NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Minggu, 27 Februari 2011

Track


Deras yang turun siang itu, teringat hembus napas mereka yang selalu ukir sebuah senyum menindas penat pada bibirku.
Kucoba menulis sesuatu yang indah namun gagal, masih buntung.
Halus kain celana komprang yang pernah kupinjam dari salah seorang mereka masih melekat di paha.
Aku merindu, pada tawa mereka.
Itulah sahabat dan bintang.
Kutemukan terangnya hanya empat sinar pada galaksi jauh.
Pernah kutulis beberapa track untuk mereka, dan mereka suka, setuju.
Satu bintang terterang yang masih kunikmati indahnya, dan tiga lainnya meredup, mungkin masih bersembunyi di balik kemunafikan warna pelangi dalam malam.
Kubagi di sini, track-track itu:
  • Andra And The Backbone – Tak Ada Yang Bisa.mp3
  • Blackout – Join Kopi.mp3
  • d’Cinnamons – Kuyakin Cinta.mp3
  • Drive – Mimpi Selamanya.mp3
  • Evo – Terlalu Lelah.mp3
  • Garasi – Sahabat.mp3
  • Ipank – Sahabat Kecil.mp3
  • J-Rocks – Kuingin Kau Untukku.mp3
  • Kapten – Malaikat Cinta.mp3
  • Nidji – Bila Aku Jatuh Cinta.mp3
  • Padi – Begitu Indah.mp3
  • Rocket Rockers – Reuni.mp3
  • Sheila On 7 – Anugrah Terindah.mp3
  • Sheila On 7 – Dan.mp3
  • Slank – Terlalu Manis.mp3
  • Vegaz – Malam Sepi.mp3
Hanya berharap, suatu malam dapat berkumpul dan melepas sebuah tawa seperti kala itu, teman.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Sabtu, 26 Februari 2011

Cerita Seorang Hujan

Aku bukanlah aku, namun akulah sebagai hujan.
Hari itu, duka cita menyapa di sela-sela soreku yang aku sedang terduduk santai, dan aku harus kembali, pada desa kecil saat kulahir.
Kuminta padanya temaniku, ayahlah yang memintaku.
Sempat bimbang, namun kulega saat ia mengangguk tanda sedia.
Tanpa bekal pantas, lalu berangkat dengan minibus yang aku belum pernah sekalipun memakainya, ia pun begitu.
Segala doa terpanjat untuk yang terbaik bagi kami.
Mual, pada segala goncangan dan terpaan kerasnya lintas hidup, aku tersandar pada bahunya dan perlahan berbisik, “Terima kasih.”
Berbalas senyumnya yang kutahu tak seindah senyumku, aku mencoba terpulas.
Hanya beberapa detik, namun gagal, terjaga.

Rabu, 23 Februari 2011

Bukan Hujan yang Selalu Kutunggu


Air dalam tandon yang lagi-lagi memaksa keluar karena wadahnya telah penuh sesak, dan mereka tak tahan dalam kerumunan itu.
Percikan air terjatuh menemani tangis bangga, dan malam itu aku menangis.
Hujan yang telah menjenguk sejak menjelang petang kini telah kembali, tertidur dalam angan.
Aku masih terisak, lalu bersimpuh pada Sang Kuasa.
Kucium peluh keringat seorang bapak yang rela mencangkul sawah di bawah terik surya, dan rintik air mata ibu yang membanjiri saat tersayat oleh lecehan lawannya.
Bahkan kuyakin untuk menelan ludah bapak ibu saat kusadar merekalah inspirasi terindah.
Bapaklah menoreh namanya padaku, di antara namaku dan eyang kakung.
Sangat bangga, dan aku berharap dapat meng-copy peluhnya dan air mata ibu.
Bukan hujan yang selalu kutunggu, namun yang terpenting bagiku adalah kabar baik keadaan bapak ibu.
Satu dari beribu orang tua yang luar biasa, mereka wakili bahagiaku di atas calon penghuni suarga.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Senin, 21 Februari 2011

Masih pada Hujan

Sebuah beban yang tak ingin kujalani hari itu, kembali mengangkut sebuah tuntutan masa depan.
Ya, aku harus kembali.
Tak akan sanggup kutinggalkan langkah tanpa jejak di kamar busuk nan nyamanku.
Meski selama satu tahun kurang sebelas bulan lalu kuterpulas di atas ranjang yang tak terduakan.
Segalanya terbengkalai karena terjaga hingga larut yang berkepanjangan.
Bahkan, sempat terdoktrin oleh sebuah keterpurukan yang dengan idiotnya kulakukan.
Namun kumemohon dan berharap termaafkan.
Hari itu kukembali, bersama iringan hujan, tentu.
Lalu kudengar nyanyian dan kicau burung gereja yang sesekali mengiringi di seberangku.

Jumat, 18 Februari 2011

You’ve Smiled to Me Over the Rainbow

I’ve heard a heart beating over the rainbow.
I smell a great view in the past which made me proud of myself.
Yeah, I have your smile since I said that I love you as the rain, which always drained all of my days, then made a rainbow with seven nice colors.
You drew your smile onto the sky with a love red inked brush, I saw you and grabbed your another hand because I didn’t want to let you.
Your smile were yours, and now it’s not only mine, but also ours.

Reinkarnasi dalam Secangkir Kopi


Semakin larut yang kujalani pagi ini.
Segala penat kebosanan selama masa rehat seakan memijak pada garis finish.
Hambar yang kutelan layaknya pil dopping yang rutin kuminum 2 hari sekali.
Ya, dan dalam tengah larut ini aku bahagia, semua terpecah dalam keheningan dan kembali.
Sempat kutulis tentang seutas kehilangan yang tak terduga.
Namun sangat kilat segalanya telah kurenggut kembali, kugenggam seperti awalnya.
Kutemukan beberapa helai tawa yang selalu menampar sepiku terdahulu.
Dia, mereka, dan kami berkumpul dalam sebuah kecerahan bulan yang menyombongkan cahayanya di balik matahari pagi.
Tak banyak yang kutulis, karena kulewati malam panjang yang singkat.
Kutemukan sebuah kepercayaan kembali, dan beberapa teguk kopi hitam dalam cangkir menemani reinkarnasi kami.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Rabu, 16 Februari 2011

Balutan Kerudungnya

Galau untuk memilih kalimat pembuka pada karangan ini, tertutup kabut mendung yang datang sore ini, dan seperti akan tersambut hujan kembali.
Hmm, aku tak temukan juga dalam benak otak.
Aku hanya ingin ungkapkan ia telah kembali, layaknya sedia kala di sebuah masa.
Puas, namun belum.
Meski hanya sedang dalam sebuah masa coba, ujian untuk mengubah dan kembali adalah sebuah ukiran indah dalam garisku.
Telah kukenal senyum itu enam bulan yang lalu sejak kutulis judul ini, dan sangat kucinta saat caranya melukis senyum itu menjadi sebuah tetesan air hujan yang selalu kunanti.

Bintang Hangat pada Awaknya


Terukir dalam benak tentang sebuah tulisan.
Satu adalah dari garis hidup seorang kerabat dekat, ia mencinta, merindu, mengharap pada seorang bintang yang harusnya telah ia miliki, namun asanya tertutup oleh kelam.
Bintangnya sangat benderang, menghapus momok hitam yang selama ini dirasa, dan bintangnya adalah bukan pertama.
Ya, memang pertama yang ia rasakan tentang cemburu, kasih sayang, dan penerangan kalbu.

Senin, 14 Februari 2011

Merindu pada Sang Pemimpin


Mungkin kuterlambat rasakannya.
Merindu, terdiam pada langit sore, dan aku tertunduk.
Aku terlambat, setelah kutoreh beberapa pukulan dosa yang mematikan.
Sesal yang kurasa seakan membuat semakin kecil peluang untuk mendambanya.
Beberapa kali akulah pendosa pada-Nya.
Kadang kurasa aku terlambat dan tak mungkin kuraih ampun-Nya, namun tersadar Ia Maha Pengampun.
Akulah pentobat, lalu kujalani pertobatan yang kuyakin tak pernah terlambat.
Hari ini, kupahami bahwa betapa rindunya pada sang pemimpin sepanjang masa.
Aku merindunya, makhluk suci yang tak tersentuh dosa layaknya darahku yang tiap alirannya mengandung noda.
Kuyakin aku belum terlambat, akulah pentobat.
Ya, aku yakin.
Kini kubenarkan aku merindu, ingin bertemu di surga-Nya saat hari akhir telah tersambut.
Lalu kumemohon, ijinkan kucium bau surga-Mu meski sesaat.
Ijinkan kuminum air dari kolam suci-Mu meski setetes.
Dan ijinkan kutemui sang pemimpinku di surga-Mu, bersama orang-orang yang kusayang.
Kubasuhkan tangan pada wajah, sembari berkata, “Amin.”

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Sabtu, 12 Februari 2011

Kuingin Lewatkan Halaman Itu, Lagi...

Setelah lama kutenggelamkan cerita itu, lalu tertumpuk oleh lembar lainnya.
Tertelan oleh lembar demi lembar cerita baru yang ditulis hujan dengan ukiran indah, mengalihkan pandanganku sesaat dari kelegaman masa lampau.
Hebat, hujan telah melukiskan senyumnya pada bibirku hingga kuteriak girang dan bangga, bahwa aku memilikinya.
Aku terlarut, menari di antara kaktus yang kusebut mawar.
Segala lembar yang tak kusuka seakan terbakar dan abunya terajak angin melayang.

Kamis, 10 Februari 2011

Lantunan Untuk Penat dan Gersang

Siang ini masih terasa panas, udara gersang bertiup perlahan mengantar peluh pada kulit.
Hmm, inilah kotaku yang tak pernah absen dalam hal seperti ini.
Penat dan pening masih setia merasuk dalam raga yang lemah.
Penat yang berkonotasi pada keadaan, serta pening yang bermakna denotasi pada kepala.
Heran, aku mulai terbiasa dengan semua ini, terbiasa dengan segala kesakitan dalam batin.
Inginku menangis pada hujan, bermalas-malasan padanya, dan berharap timbal balik berupa sebuah perhatian yang lebih.
Ah, aku ini balita.
Harusnya aku telah beranjak dari tempat rebahku, dan kulihat usia yang mewajibkanku mandiri.
Mungkin hanya ingin maya yang akan sirna, namun itulah hal.
Sangat menyiksa dan tubuhku bergetar, dingin, lalu pucat pasi menengokku.
Lalu aku ingin menangis pada Tuhan, tertolak.
Aku berteriak, pada siapa lagi?
Kehilangan segala wadah untuk berkeluh, namun kucoba memahami.
Hujan sedang tak singgah siang ini, matahari yang memaksanya tak hadir dengan angin sepoi.
Ya, tangisku akan tertadah pada rintiknya saat hujan datang, dan kutunggu saatnya.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Rabu, 09 Februari 2011

Lalu Kutulis Sebuah Kegundahan Lagi...


Gundah.
Itulah kata favoritku sejak kumulai menulis buku ini beberapa waktu yang lalu.
Lalu kubuka lembar, demi lembar, lalu kututup tanpa kutulis sebuah karangan baru.
Otak kosong tak berinspirasi yang memaksaku berhenti menulis malam ini, meski harusnya kutulis sesuatu yang hendak mewakili gundahku.
Dingin, bekas hujan deras sore itu masih terasa, angin kencang menyepoi turut mengikuti di belakang jejak hujan.
Suasana sore itu seakan membunuh pemikiranku yang gundah, gundah, gundah, gundah.
Entah, enyah.
Aku ingin berbohong pada hati yang sedang pingsan sejenak akibat kelelahan berlari.
Namun tak bisa, aku benci sebuah kemunafikan.
Namun juga tak dapat untuk kuungkapkan jujur pada ranting yang bergerak perlahan oleh angin sepoi lalu.
Janji yang ingin menemani sebuah keriangan hendak membuat aku terbang, lalu melayang, lalu menari bodoh di atas awan, dan jatuh.
Hey, bangun!
Sepertinya telah gugur, ya, gugur.
Sebelum kumenari, aku lengser oleh janji yang lain, ya, gugur.
Ah, napasku mengembun pada cermin di depanku, aku sedikit terluka oleh keguguran yang baru kualami.
Memang sudah tergambar di benak saat sebuah janji tertulis, namun aku hanyalah gundah.
Dan untuk kesekian kalinya, aku lupa, inilah gundahku.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Senin, 07 Februari 2011

Es Pisang Ijo

Hujan datang beramai-ramai pagi ini, tanpa permisi.
Tak masalah bagiku, kutenggelam dalam suatu senyum.
Memandang beberapa gambar, dan aku serta-merta kembali dalam masa itu.
Kutemani hujan sebelum aku memilikinya, kutemani hingga menuju kampung halaman.
Ya, memang aneh, aku bukan siapa-siapa untuk hujan.
Heran, hujan paham aku bukan miliknya, namun ia masih rela kutemani.
Dan tanpa terencana telah terikat sebuah janji saling memiliki, aku pada hujan.
Merintik perlahan dengan senyuman indah berlesung kecil.
Malam itu hujan kumiliki, dan aku berharap selamanya.

Sabtu, 05 Februari 2011

Sebuah Lantunan Musik yang Segar


Saat kudengar lantunan musik perlahan, track berikutnya adalah lagu itu.
Ya, lagu yang pernah kumainkan bersama beberapa musisi hebat.
Lalu kuterbayang sosok mereka, biasa, dan tak ada yang istimewa.
Sebut kami sebuah lantunan musik yang segar.
Segalanya tak ada yang sempurna, bukan dari segi ahli, namun dari sisi takdir.
Ya, jalan tak selalu mulus, jalan selalu berliku, dan keras!
Yang kurasa adalah bangga, mereka hebat di mataku, dan itulah mereka.
Sebuah kehancuran yang menerpa lalu menusuk nadi seakan berhenti bernapas karena sebuah kesakitan, tak ada dukungan, namun yang ada sebuah cela.
Terpelanting, keras, dan tentu sakit.

Kamis, 03 Februari 2011

Bunda pada Hujan


Sejak kelebaman dagu yang tertampar amarah, bunda merenung.
Saat bertanya dan kuacuhkan perlahan, bunda tersenyum, mungkin tersentuh.
Masuk ke dalam mata batinku, bunda bertanya pada hati yang tertunduk lesu.
Hatiku diam, namun kutahu bunda mengerti, aku hilang dan mati.
Bunda tersenyum kembali, tak dipaksa aku untuk berhenti menangis, dan bunda menangis dalam batinnya.
Adik, ia bertanya, “Hari ini hujan tak datang, mengapa? Aku rindu.”
Ya, semua merindu pada hujan, yang membiarkan tanahku kerontang kosong dan terterik matahari.
Bunda melihat, mendengar, lalu merasa.
Di tengah malam, kudengar bunda terisak dalam doanya, ia memohon.
Bunda menyayangi, bukan hanya aku, namun padanya, seakan anak kandung.
Bunda menyukai, dan aku bangga pada air mata bunda yang memohon dan mendoakan.
Namun aku tak mau bunda tercampur, aku harus naik ke awan, akan kucari hujan kembali, dan kutarik perlahan air demi airnya agar mau turun ke bumi seperti semula.
Lalu bunda merindu.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Rabu, 02 Februari 2011

Kutulis untuk Pemaafanku

Sebuah kisah adalah sebuah kenangan.
Memang terkadang pahit, namun dengan kepahitan itulah manusia belajar mengembalikan dan memperbaiki segalanya.
Lalu kucoba menelan ludahku, hambar.
Sudah kuungkapkan segala apa yang harus kuungkapkan, habislah air mataku.
Sakit ini tak terasa, berbeda dengan apa yang ia rasa, tentu menusuk.
Seorang penengah menghampiriku, lalu berkata perlahan, “Ia tak akan berhenti, ia tak mungkin tega membencimu dan menghentikan tetesan sucinya.”
Dan bunda memelukku perlahan, menyeka air mata yang beku di pipi.
Bertanya, “Ada apa di balik tangismu?”
Aku terdiam, lalu aku berpamit kembali ke ruangku.
Seorang penengah kembali, lalu berkata dengan bijak, “Ia tak akan tega melihatmu perlahan-lahan menjadi gila.”
Apa mungkin?
Aku telah menghanguskan perasaannya tanpa kusiram dengan air hujan.
Kesakitannya mungkin juga membunuh jiwanya, lalu gila.
Namun akulah juga, gila dengan segala pemaafanku.
Dan aku tak akan berhenti menjadi seorang pengemis, jika itu yang mampu merintikkan hujan kembali.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Tentang Hujan

Bulan tersenyum, bersinar dengan kuning pudar seperti biasa, namun sedikit tertutup awan mendung yang diiringi rintikan air.
Bagiku semua terlihat datar, monoton lebih tepatnya.
Suara serangga mencoba pecahkan sepi malam itu, melawan rintikan hujan yang awet tak berhenti.
Lalu kurasakan sebuah kegundahan, lagi, dan kali ini akulah pengemis, aku memohon, menangis, merintih, merengek, dan aku terpaku.
Kuraih telapak kaki itu, lalu kucium layaknya seorang ibu.
Aku hina, memang salah.
Beberapa kali kuulangi sebuah pembodohan hati yang harusnya kusadari, aku tertatih, menangis.
Aku salah.
Lampu di ruangku meredup, tak kusentuh saklarnya karena memang kubiarkan sampai benar-benar mati, dan gelap.
Hujan masih bertahan, namun kutahu ia lelah.
Saat ini ia ungkapkan, ia memang lelah, lalu ia coba merintih sepertiku.
Aku terdiam, sepi, lalu perlahan hujan berhenti.
Tidak, aku tak ingin hujan itu berhenti.
Telah terjadi seperti ini, dan aku menangis merintih kala hujan memaksaku berhenti.
Saat ini ia ungkapkan, ia berhenti.
Tidak, aku tak ingin hujan itu berhenti.
Biarkan kucoba menjadi badut pesta yang bodoh, lalu dipermainkan anak-anak.
Aku memang bodoh, mungkin hujan bosan.
Atau mungkin ia ingin tempat lain?
Tidak, ia lelah.
Namun aku tak ingin hujan menghentikan rintikannya, aku butuh dinginnya, airnya, segarnya.
Dan kutulis syair ini, tentang hujan.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Selasa, 01 Februari 2011

Aku dan Mereka


Malam itu aku tersungkur, aku menuju balkon lantai dua.
Kulihat tawa mereka di antara bintang yang meredup, lalu tertutup awan mendung sebelum hujan.
Di sana tergambar jelas, segala apa yang terlampau dengan senyum tawa dan melepas penat yang tak berujung atas beban pikiran.
Lalu kugores sebatang lidi pada pasir, kulukis nama mereka, perlahan-lahan, satu demi satu.
Ukiran itu rusak, tertetes air mata kala kuingat mereka melepas berbagai canda.
Beberapa nyamuk datang, menghisap darah pahitku, namun aku diam.
Kubiarkan nyamuk menghisap segala kepahitan yang kualami tanpa mereka.
Aku turun menuju kamarku, kulirik buku ini, kuacuhkan perlahan.
Tiba-tiba kudapati hujan menghujam atap seakan berteriak, “Bangkitlah!”
Ya, saat itu aku terjaga oleh sebuah keyakinan, akulah mereka.
Sebuah perpisahan yang membuat aku mengerti, apalah arti persaudaraan dan persahabatan.
Kutuliskan dalam pikiranku, kuhapuskan gundah dalam hati, lalu kusipitkan lahan kekecewaan.
Inilah mereka, dan aku.
Dan hujan telah membuatku terjaga.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)