NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Selasa, 28 Januari 2014

Bapakmu Cinta Aku, Le!

Sambil memakan potongan-potongan nangka yang ditanamnya sendiri di tanah belakang rumah yang beberapa orang percaya itu bekas salah satu pertempuran jaman penjajahan Belanda, ia membawa bayinya ke depan balkon setelah memandikannya. Sekitar pukul tujuh waktu bagian pagi, matahari yang masih relatif hangat kemudian siap menyehatkan bayinya. Iya, jam segini saatnya bayi untuk caring. Lewat obrolan dengan suara lirihnya, ia tetap mengajak mengobrol bayinya meskipun mustahil akan dijawab atau minimal direspon. Sesekali ia selipkan nama bayinya di tengah obrolannya sambil berharap kelak bayinya akan bisa menghafal namanya yang sedikit panjang dan cukup rumit.

Rabu, 22 Januari 2014

Terlambat Sepersekian Detik

Pagi ini ia terbangun dengan sarapan yang terlalu awal. Ia melakukannya tak sesiang biasanya, sekitar pukul enam pagi. Biasanya, ia habiskan sarapannya dengan susah payah sejak pukul setengah satu tengah hari. Terlalu terlambat? Tidak, ia biasa melakukannya. Katanya, perutnya tak biasa mencerna kumpulan makanan-makanan di waktu-waktu yang terlalu dini. Aneh memang, karena orang-orang butuh asupan untuk tabungan energi melakukan aktifitas harian dan memang ia bukan sebagian orang pada umumnya. Ia tak pernah melakukan apapun. Ya, ia tak pernah melakukan apapun sejak kepergian kekasihnya menuju negara lain yang berjarak dua blok dari tempatnya tinggal.
Anehnya, pagi ini ia melawan pantangan itu. Ia nekat melahap nasi demi nasi sedini mungkin karena tak kuat menahan tangis sedih kerinduan pada kekasihnya. Ia paksakan menenggak obat-obat penenang seperti biasanya yang sering ia sebut sebagai alat untuk melupakan kesendiriannya dan kerinduan yang semakin sulit dibendung. Komunikasi sulit menjadi salah satu sebab atas alasannya breaking the habbit.

Selasa, 21 Januari 2014

Aku, Dia, dan Sebuah Gelas Kaca

Pantai Ngliyep, Kabupaten Malang, 2014

Hari ini aku bertemu lagi dengannya. Dengannya yang belum juga mengerti tentang rasaku padanya. Ah, aku selalu begini, selalu terjebak dalam spekulasiku sendiri. Aku sering menyalahkannya tak pernah mengerti rasaku padahal harusnya aku yang tak pernah berani sampaikan rasaku. Entah, tapi dengan sering meletakkan dia di posisi yang salah karena tak pernah tahu rasaku, aku lebih bisa punya banyak cerita.
Kembali ke ceritaku hari ini. Dia yang bahkan bukan berawal dari teman dan hanya karena bekerja dalam satu lingkup denganku, kini berakhir dengan aku yang jatuh padanya dan aku tak pernah tahu apa juga sebaliknya. Seperti biasanya, hari ini berakhir dengan aku diantarnya menuju rumah tinggalku, dengan menikmati sisa malam berpiring-piring sebelumnya. Kamu gila, aku bukan suka saat-saat seperti ini, tapi AKU GILA KARENA SUKA SAAT-SAAT SEPERTI INI.

Dialog Bisu

hai!
hey :)
seneng? :)
seneng, kamu?
sedih, hihi :)
kenapa?
gak tau, padahal rame, tapi ngerasa sendiri.
semakin kamu ngerasa sendiri, sebenernya mungkin banyak yang ada di samping kamu, kamu cuma gak mau menerima kehadiran mereka. ada aku, sayang :)
bukan gak mau menerima. justru malah aku pengen ngerasa ada di tengah-tengah mereka pisan. tapi gak ngerti, kancani aku, sayang.
kamu sebenernya udah ada di tengah mereka. semakin kamu merasa sendiri itu cuma sugesti kamu. aku di sini, sayang :)
aku gak mbok kancani :(
di luar enggak, di sini iya. *nunjuk hati*
aduh, tiba-tiba inget kamu mau pulang, gak bayangin.
jangan diinget dulu ya, yang penting kita bisa bareng sekarang :)
iyo maaf ya tiba-tiba keinget. sayang aku kan?

aku sayang kamu :)

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2014)

Selasa, 14 Januari 2014

Aku Tak Suka Hujan

Siang itu sengaja kubangunkan kesadaranku tak sepagi biasanya. Dan sialnya, hujan dan hujan lagi seperti lima hari yang lalu sebelum aku datang ke sini. Lima hari yang lalu, hujan datang tujuh kali duapuluh empat jam nonstop dan menghiasi jalanan desa dengan lempung-lempung cokelat muda hasil tanah yang basah secara rutin. Lempung-lempung itu rupanya tak hanya mengaliri jalanan becek yang masih minim aspal di desa ini, namun terlalu parah hingga serta-merta mengeruhkan air laut dan sesekali membawa sampah yang terseret sampai ke pesisir pantai. Suasana lima hari yang lalu mampu kugambarkan secara klise menurut kabar yang kudengar dari beberapa penduduk lokal.
Pantai Ngliyep, Kabupaten Malang, 2014

Minggu, 12 Januari 2014

Pernah Berkacamata

Sebuah Kedai Makan, Kota Malang, 2014
Aku pernah berkacamata, dulu saat masih rajin aku berduduk rapi dengan pemuda-pemuda nganggur di atas trotoar jembatan. Iya, aku pernah melakukannya. Gila, kan? Aku pernah berkacamata sejak masuk dunia kuliah. Sebuah dunia yang banyak siswanya yang sudah maha sering mengeluh bahwa tugas itu kejam, skripsi itu pembunuh, atau bahkan dosen itu tukang pemberi harapan.
Kuputuskan berkacamata hanya untuk kesehatanku. Kata dokter, mataku berpenyakit langka yang aku sendiri lupa namanya lima menit setelah beliau memberitahuku namanya. Aku suka berkacamata. Imejku pun sekejap menjadi laki-laki yang identik dengan kacamata dan seakan sudah menjadi karakter.

Hujan di Januari Sore

Hujan tidak sehebat dulu saat aku menggilai. Bahkan saat ia mulai dihujat khalayak dengan beruntun dan aku turut di antaranya. Aku ada di barisan depan meneriakkan untuk berhenti karena hujan mulai sangat mengganggu. Buktikan, di kehidupan ibukota, jarang sekali orang-orang bekerja dengan hujan. Mayoritas ia sama sekali tak bersinergi dengan keseharian semua umat. Sudah semakin sulit menemukan logika bahwa aku pernah menyukainya bahkan tak separah aku membencinya saat ini.
Seperti sore ini, di kedai makan kecil ketika senja mulai menjelang. Langit berbalut gerimis cerah mengiringi buruh-buruh kehidupan yang serempak namun tetap berebut siapa dulu yang sampai rumah dan jumpa istri anak masing-masing. Sesekali terlihat pria muda kuyup tergesa hampir celaka meliuk lincah menyalip kendara demi kendara. Mungkin sudah ereksi dan tak tahan. Mungkin pengantin baru.

Jumat, 10 Januari 2014

Desember Tidak Jahat

Aku bukan tak suka Desember, tapi Desember selalu menarik urat tertawaku, kemudian menyembunyikannya di balik senja yang salah satu adikku pernah tak suka tentangnya. Dia di tahun lalu melancarkan senyumku, dan mungkin terlalu lancar hingga meluncur terlalu licin. Terlalu licin dan terlalu remeh dan akhirnya dilecehkan. Diinjak. Ditusuk. Kemudian aku diam.
Desember bukan jahat. Dia hanya sedang tak suka dengan aku yang tersenyum sumringah. Desember pagi ini masih pekat selegam air muntah para penjajah. Tetibanya ada pesan di kotak surat yang menyuruhku membawakan sekotak bekal makan siang berisi elegi dan segala kenangan apapun.

Kamis, 09 Januari 2014

Aku dan Cerita Nopember

Pantai Ngliyep, Kabupaten Malang, 2014

Sudah Nopember. Hujan sudah cukup lama datang saling sambut dengan riuh suara roda gerbong komuter berdecit pada besi-besi tua yang melintang. Pun aku sudah cukup lama tak menumpahkannya lagi pada tuts mesin ketik, menumpahkan ragam rasa yang tiga tahun sebelumnya kurangkum rapi dalam buku cerita.
Ini Nopember, yang banyak orang bersikeras menuliskannya November dalam bahasa Indonesia. Tentang sebuah waktu saat gerimis mulai risih disebut gerimis padahal disebut hujan pun ia tak. Bahkan disebut badai sekalipun semakin tak. Gerimis tiap pagi mulai dan cukup mengganggu dengan membangunkan aku yang semalam menghabiskan dua setengah ronde dengan istriku. Mungkin logis jika aku belum ingin terjaga. Ini sudah Nopember.