JANCOK!


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Senin, 24 Oktober 2011

Sunshine

Matahari memanggil

Sangat hangat membakar mimpi pagi di tengah liur ludah yang tertuang

Aku masih terlelap

Belum ingin terjaga


Lalu matahari memanggil, sekali lagi

Menampik selimut yang sengaja kurapatkan, kuhindari embun

Ya, embun memang jahat, tak pernah mengerti pagiku yang hangat

Matahari, muncul, bangun


Sunshine

Shining

Every single second

When I closed my eyes last night, and I greeted the moon

The moon was smiling to me

Closed my eyes slowly

And I’ve died last night


Ini seakan kehidupan lainku

Kini aku sebagai matahari

Aku

Hangatkan

Someone inside that window...


#np Garasi - Sunshine


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

SAC, Setelah Duapuluhtiga Itu

Lemah saat dipandang

Tapi mencuri pandang saat aku lengah

Saat kalah dalam debat, lebih memilih diam

Di waktu lain, aku yang selalu kalah berdebat


Kebiasaan yang unik

Mengekspresikan ke-grogi-annya dengan menarik rambutku

Tapi aku suka

Setelah itu, ia tersenyum simpul

Minggu, 23 Oktober 2011

Aku Bukan Duapuluhtiga


Aku, siapa bilang aku duapuluhtiga?

Aku masih sama, masih seperti sejak aku dimuntahkan ke dunia ini

Aku masih tak berubah dari ketertarikan magnet kutub selatan yang merapatkan badai

Aku tak pernah berubah


Aku tetap bukan duapuluhtiga yang kausebut dan selalu seperti itu

Aku tetap bukan

Aku ini masih pecundang yang rela memakan sampah agar bertahan hidup

Aku berbohong, itu hanya menunda kematianku saja, kan?


Aku bangun

Aku masih tak pernah terpikir bagaimana hidupmu kelak

Aku bahkan belum menggambar hidupku kelak

Aku hanya ingin, kita gambar hidup kita bersama, kelak


Aku bukan duapuluhtiga, sama sekali bukan

Aku adalah tujuh

Aku beda


Aku tujuh, dan caraku mencintaimu sangat beda

Aku tujuh, aku mencintaimu seperti angin yang melewati jendela

Aku tujuh, aku mencintaimu saat adzan subuh melantunkan nada


Aku tujuh

Namun aku mencintaimu, hanya satu


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Rabu, 19 Oktober 2011

Evaluasi

Hidup

Lalu apa lagi?

Tidak ada lagi analogi yang bisa kugambarkan

Sudah habis!

Sudah musnah, lengkap dengan sisa-sisa daging yang kukoyak sendiri

Darah bekas kenistaan yang kulalui sepanjang hari pun tak ragu menetes dan membanjiri penat

Hilang!

Saat ini sedang kucoba merenungi hasil buruk yang telah kuterima sepanjang hidup

Duduk

Melongo

Sendiri

Tidak masuk akal, bukan?

Aku ini penghancur, mengoyak setiap angin yang bodoh sekali memendamku, padahal dia hampa

Dia itu kosong

Dan malam

Ia menenggelamkan bintang dengan balutan awan kelabu

Karena bukan mendung, tak pernah ada hujan

Aku ingin meronta, lalu berteriak pada tebing dengan gema yang kembali ke pita suaraku

Ah, hanya sia-sia karena tak satu pun amoeba yang sanggup menangkap maksudku

Bukan karena lirih, namun memang mereka tak mengerti bahasaku

Aku hanya ingin berekspresi

Bukan hanya itu, sedang evaluasi juga

Ini aku

Aku belum mati

Aku masih meronta


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Selasa, 11 Oktober 2011

Gelembung

Untuk seorang Geng Sahabat

Seperti gelembung. Ya, seperti gelembung yang malam itu sengaja kutiup kesana kemari untuk meramaikan malam, karena tak terlihat bintang sedikit pun yang biasa menghias malam. Sabun, dan segera kutiup perlahan untuk mendapatkan gelembung yang besar.

Tak ada yang spesial pada gelembung yang lebih besar. Hanya ukurannya saja. Tetap lemah, mudah meletus, penurut arah angin berhembus, pekat oleh sabun, juga memedihkan mata. Tak lupa di dalamnya membawa ruang hampa yang tak berharapan. Iyakah?

Aku selalu berhasil membuat beberapa gelembung berukuran jumbo dan mungkin sangat besar. Tetap saja mudah terombang-ambing, meskipun mungkin mengarah ke bawah dan sesekali memantul di permukaan kolam.

Ah, refleksi otak dan perasaan, GELEMBUNG!


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Mantan Terindah

Dia kembali. Ya, sebuah cerita lama yang tak akan pernah datang bahkan hanya untuk memastikan aku masih bernapas atau tidak, bayanganku seperti itu. Ia memang telah lama, sekali. Menghapus segala guratan luka dan darah yang justru kubuat sendiri dengan sangat bangga. Maaf, ini bukan tentang seseorang.

Lagi, sebuah petikan lagu yang tersaji di tiap jeda sarapan pagiku (anggap saja aku manusia) selalu mengingatkan aku padanya. Ya, pada dia yang sangat kusayang dan kubelai lembut muka retaknya bekas terbanting saat membela yang bodoh. Kupertegas, bukan tentang seseorang.

Aku masih rindu, telah beberapa ribu kali kucoba menyembuhkan dan menghidupkannya lagi lewat sebuah reinkarnasi singkat, juga kusertakan beberapa batang dupa dan tak lupa bunga tujuh rupa. Masih saja aku gagal, dan membuatku terpaksa memakan kebekuan malam yang mulai dirintik oleh titik hujan. Ini tetap saja tak akan berfungsi. Meskipun kini telah kugenggam sebuah yang baru, bukan baru, hanya saja aku baru memegangnya. Tak akan pernah aku lupakan, kenangan yang telah kuukir bak relief di sisi candi yang cantik dengan bentuk timbul dan gambar patung-patung kejayaan lampau. Aku sayang dia, selalu, tak akan pernah melupakan.

Nokia 1600 yang tak pernah kulupa.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Minggu, 09 Oktober 2011

Hadiah di 091011

Surabaya kota gerah. Judul itu selalu ada di tiap dialog siang hari para pekerja paksa yang berkewajiban mencari nafkah di kota besar ini. Mereka seakan akrab dengan bau keringat yang khas dan debu-debu kusam yang membungkus wajah pekerja kasar. Dengan latar belakang yang sangat gersang untuk bertahan hidup, bahkan mungkin mereka sempat bimbang dapatkah mereka tetap makan hari ini, atau besok, atau lusa?

Segala keraguan tetap terpelihara di tengah kegelapan kota mati yang malam ini sangat gerah. Bahkan kami dan mereka sedang akrab bercengkerama dengan nyamuk, tentunya dengan sangat tak ikhlas menyuguhkan beberapa liter darah untuk nyamuk-nyamuk sialan.

Lalu tercium sebuah aroma, bukan asing dan baru, namun memang pernah tercium sebelumnya, sudah sangat lama. Beberapa petak tanah yang tersiram air. Ya, itu hujan. Ini hadiah kami. Bau keringat yang khas dan debu-debu kusam sedikit tersapu. Ini hujan.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Sabtu, 08 Oktober 2011

Lewat Jendela

Fajar kembali. Lalu dengan nakal embun mengintip dari balik jendela. Memang nakal, embun membawa suhu dingin yang mencambuk kulit dan membangunkan pagi untukku. Masih belum pagi, ini terlalu dini, ini fajar. Subuh.

Gemuruh adzan subuh bersahutan juga membangunkanku. Dengan balutan air wudhu, air ternyata lebih menampar wajahku dan membangunkan aku bahwa inilah fajar. Sejuk yang berlebih.

Ayat-ayat Al-Quran yang mendengung di surau-surau yang entah di mana jaraknya dari gubukku terdengar parau, atau karena telingaku terlalu berdosa?

Dia salah satunya membangunkanku. Ah, suaranya yang merdu membuatku bangga pada hatiku. Dengan rajin dan telaten ia memanggil, dengan suara yang seakan membuat semakin mengantuk.

Dan jendela. Beberapa pembangun tidurku masuk melewatinya. Kecil. Namun berarti. Pagi ini masih terjaga oleh jendela berbingkai kayu lapuk dan tua.

Aku sayang dia.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Jumat, 07 Oktober 2011

Aku Tidak Fokus

Abstrak sekali, ya.

Sejak pagi hingga siang ini aku masih mengguratkan senyum lebar tanpa lekuk pasrah sedikit pun. Hingga sampai saat ini, sore ini, segalanya menjadi tak karuan. Bahkan sisa cat air yang kulukis pun telah bercampur tak rata. Segera kuaduk perlahan dan semakin abstrak.

Aku sedang tidak fokus. Blur.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Sebuah Pesan untuk Orang Tuaku

Pesan.

Ini yang sedang kutunggu. Sebuah kejelasan atas pengakuan anak siapa aku ini. Ibu dan ayah seenaknya saja meninggalkan aku di tengah hutan gelap dan haus akan darah. Beberapa saat terdengar lolongan serigala petang.

Aku masih menunggu sesuatu yang maya, tentang siapa yang membuang aku. Sebuah pesan yang tak pernah aku bisa membacanya karena kegelapan hutan ini. Ya, aku memang telah memegangnya di sisa-sisa potongan tanganku yang terputus-putus akibat koyakan cheetah siang tadi. Selembar kertas kecil, memo. Aku sedang digantung.

Penasaran. Aku masih tetap mengernyitkan dahi dan memperlebar mata hingga bola mataku keluar dari mata sebanyak tiga per empat bagian. Dasar aku bodoh, pasti sia-sia.

Lalu aku ini siapa? Aku ingin ibu dan ayah. Aku ingin mereka mendengar teriakanku di tengah lolongan serigala petang yang menenggelamkan suaraku.

Kulirik ada pantulan cahaya kecil. Sebuah cermin. Kulihat tubuhku. Ah, ternyata aku seekor kucing.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Bising (Diam)

Bising.

Di sini berisik. Suaranya sangat mendengung tak karuan. Aku dipaksa mendapatkan kesimpulan dari video itu, tetap saja hampa. Gambar yang terhidang mungkin sedikit terlihat. Namun suara yang keluar lebih buruk dari dengungan lebah.

Bising sekali.

Mulai terasa jenuh. Mata tak mampu menahan berat. Kantuk akut. Masih berapa lama lagi? Bahkan ketika video itu disajikan, aku menulis ini dan tetap terdengar buruk. Sangat berisik dan mampu menambah kotoran yang ada di telingaku.

Bising. Dan berisik.

Semoga cepat berakhir.

Ini bukan analogi.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Kantor Polisi: Tiga Jam

Beberapa pekan terlewati dengan kosong

Hampa

Saat itu penantian tak kurun tiga jam dengan sedikit was-was

Pengurusan surat-surat kehilangan bak menggali emosi dalam liang lahat

Dua unit lenyap

Tak ada tersangka pasti untuk merobek kertas pengkhianatan ini

Lalu apa yang memaksaku kemari?

Bukan milikku

Aku sekadar berhati baja dan pasti takut

Ya, memang aku penakut dan banci

Namun ini normal

Tiga jam tertahan di sini

Bukan untuk hal buruk


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Selasa, 04 Oktober 2011

M A T I

Aku tenggelam, aku teriak hari ini

Entah, harusnya memang sangat girang untuk pengairan bola mata

Yang tak pernah kering meskipun terhina bilik bambu jamban tetangga

Segala dan selalu tentang kemunafikan air yang ditelan seekor raja dari pulau terasing

Pulau heran nan gundah

Lalu ini yang kulukis, aku bebas lampiaskan tangan bergerak

Entah meski sampai ke pelaminan dua pasang naga putih

Aku tetap tenggelam hingga ujung perairan

Pundak terombang-ambing dengan tamparan lalu lintas sejenak

Yang saat itu sengaja mengacuhkan karena jera memaksa

Aku menyendiri

Di antara kegaduhan pendatang-pendatang

Ah, mulai melemah

Ah, sudah berakhir

Lalu

Mati

M

A

T

I


MATI


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Sabtu, 01 Oktober 2011

Aku Harus Pulang

Akan datang beberapa malam kebanggaharuan.

Tamatnya pelajaran kakak.

Ulang tahun ibunda tersayang.

Aku harus pulang.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Kamis, 29 September 2011

Sekretariat BEM

Di sini gak ada sinyal. HP gak berfungsi, gak bisa ngehubungin siapa-siapa. Koneksi internet pun buruk parah, laptop gak ada gunanya. Terus aku mau ngapain coba? Cuma nge-charge laptop sambil manfaatin speaker active yang ada, dengerin MP3 lagu favorit, Yellowcard – “Only One”.

Udah itu aja. Gak bisa ngapa-ngapain lagi di sini. Sepi, aku sendirian. Ada boneka bayi yang aku benci (karena aku phobia) tapi disayang temen-temen. Mereka kasih nama boneka itu “CHILA”. Gak penting, kan?

Tempat ini rapi banget. Ada beberapa buku tergeletak gak berempunya. Beberapa berkas juga gak karuan berserakan. Ada juga potongan-potongan stereoform bekas dekorasi. Ini tempat sampah?

Aku keluar. Bosan.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Selasa, 27 September 2011

Melamun


Apa?

Coba kaupikir, telah lama kutinggalkan buku tentang hujan itu, mungkin sudah sedikit berdebu dengan background sarang laba-laba yang membungkus nista dari penat akhirat. Tak pernah kugoreskan tinta darah lagi di atas lembar buramnya. Bukan, aku bukan telah bosan pada hujan. Aku tetap mencintanya, hanya saja sangat perlu kulakukan rotasi pemikiran agar penggilaku tak bosan melihat guratan debu yang kugambar pada tebing kelam.

Seseorang bercengkrama denganku sore ini di depan serambi rumah tua. Ternyata ia berpikir bahwa kisahku akan sesuai dengannya, persis. Aku tertawa santai. Ya, memang bukan akan seperti itu. Hujan di beberapa hari yang lalu hanya sekadar lewat sedetik untuk memastikan aku tetap basah dan segar. Ia bukan ingin menguasai kemarau hitam lagi, karena memang belum saatnya ia datang.

Lalu apalagi yang harus kupasrahkan?

Ah, tidak. Aku harus berangkat ke jembatan kenangan itu, sekarang juga!

Senin, 26 September 2011

Mencintaimu Sulit

Mencintaimu memang sulit. Segala yang kaurasa benar tak pernah berkata benar oleh pikiranku. Selalu kausebut sebuah jurang curam penuh darah bangkai kerbau hasil terkaman singa yang lapar kepemimpinan itu adalah surga. Sebuah cinta setajam pedang yang siap menghunusmu tak pernah padam untuk menerka, sedang apa yang kupikirkan saat itu. Hebat, ini adalah kebeningan alam yang kurasa tak pernah datang. Apa? Bukan, ini bohong! Mencintaimu tetap sulit, tetap sesulit memakan kulit durian dengan pasangan air kelapa muda yang penuh bercak darah.

Mungkin kau akan bingung, apa yang sedang kutulis. Ini hanya pelampiasan terhadap emosiku yang tak kuat membendung sepoi badai pagi. Ya, aku tak semudah dulu dalam mencampur segala kata menjadi syair puitis. Aku lebih ditenggelamkan oleh alam ke dalam dunia maya yang nyata. Apa ini? Aku benar-benar hilang dalam ketegangan indah.

Kau. Mencintaimu sangat sulit. Belum bisa kupecahkan untuk jawabanku. Aku tak pernah ingin mati, mungkin hanya beristirahat di dalam liang lahat untuk beberapa abad. Fosil yang kutinggalkan adalah bukti bahwa aku masih putih, masih akan selalu memecahkan kesulitan itu. Kau berpikir bahwa aku lebih sulit? Kau jauh lebih dari itu.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Minggu, 25 September 2011

Jangan Hakimi Aku!

Aku bukan pengumbar kata-kata.

Yang kukatakan tak pernah hampa meski aku kaukenal sebagai pendusta sepi.

Apa lagi yang kau ributkan?

Mudah sekali ‘kan untuk aku mengumbar kata itu pada orang lain, seperti yang kaukatakan?

Ya, setidaknya aku saat ini tak lagi memejamnya, aku mencoba keluar dari permukaan kubangan lumpur itu.

Aku bukan lagi seekor babi yang hanya suka berguling-guling mandi di kubangan lumpur.

Coba lihat, aku tak seperti dia yang munafik, yang mengumbar kata-kata itu seperti apa yang telah kau hakimkan pada mulutku.

Aku bukan itu.

Aku ini.

Ya, aku ini.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Kamis, 22 September 2011

Keep Stay In Front of the Mirror

Sebuah cermin tua di kamarku telah sedikit kusam

Cermin itu tertempel lemas selama lebih dari setengah umurku

Ya, yang kutahu cermin ini selalu jujur meski telah butut

Setiap gerak yang tercipta di depannya akan ia pantulkan apa adanya, persis dengan apa yang ada

Tak seperti sebuah kamera

Cahaya yang dipantulkan selalu berusaha lebih sempurna dari objek aslinya

Munafik, bukan?

Teknologi selalu memunafikkan

Nyatanya aku tetap cinta cermin ini


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Minggu, 18 September 2011

Kamuflase

Aku kehilangan secangkir air putih yang kutuang beberapa menit sebelum aku pergi menuju negeri entah apa namanya. Sengaja kutinggalkan gelas berisi air putih itu tanpa kuberi nama karena aku yakin tak ada yang sudi meminumnya. Ia hanya gelas hina, yang berhak meminumnya adalah budak seperti aku, bukan petinggi-petinggi negara.

Mungkin aku pergi terlalu lama. Gelas itu seketika telah mengering saat aku kembali. Aku tak ingin berburuk opini, yang kutaksir adalah ia telah mengering karena terik matahari yang memaksanya segera mengudara membentuk awan putih. Tentu bukan diminum orang lain, tentu bukan. Bukan!

Sudahlah, gelas itu telah kering. Meski telah kucoba beberapa kali mengisinya kembali dengan air putih yang baru, tetap saja itu hanya air putih yang masih baru. Wujudnya memang tetap air putih, namun ia bukan air putih yang hendak kuminum dulu.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Jumat, 16 September 2011

Seperti di Surabaya

Pagi.

Lalu lintas sangat padat. Tak ada celah untuk menerobos meski perlahan. Asap-asap kendaraan bermotor pun saling bertabrakan di udara, semakin terlihat abu-abu. Tak pelak bunyi klakson saling berdebat, tentu masih teguh bahwa pendapatnya paling benar. Sesekali terdengar sirine entah dari mobil polisi atau ambulans. Pagi ini sangat padat.

Siang.

Lalu lintas masih padat. Sedikit ada celah untuk mendahului mereka yang bodoh. Asap-asap kendaraan bermotor semakin memuncakkan keringat beradu dengan emosi terik matahari. Klakson dan sirine semakin terdengar lebih akrab. Siang ini masih padat.

Sore.

Lalu lintas tetap padat. Hampir tak bergerak untuk mencari celah lagi. Asap-asap kendaraan bermotor telah tertelan bercampur letih bekerja, ini suasana after hour. Bunyi klakson semakin mendominasi dari sirine, semakin kencang karena tak sabar jumpa istri di rumah. Sore ini tetap padat.

Malam.

Lalu lintas selalu padat. Mau dikata apa lagi, ini tetap tak ada celah untuk bergerak cepat dan sampai di tujuan. Memang tak ada pengaruh asap-asap kendaraan bermotor lagi. Seketika cuaca kelam menjadi panas emosi. Klakson tetap berkuasa. Tak ada lagi sirine. Malam ini selalu padat.

Seperti di Surabaya. Ini tentang kota yang sibuk, seperti aku.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011

Rabu, 14 September 2011

Aku Mencintaimu, Angin

Aku mencintaimu seperti angin.

Yang datang tanpa terlihat. Yang terasa sejuk meski tak kasat mata. Yang selalu meniup dan keringkan cucian-cucian ibu di rumah. Yang mengajak pohon-pohon sepi untuk menari.

Yang datang menerbangkan spermatozoa benang sari ke putik bunga lain agar terjadi pembuahan. Yang kemudian menyisir bulu-bulu kelinci agar tetap sehalus kain sutra. Yang tak pernah mengigau saat terjaga. Yang dengan mudahnya menerbangkan layang-layang harapan.

Yang mengajak pasir-pasir untuk singgah di balkon rumahku. Yang menemani debu-debu membusukkan mata hati. Yang melemahkan syahwat kala nafsu membabi buta. Yang memaksa mata tersiram butiran kecil hingga sedikit perih.

Aku mencintaimu seperti angin.

Yang membuatku bersyukur untuk mengajak hujan turun berkunjung di tepian pantai malam. Yang membuatku terpesona saat mengundang bintang-bintang tetap terang di antara gelap gulita. Yang membuatku telah melupakan awan abu-abu penyebab patahnya penaku.

Aku mencintaimu seperti angin. Yang membuatku selalu bersyukur karena tanpa angin aku tak bisa bernapas dengan baik.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Selasa, 13 September 2011

Dyah Puspita Rini


Tenggelam

Dalam

Kegundahan

Bukan

Sekadar

Galau

Tapi

Telah

Akut


Kehilangan

Terasa

Saat

Seseorang

Yang

Kita

Sayang

Tak Ada

Di Samping

Kita


Rindu

Yang

Ekstrim

Dan

Belum

Pernah

Serindu

Ini

Aku sayang IBU