NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Minggu, 29 Januari 2012

Melarat atau Konglomerat

Rakyat jelata, rakyat sibuk meminta

Bukan tak pernah ikut mengkritik pemerintah,

namun sudahkah kalian bercermin sebelum berorasi di depan gedung petinggi?

Hidup di bawah garis kemelaratan tidak membuat kalian berbuat lebih suci dari pemimpin-pemimpin itu, pun mereka yang bermewah diri tidak selalu mendosai hati

Di bawah background kemiskinan, yang kalian pilih adalah jalan pintas agar meraup untung berlimpah

Mengakulah, seiring berjalannya senja, berangkat beramai-ramai membohongi diri sendiri dan mencurangi kaum-kaum tak bersalah pada kalian

Sebelum melempar batu ke wajah petinggi-petinggi kalian, ini, aku beri kalian cermin raksasa


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Sabtu, 28 Januari 2012

Cemburu

Ini apa? Aku kehilangan sinarmu malam ini, bulan. Atau karena kamu hanya datang menyabit mendung yang beberapa hari ini sengaja menguasai kerajaan angin. Sedikit kaget, sekitar empat puluh kilometer per jam! Aku terhuyung ke sana ke mari sama seperti saat pemikiranku terarus pada mata air. Aku tak suka menjadi lebih baik dari yang buruk. Ya, aku hanya akan mencintai jika aku menjadi yang terbaik di antara yang lebih baik.

Aku hanya ingin berdiri di antara gusaran debu yang di bawa angin sore ini, ah aku bosan jika hanya bisa memendam rasa pada tanah liat. Kukira tak akan tumbuh meski beberapa hari ini hujan masih turun, meski beberapa waktu terjadi pancaroba sesaat antara panas dan gerimis. Ini apa?

Aku mulai letih ketika mata tak terbendung lagi oleh secangkir, dua cangkir kopi hitam seperti biasa. Aku rindu pada malam itu, ketika kubasuh wajah dengan butiran lembut yang menghitam legam pada malam. Aku cemburu pada bulan yang beberapa hari ini berkuasa tanpa bintang dan lainnya. Aku sedikit tertampar oleh suasana hati yang terdengar risau.

Ini apa? Aku kepada jumlah tetesan darah yang sengaja juga kusayat sore itu. Aku ingin bertanya pada senja, sedang apa dia di sana? Tidurkah? Siapa yang memeluknya di antara dingin matahari malam? Bukankah harusnya aku yang memakan gelap ketika peluru menghunus mata dan mengecup keningmu?

Sayang, aku cemburu.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Kamis, 26 Januari 2012

Limbah

Sudah beberapa menit sejak aku terinjak ketika aku sedikit tersesak

Ya, sedikit tersesak kataku karena aku tak mampu membuai pagi selayak saat pertama aku tiba

Tak mampu mengindahkan nada pada genting hening malam kosong

Aku hanya ingin berkisah tentang aku lagi, bukan siapapun lagi, bukan tentang peran kedua atau ketiga, namun peran pertama yang kusebut aku

Pada gumpalan maya menatap lantun krusial gundah, lalu aku terpaku, sendu, seperti jingga


Bukan tentang senja! Sudah kujelaskan, bukan, ini hanya tentang aku

Tentang aku yang sedang memilukan jengah pada nusa

Lalu menghempas hela karena duka, aku terpuruk pada elegi fajar!

Ego yang tertanam lalu tersesak hingga meletup-letup kepada butir gemetar

Sudah cukup yang tertanam, lalu menguak tumbuh mengeroyak memecah lapisan gersang yang memaksa amarah

Bisakah aku belajar memakan rerumput fana yang nyatanya rumit?


Ah, aku hanya terpuruk di antara kubangan tambak keruh yang kupinjam dari saudagar sebelah

Nyatanya yang terhirup hanya nitrogen-nitrogen bekas limbah pendustaan kelam, yang memang sengaja kuolah (maksudnya kupaksa, ya, sedikit penekanan) agar terlihat lebih kumuh

Sudahlah, kepada cermin yang kulihat saat ini, kau munafik!


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Minggu, 22 Januari 2012

Daur Ulang

Mungkin bukan Iwan Fals, ia berhasil menaklukkan rakyat tanpa kampanye bahwa ia pantas jadi pemimpin mereka, hanya berdasarkan musiknya yang tak rumit.


Mungkin bukan Andik Vermansah, ia berhasil mengalihkan media dunia bahwa ia pantas bersanding di samping David Beckham, hanya berdasarkan ia terjatuh dari sontekan sang bintang.


Lalu aku siapa? Aku ini anak siapa? Kepada siapa aku bernafas?


Aku ini hanya aku. Aku tetap aku. Kumuh. Sampah. Lembab. Bau. Kepada tempat sampah yang telah tercuci rapi. Aku ini aku. Aku yang mencintaimu seperti aku mencintaimu. Aku mencintaimu pada pagi.


Pernah kau merasakan kepada siapa aku berkeringat saat berlari? Itu kau.


Atau, haruskah aku pergi, lalu dileburkan beserta sampah lain?


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Selasa, 17 Januari 2012

Tanggung Jawabkan Rinduku


Ini buat kamu.

Hei, kamu, kan?

Kamu yang di sana, ya, kamu.

Kamu indah, meski sesekali menafsirkan mimpiku dengan, eh, hanya setengah dari mimpiku.

Tanpa kamu, dari mana aku bisa meraih sebuah tanya, bahwa aku harusnya bisa.

Ya, sepucuk amplop hijau berisi beasiswa, itu dari Tuhan, dan lewat semangatmu, kan?

Tanpa kamu, dari mana aku bisa meraih sebuah mimpi, bahwa aku memang bisa.

Bahkan aku tak pernah sebelumnya mencintai dunia menulis, kamu mengenalkannya padaku, dan maaf, aku lebih mencintainya dari padamu, mencintai menulis yang sangat baru untukku.

Senin, 16 Januari 2012

Tertinggal


Mau berkata apa lagi? Masih mau melawan? Kamu sudah patah sepatah-patahnya, sudah tenggelam jauh dalam jebakan yang sengaja kugali tengah dalam saat semua serigala sibuk menyusui bayi-bayinya. Masih mau mengelak? Kamu sudah hampir kalah, meski saat ini seharusnya sudah tidak seratus persen lagi. Kamu hanya perlu duduk menunggu kaleng-kaleng penadah tetesan hujan dari genting yang akan menjadi rumah baru oleh jentik-jentik nyamuk.

Ada yang kamu lupakan? Ya, kamu bahkan lupa mengucapkan salam perpisahan di hari saat kamu patah (lagi) (sudah berkali-kali). Ini patahmu yang ke-berapa? Aku harus mematahkan berapa lagi? Ini, aku akan masih tetap menyangga kelopak mata dengan batang korek, aku hanya butuh satu batang kecil itu. Tentunya dengan bantuan secangkir kopi hitam seperti biasa.

Baiklah. (Sebentar, aku meneguk kopi sejenak) Aku akan lanjutkan.

Sabtu, 14 Januari 2012

Lemah

Aku masih belum bisa mencerna apa yang sulit aku makan,

aku memang tak pernah melakukan yang terbaik

Ini yang kausebut menang?

Aku bahkan tak paham terhadap apa yang telah kuhirup,

saat itu aromanya sarapan pagi bumbu pecel

sementara aku belum memakan satu sentipun


Aku tidak berkata ini sudah habis, aku tidak berpihak pada malam

yang kini selalu bersahabat denganku,

mungkin tidak selalu, namun sering ia menengok aku di tengah sepiku

Bertukar hembus nafas yang akhirnya berembun pada lenguh


Beberapa detik aku menyapa pada gerimis yang menyertakan badai

lalu menyusul pada hujan deras dengan tangisan parau

Ini yang dinamakan kalbu?

Kepada angin aku berteriak

“AKU LAPAR!”


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Minggu, 08 Januari 2012

Ekspresif

Di sana aku sedang berpijak. Di tempat yang kamu bilang pijakan paling nyaman untukmu. Di tempat yang kamu bilang akan kamu kenalkan aku pada ibumu suatu saat nanti jika kamu siap. Maaf, sekali lagi.

Aku patahkan kamu lagi. Aku berhasil mengukir bekas tumpuan kakiku di rumahmu, yang kamu bilang tak akan siap mengajakku bercanda tawa saat ini. Kamu bilang, kelak, lekas, jika memang telah waktunya. Pun aku berhasil meraih kedua tangan kanan orang yang kamu cintai meski kamu beberapa kali dibuatnya memanen air mata. Ini seperti mimpi.


“Saat malam hatimu mencari dalam lelahmu memikirkanku. Namun aku yang ada di sini hanya terdiam dan membayangkan...

Seandainya kudapat menemanimu malam ini hilangkan sepi. Seharusnya ku ada di sisimu dan kuterjaga hingga kau terlelap mimpi...”

(The Titans – Seandainya.mp3)


Aku patahkan kamu, lagi-lagi lagi. Ya, sampai berkali-kali aku berhasil mematahkan satu-per-satu penamu. Ini bukan tanpa alasan. Ini yang harus aku lakukan, kupatahkan satu lalu selanjutnya lagi. Misiku memang itu, mematahkan hingga habis, lalu siap meminangmu di podium pernikahan kita, kelak. J


PS: Maaf mematahkan penamu lagi. Kali ini tintanya membekas di kakiku, dan sengaja kujejakkan di beranda rumahmu.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Sabtu, 07 Januari 2012

Refleksi Infeksi


Aku terinfeksi. Pada darah yang tak lagi merah, pada hujan yang tak lagi deras menghitam angan. Pada mimpi yang tak lagi pecah, pada angin yang tak lagi sepoi. Ini adalah refleksi sumber air yang ia kembalikan pada malam. Senja? Ia tetap berkutat pada sepi, menyusuri langkahku dari balik kaki-kaki patah yang sengaja kuseret. Sebenarnya, aku hanya berbohong. Tak kukatakan padanya bahwa kuhaus atas terik ini, aku hanya ingin bungkam sekali lagi. Iya, ini seperti yang kubaca darinya. Ini refleksi darinya. Ini cermin yang aku bayangkan, sengaja kutekan tombol print screen pada cermin itu, agar refleksinya berhenti, abadi, meskipun aku tengah berpindah jarak. Aku hanya ingin bayangan itu tetap di sana. Konstan.

Jumat, 06 Januari 2012

Maaf, Aku Terlambat

Maafkan aku,

karena terlambat memberi hangat di tiap pagimu


Maafkan aku,

karena terlambat menghancurkan kelammu jauh sebelum ini


Maafkan aku,

karena terlambat menghantui pikiran kosongmu


Maafkan aku,

karena terlambat menyadari tentang indahnya bermimpi


Maafkan aku,

karena terlambat memaki masa lalu untuk sebuah motivasi

Selasa, 03 Januari 2012

Belum Siap

Lalu aku melaknat mendung penadah hujan badai,

kepada desember, aku mencaci,

sebegitu sederhananya pergi dengan jejaring ombak

saat belum kutuntaskan ingus-ingus darah yang kucecerkan

di atas padang hutan

Gemerlap kebohongan yang ditawarkan pada kelabu masih segar kuhirup,

kubagi dengan senja yang sengaja menungguku hingga tertidur

Aku tak bodoh, justru itu semakin menguatkan aku dengan meneguk sebotol green sand


Sudah puas kau caci maki aku, desember?

Aku gagal, membuatmu tersenyum bangga dan mengkonversi tangis hinamu

tangis darah yang aku sendiri jijik untuk menjilatnya,

namun terpaksa kuminum perlahan tanpa gelas tanpa pegangan tangan

langsung dari tanahnya

Ini untukmu, desember!

Lalu hujan

Kita menangis di bawahnya

Setelah bulan itu, desember


#np Efek Rumah Kaca – “Desember”


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Minggu, 01 Januari 2012

Selamat Datang

Tengah malam.

Merah-biru-hijau-kuning.

Rintik gerimis berkah doa?

Alunan jazz dan beberapa gamelan keroncong.

Lalu kembang api beterbangan.

Mengucapkan selamat datang pada jelangan pagi.


Di sampingku,

ada dia.

Ya, dia.


Terlihat sedikit lelah dan beku.

Menggelitik lutut yang kupunya.


Sudah tepat?

Selamat datang.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)