NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Selasa, 30 November 2010

Takkan Pulang Malam Ini

Malam ini hujan tak kembali, kuintai ke segala penjuru awan.
Mungkinkah karena ia telah bertamu saat matahari sedang lengah?
Ya, hujan tak datang malam ini.
Aku sempat terduduk lesu, hujan melihatku dari angan-angannya.
Ia ingin menemani, namun tak mungkin baginya untuk membasahi bumi.
Aku semakin terduduk lesu, terhempas sebuah pemikiran yang tak lazim.
Pikirku, hujan takkan pulang malam ini.
Aku akan menunggunya di sini, di pinggir jalanan ini.
Tidak.
Seseorang berbisik, tak pantas aku menunggunya, karena ia tak mungkin datang.
Hujan rutin berkunjung saat matahari membusungkan dada, bukan saat bulan termenung.
Pulanglah aku, dengan sedikit gundah membanjiri hati.
Sejenak petir bergemuruh, ia marah.
Tak dijelaskan apa sebabnya, hanya ia.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2010)

Sebuah Pijakan Lain

Ketika membuka kelopak penglihat saat sang pencerah terbangun, aku terperangah.
Kering kerontang semua yang kupijak.
Di mana hujanku?
Matahari memancarkan panasnya yang mengalahkan pamor hujan.
Akankah hujan marah?
Padaku atau matahari?
Tidak, akulah yang marah.
Bukan karena hujan yang telah berpijak pada bumi yang lain.
Namun karena hujan memanggil awan dengan caraku.
Sedikit kecewa, haus membunuh batang tenggorok.
Menanti air yang tak mungkin turun.
Ya, mungkin hujan memang tak akan turun.
Mungkin akan kutemukan hujan, bukan di tempat ini.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2010)

Jumat, 26 November 2010

Malam Bersahabat dengan Kabut

Sesuatu memanggilku dari sana, siapa?
Kulangkahkan kaki menuju dunia luar, sisi lain kamarku.
Kutelusuri pandangan semampuku, ke semua sudut pandang.
Bukan hujan, namun kali ini kabut. Ya, kabut.
Dingin pun dengan nakal dan tanpa permisi mengoyak kulit ari yang tak begitu tebal.
Sedikit nyeri, kucoba bertahan.
Kulihat malam ini bulan sedikit maya, terhalang keegoisan awan yang memamerkan kelamnya.
Pandanganku cacat, tertutup sebuah teman.
Teman?
Mungkin kabut adalah teman.
Karena malam ini, aku terpaksa bersahabat dengan kabut.
Sekitar dua puluh enam derajat kurasakan sakitnya.
Kutawarkan perih ini dengan secangkir hitam yang mendidih, hanya itu.
Namun kuyakin, tak ada yang lebih baik dari bersahabat dengan hujan.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2010)

Senin, 22 November 2010

Tak Pernah Ingin Melepas Genggamannya

Kulangkahkan kaki menuju kampung halaman, hujan menyambutku dengan semangat.
Ia datang beramai-ramai, hanya untuk berebut perhatianku.
Dua kawan telah menantiku di ujung peron.
Mereka melambai saat aku keluar dari pintu gerbong.
Tak terasa mata pun dibanjiri rasa haru.
Hujan dan kawan datang menyambut.
Kulewati malam dengan kawan, berputar menuju pusat kegaduhan.
Tawa, senantiasa mendampingi senyum mereka.
Dan hujan pun seakan tak mau melewatkan kejadian ini.
Hujan datang, ikut.
Mungkin ia bosan karena sepi di atas awan.
Tidak, ia hanya bergabung sesaat, dan ia kembali menuju kesunyian di angkasa.
Saat hendak kutinggalkan saat-saat ini, aku tersentak dengan sebuah keputusan.
Ia ingin melepas genggamanku, dan tak ingin menyentuh hati dan pikiranku.
Dan yang kutahu hanya ia tak akan pernah pergi dari jiwaku.
Tak pernah, selamanya.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2010)

Kuraih Senyuman Mereka

Entah mengapa, aku kehilangan cahaya dalam otakku.
Sulit untuk memfungsikan pemikiran sehat, aku terhenti, mungkin sementara?
Tiba-tiba hujan memanggilku. Ia berkata, “Mereka menunggumu, segera datang, atau kau tak akan dapat melihat senyum manis mereka.”
Aku mengiyakannya, kuambil ransel berisi segenggam semangat dan setumpuk rasa rindu. Aku berlari, lelah, namun harus.
Hujan turun, menemaniku berlari.
Ya, mungkin sedikit rumit, sesak kurasakan ketika hawa dingin dengan jahat menyelinap ke dalam dada.
Aku berteriak di dalam genangan air hujan, sia-sia.
Aku hanya ingin mereka tahu, aku ingin meraih senyuman mereka.
Hujan, kuyakin kau dapat membantu, membantu aku berlari di atas gumpalan awan, menuju kampung halamanku.
Bantu aku, hujan.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2010)

Selasa, 16 November 2010

Kau pun Kembali

Nafasku sedikit terengah, jari-jari kakiku tak mau berlari lagi.
Namun hatiku berkata, aku harus tetap melangkah, aku merindukannya.
Ya, tujuh hari tak kudapati hujan menitikkan airnya.
Selama itu pula aku terduduk di balkon lantai dua rumahku, menanti datangnya.
Di mana kau? Mungkinkah ia mengerti bahwa aku berat tak bertemu dengannya?
Penantian itu tak sia-sia. Siang ini, ia kembali.
Ia kembali menitikkan airnya, deras, mengguyur tanah yang haus setelah dihantam hangatnya matahari.
Mungkin sedikit kesal, karena ia datang tanpa kabar. Namun aku puas.
Hujan mengobati sedikit lukaku, sedikit.
Tak pernah ada yang tahu perut terasa terkoyak, mungkin karena angin yang berusaha menyita perhatianku, menggantikan peran hujan yang sangat berarti untukku.
Namun aku tak dapat berpindah, hujan tetap yang terindah.
Ya, aku bahagia.
Hujan menemaniku, menggantikan mereka yang tak bisa kutemani karena jarak ini.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2010)

Rabu, 10 November 2010

Bukan Saatnya Untuk Berhenti

Air mata menemani malam ini, aku tersentak tak karuan.
Sempat berpikir, apa bola dunia berhenti menggelinding?
Matahari pun memaksa hujan berhenti meneteskan air, karena matahari tak mau bumi dibanjiri bencana.
Hujan pun menangis, ia memohon pada matahari, ia berkata, “Asalkan hutan tak gundul, air-airku tak akan membanjiri bumi, percayalah.”

Sabtu, 06 November 2010

Tusukan di Hari yang Indah

Huft, aku menghela nafas sejenak, mencoba memutar kejadian hari ini.
Ya, hujan menemaniku bersamanya.
Hujan adalah hal romantis jika sedang bersama pasangan, benarkah? Dengan yakin aku menjawab, ya.
Sedikit menggigil diterpa angin yang bersatu dengan butiran hujan, namun semua terasa indah dengannya. Mungkin kata-kata yang tertulis terlalu hiperbola, namun jika kutemukan ungkapan lain, akan kuungkapkan jika sanggup.
Senang. Bahagia. Dan bangga.
Satu hal, sedikit terasa sakit. Oh, bukan, aku tak mau hari ini menjadi buruk. Kutemukan sedikit tusukan pada salah satu tulang dekat hati.
Tidak, aku mencoba menghilangkan luka kecil itu. Memang sedikit rumit, namun aku bisa.
Ya, karena aku tak ingin hari indah menjadi kacau.
Meski sedikit tertusuk, kucoba menatap jauh mata kecilnya. Darah tusukan pun hilang, sembuh.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2010)

Hujan Menemaniku

Sebagian orang berkata, “Ah hujan datang lagi.”
Lalu orang lain menanggapi, “Ya, ini musim kemarau. Mengapa egois sekali hujan tetap turun?”
Hujan bukan tak mendengar keluhan-keluhan itu. Hujan sangat mengerti, namun ia turun ke bumi atas perintah dari awan. Awan bukan tak memahami jeritan-jeritan itu. Awan hanya sedang penuh, maka ia tumpahkan titik demi titik, yang bersatu menjadi hujan.
Tumbuhan hijau girang. Namun tak semua, terkadang ada yang tenggelam hingga mati. Buruh tani yang susah payah dan berpeluh mencoba membangun kehidupan padi, beberapa sempat terendam.
Sekarang siapa yang bingung? Hujan datang mereka berteriak repot. Hujan hilang mereka berteriak haus. Tuhan hanya tersenyum, seakan mengerti makhluk-makhlukNya sedang gusar.
Hidup selalu memiliki pilihan, dan tak selalu menguntungkan.
Hujan memang sempat menyulut api amarahku. Namun hujanlah yang menemaniku sampai di kampung halamanku.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2010)

Selasa, 02 November 2010

Karena Ku Punya Kau

Kepada kupu-kupu, hujan bertanya tentang sebuah ketenangan.
Kupu-kupu menjawab, “Aku tenang karena aku hidup untuk diriku sendiri.”
Kepada kunang-kunang, hujan bertanya tentang sebuah kenyamanan.
Kunang-kunang menjawab, “Aku tak punya beban, hanya bermain dengan ekorku saat gelap menyapa.”
Kepada anak serigala, hujan menyapa tentang keamanan.
Anak serigala menjawab, “Orang tua ku belum pernah gagal menjagaku. Mereka hebat.”