NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Kamis, 29 September 2011

Sekretariat BEM

Di sini gak ada sinyal. HP gak berfungsi, gak bisa ngehubungin siapa-siapa. Koneksi internet pun buruk parah, laptop gak ada gunanya. Terus aku mau ngapain coba? Cuma nge-charge laptop sambil manfaatin speaker active yang ada, dengerin MP3 lagu favorit, Yellowcard – “Only One”.

Udah itu aja. Gak bisa ngapa-ngapain lagi di sini. Sepi, aku sendirian. Ada boneka bayi yang aku benci (karena aku phobia) tapi disayang temen-temen. Mereka kasih nama boneka itu “CHILA”. Gak penting, kan?

Tempat ini rapi banget. Ada beberapa buku tergeletak gak berempunya. Beberapa berkas juga gak karuan berserakan. Ada juga potongan-potongan stereoform bekas dekorasi. Ini tempat sampah?

Aku keluar. Bosan.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Selasa, 27 September 2011

Melamun


Apa?

Coba kaupikir, telah lama kutinggalkan buku tentang hujan itu, mungkin sudah sedikit berdebu dengan background sarang laba-laba yang membungkus nista dari penat akhirat. Tak pernah kugoreskan tinta darah lagi di atas lembar buramnya. Bukan, aku bukan telah bosan pada hujan. Aku tetap mencintanya, hanya saja sangat perlu kulakukan rotasi pemikiran agar penggilaku tak bosan melihat guratan debu yang kugambar pada tebing kelam.

Seseorang bercengkrama denganku sore ini di depan serambi rumah tua. Ternyata ia berpikir bahwa kisahku akan sesuai dengannya, persis. Aku tertawa santai. Ya, memang bukan akan seperti itu. Hujan di beberapa hari yang lalu hanya sekadar lewat sedetik untuk memastikan aku tetap basah dan segar. Ia bukan ingin menguasai kemarau hitam lagi, karena memang belum saatnya ia datang.

Lalu apalagi yang harus kupasrahkan?

Ah, tidak. Aku harus berangkat ke jembatan kenangan itu, sekarang juga!

Senin, 26 September 2011

Mencintaimu Sulit

Mencintaimu memang sulit. Segala yang kaurasa benar tak pernah berkata benar oleh pikiranku. Selalu kausebut sebuah jurang curam penuh darah bangkai kerbau hasil terkaman singa yang lapar kepemimpinan itu adalah surga. Sebuah cinta setajam pedang yang siap menghunusmu tak pernah padam untuk menerka, sedang apa yang kupikirkan saat itu. Hebat, ini adalah kebeningan alam yang kurasa tak pernah datang. Apa? Bukan, ini bohong! Mencintaimu tetap sulit, tetap sesulit memakan kulit durian dengan pasangan air kelapa muda yang penuh bercak darah.

Mungkin kau akan bingung, apa yang sedang kutulis. Ini hanya pelampiasan terhadap emosiku yang tak kuat membendung sepoi badai pagi. Ya, aku tak semudah dulu dalam mencampur segala kata menjadi syair puitis. Aku lebih ditenggelamkan oleh alam ke dalam dunia maya yang nyata. Apa ini? Aku benar-benar hilang dalam ketegangan indah.

Kau. Mencintaimu sangat sulit. Belum bisa kupecahkan untuk jawabanku. Aku tak pernah ingin mati, mungkin hanya beristirahat di dalam liang lahat untuk beberapa abad. Fosil yang kutinggalkan adalah bukti bahwa aku masih putih, masih akan selalu memecahkan kesulitan itu. Kau berpikir bahwa aku lebih sulit? Kau jauh lebih dari itu.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Minggu, 25 September 2011

Jangan Hakimi Aku!

Aku bukan pengumbar kata-kata.

Yang kukatakan tak pernah hampa meski aku kaukenal sebagai pendusta sepi.

Apa lagi yang kau ributkan?

Mudah sekali ‘kan untuk aku mengumbar kata itu pada orang lain, seperti yang kaukatakan?

Ya, setidaknya aku saat ini tak lagi memejamnya, aku mencoba keluar dari permukaan kubangan lumpur itu.

Aku bukan lagi seekor babi yang hanya suka berguling-guling mandi di kubangan lumpur.

Coba lihat, aku tak seperti dia yang munafik, yang mengumbar kata-kata itu seperti apa yang telah kau hakimkan pada mulutku.

Aku bukan itu.

Aku ini.

Ya, aku ini.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Kamis, 22 September 2011

Keep Stay In Front of the Mirror

Sebuah cermin tua di kamarku telah sedikit kusam

Cermin itu tertempel lemas selama lebih dari setengah umurku

Ya, yang kutahu cermin ini selalu jujur meski telah butut

Setiap gerak yang tercipta di depannya akan ia pantulkan apa adanya, persis dengan apa yang ada

Tak seperti sebuah kamera

Cahaya yang dipantulkan selalu berusaha lebih sempurna dari objek aslinya

Munafik, bukan?

Teknologi selalu memunafikkan

Nyatanya aku tetap cinta cermin ini


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Minggu, 18 September 2011

Kamuflase

Aku kehilangan secangkir air putih yang kutuang beberapa menit sebelum aku pergi menuju negeri entah apa namanya. Sengaja kutinggalkan gelas berisi air putih itu tanpa kuberi nama karena aku yakin tak ada yang sudi meminumnya. Ia hanya gelas hina, yang berhak meminumnya adalah budak seperti aku, bukan petinggi-petinggi negara.

Mungkin aku pergi terlalu lama. Gelas itu seketika telah mengering saat aku kembali. Aku tak ingin berburuk opini, yang kutaksir adalah ia telah mengering karena terik matahari yang memaksanya segera mengudara membentuk awan putih. Tentu bukan diminum orang lain, tentu bukan. Bukan!

Sudahlah, gelas itu telah kering. Meski telah kucoba beberapa kali mengisinya kembali dengan air putih yang baru, tetap saja itu hanya air putih yang masih baru. Wujudnya memang tetap air putih, namun ia bukan air putih yang hendak kuminum dulu.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Jumat, 16 September 2011

Seperti di Surabaya

Pagi.

Lalu lintas sangat padat. Tak ada celah untuk menerobos meski perlahan. Asap-asap kendaraan bermotor pun saling bertabrakan di udara, semakin terlihat abu-abu. Tak pelak bunyi klakson saling berdebat, tentu masih teguh bahwa pendapatnya paling benar. Sesekali terdengar sirine entah dari mobil polisi atau ambulans. Pagi ini sangat padat.

Siang.

Lalu lintas masih padat. Sedikit ada celah untuk mendahului mereka yang bodoh. Asap-asap kendaraan bermotor semakin memuncakkan keringat beradu dengan emosi terik matahari. Klakson dan sirine semakin terdengar lebih akrab. Siang ini masih padat.

Sore.

Lalu lintas tetap padat. Hampir tak bergerak untuk mencari celah lagi. Asap-asap kendaraan bermotor telah tertelan bercampur letih bekerja, ini suasana after hour. Bunyi klakson semakin mendominasi dari sirine, semakin kencang karena tak sabar jumpa istri di rumah. Sore ini tetap padat.

Malam.

Lalu lintas selalu padat. Mau dikata apa lagi, ini tetap tak ada celah untuk bergerak cepat dan sampai di tujuan. Memang tak ada pengaruh asap-asap kendaraan bermotor lagi. Seketika cuaca kelam menjadi panas emosi. Klakson tetap berkuasa. Tak ada lagi sirine. Malam ini selalu padat.

Seperti di Surabaya. Ini tentang kota yang sibuk, seperti aku.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011

Rabu, 14 September 2011

Aku Mencintaimu, Angin

Aku mencintaimu seperti angin.

Yang datang tanpa terlihat. Yang terasa sejuk meski tak kasat mata. Yang selalu meniup dan keringkan cucian-cucian ibu di rumah. Yang mengajak pohon-pohon sepi untuk menari.

Yang datang menerbangkan spermatozoa benang sari ke putik bunga lain agar terjadi pembuahan. Yang kemudian menyisir bulu-bulu kelinci agar tetap sehalus kain sutra. Yang tak pernah mengigau saat terjaga. Yang dengan mudahnya menerbangkan layang-layang harapan.

Yang mengajak pasir-pasir untuk singgah di balkon rumahku. Yang menemani debu-debu membusukkan mata hati. Yang melemahkan syahwat kala nafsu membabi buta. Yang memaksa mata tersiram butiran kecil hingga sedikit perih.

Aku mencintaimu seperti angin.

Yang membuatku bersyukur untuk mengajak hujan turun berkunjung di tepian pantai malam. Yang membuatku terpesona saat mengundang bintang-bintang tetap terang di antara gelap gulita. Yang membuatku telah melupakan awan abu-abu penyebab patahnya penaku.

Aku mencintaimu seperti angin. Yang membuatku selalu bersyukur karena tanpa angin aku tak bisa bernapas dengan baik.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Selasa, 13 September 2011

Dyah Puspita Rini


Tenggelam

Dalam

Kegundahan

Bukan

Sekadar

Galau

Tapi

Telah

Akut


Kehilangan

Terasa

Saat

Seseorang

Yang

Kita

Sayang

Tak Ada

Di Samping

Kita


Rindu

Yang

Ekstrim

Dan

Belum

Pernah

Serindu

Ini

Aku sayang IBU

Minggu, 11 September 2011

Lalu Lintas Galau

“Semalam macet. Aku terjebak macet 2 jam loh, lama banget. Padahal jarak kampus ke rumah normalnya cuma 20 menit. Hebat kan? Aku gak mau bahas apa penyebab macet yang membosankan itu, tapi aku pengen bahas apa aja yang terjadi saat macet.

Lampu lalu lintas gak berfungsi sebagaimana mestinya, ya, karena saat nyala warna hijau, mobil-mobil, motor-motor, dan kendaraan lainnya tetap berhenti dan antri. Pemandangan yang bisa aku lihat pun gak ada yang beda selain punggung-punggung mobil dan beberapa wajah pengendara yang tentu terlihat bosen dan mungkin agak emosi. Aku tahu mereka pasti capek, ini udah jam 10 malam. Terlebih mereka yang naik kendaraan umum kayak angkot dan bus kota. Bayangin aja, mungkin motor ku masih bisa jalan meskipun cuma 1 meter per jam, tapi bus kota dan truk-truk serta mobil-mobil pasti lagi nahan emosi banget gak bisa jalan sama sekali.

Di kota tempat persinggahanku ini iklimnya dingin, harusnya memang gitu. Lupakan, aku sekarang lagi tenggelam di lautan macet. Keadaan sangat pengap, panas, dan labil. Suhu 26 derajat Celcius sama sekali gak terasa, lebih kayak suhu 40 derajat Celcius.

Itu bukan pertama kali aku terjebak macet. Udah 3 kali. Dan tadi malam pengalaman terjebak macet yang paling singkat, 2 jam. Pernah malah sampai 6 jam tanpa bergerak sedikit pun. Bingung tuh mau pipis di mana coba?

Lalu lintas semalam lagi galau, banget. Padahal harusnya aku seneng. Ini analogi yang kurang pas, kurang sama sekali.”


Dan bukan karena itu, tapi karena yang satunya lagi, yang berikutnya. Atas segala penyembuh yang telah diberi dan digoreskan perlahan di hati. Yang galau bukan aku, namun lalu lintasnya. Aku? Kegirangan!

Jumat, 09 September 2011

Sajak Bahasa Inggris (Bukan Tak Nasionalis)


This is about a poem, not a politic.

So, do not talk anything except a poem.

I love poem.

I write a poem without a politic’s influence.

Not about nationalist, this is about feeling.

I love INDONESIA.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Rabu, 07 September 2011

Naik Daun


Namaku mulai melambung tinggi, lebih banyak orang yang dapat mengenaliku meski aku bersembunyi di balik topeng genderuwo ini. Sebelumnya, saat kugunakan wajah asliku, tak sedikit yang mencaciku dan mencambukkan benang berduri di balik punggungku. Aku hanya bisa bungkam, tak mungkin aku berani membalas ribuan penjalin itu.

Kini di balik topeng, aku jauh lebih baik. Mungkin kebetulan. Tapi, ini bukan kebetulan! Ini murni atas usahaku membalikkan namaku dari keterpurukan bekas wajah lamaku. Meski bertopeng menjijikkan, aku tetap dielu-elukan.

Aku mulai tak terkalahkan. Maaf jika sedikit sombong. Aku hanya sedang bangga, mungkin yang kalian sebut sedikit sombong. Tapi aku tak pernah sombong. (Pikirkan, apa yang kusombongkan dari topeng ini?). Aku bahagia namaku tak sebusuk dulu, meski hanya bersembunyi di balik pembohongan ini.

Di balik sebuah topeng genderuwo, aku tetap mengais berjuta pasang mata untuk merebut perhatian mereka, hanya padaku. Kini milikku, setiap cahaya yang jatuh ke bumi adalah tertuju pada ke-glamour-an hidup baruku.

Saatnya menunggu, sampai topengku terbuka secara sengaja maupun tidak, ketika itu semuanya akan terlempar terbalik padaku. Dan saat itu, mungkin aku sudah mati.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Selasa, 06 September 2011

Dia

Dia berharga (dulu)

Dia sahabat (dulu)

Dia sayang kamu (dulu)

Dia terima kamu apa adanya (dulu)

Dia mau memaafkan segala keluh kesahmu (dulu)

Dia rela berkorban tiap malam menangis saat kamu menangis (dulu)

Dia tidak pernah lupa menamparmu saat kamu terjatuh dengan bodohnya (dulu)


Dia telah pilih jalannya (sekarang)

Dia punya yang terbaik, untuknya (sekarang)

Dia menangis bukan lagi di pundakmu (sekarang)

Dia pilih tanah yang membuatmu alergi (sekarang)

Dia menghapusmu dengan cat baru miliknya (sekarang)

Dia bukan dirinya (sekarang)

Kamu harus bangun

Segalanya telah ditamparkan padamu, masih mau tertidur pulas?

Dasar bodoh!

Ah, sayangnya ini kutulis untukku sendiri


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Minggu, 04 September 2011

Rasanya Linu, Bukan Sakit

Malam itu harusnya aku terbuai oleh terik cahaya bulan

Aku dibawa melayang, meskipun aku tahu akan sakit saat terjatuh

Bahkan di tengah-tengah awan, kuhirup beberapa kemunafikan karbondioksida

Sesaat aku terkapar dan sesak, namun berhasil kustabilkan pernapasanku

Ini hebat, belum pernah aku terbang setinggi ini

Baru kutahu jatuh dari ketinggian yang berlebihan itu rasanya linu, bukan sakit biasa

Terlebih saat dibanting, bukan hanya dijatuhkan

Bukan hanya sakit, namun juga linu

Sengaja kuulang agar semakin menegaskan aku sedang sakit

Meskipun hanya dengan satu pengucapan malam yang menutup hariku, juga mataku

Rasanya linu, bukan sakit


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Sabtu, 03 September 2011

Di Atas Sebuah Nyawaku

Lalu aku terpuruk di atas peron yang bahkan tak pernah kududuki lagi, terdiam. Kini aku tersesal atas segala tinta yang telah kutumpahkan ke atas kertas folio bergaris milik seorang bapak tua. Aku harusnya tak mengganggu bapak itu sejak datang ke terminal ini. Ia termenung, melihatku dengan iba. Pikirnya, akukah yang hendak menghiburnya dengan tarian-tarian badut seperti di pesta-pesta adikku?

Hahaha, aku ini gila. Namun bapak tua itu masih menggaliku dengan tongkat yang ia genggam. Tongkat itu penyokong tegaknya agar ia tak goyah oleh desiran debu padang gurun yang terik. Tongkat itu dilempar tepat mengenai ulu hatiku dan menghancurkannya. Aku masih bisa bergerak bebas, hanya saja tak bisa berperikemanusiaan lagi.

Pikiranku masih segar, lain dengan hatiku yang telah tersentuh butiran debu sepersekian milimeter, yang tak dapat terkasat oleh mata telanjang. Inikah akhir lirih nadiku untuk berdetak? Aku meronta, menghina, dan memaki pada takdir. Nyatanya ini bukan aku.

“Sejenak cobalah kau pikir, taruhlah bila memang semua ini harus berakhir sampai di sini.. Sejenak memang menyakitkan, aku pun merasakan namun inilah yang terbaik.. Janganlah kau diam, terus berjalan!

Sejenak cobalah kaupikir, secerca harapan kan selalu menemani langkahmu.. Janganlah kau diam, terus berjalan!

Hidup hanya sekali, jangan biarkan menunggu.. Waktu takkan kembali, cinta tak akan mati mengisi relung hatimu meski tak ada lagi cinta seperti yang dulu..

Lupakan semua lukamu.. Lupakan semua yang membuatmu menangis.. Yakinkan senyummu ‘tuk bisa terangi hatimu..”

(Garasi – Hidup Hanya Sekali)


Semoga aku bertahan. Semoga.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Jumat, 02 September 2011

Sebuah Mimpi, dari Dedy Rizaldy


“Kamu hebat.
Cita-citamu tinggi.
Terlampau tinggi, dan sangat gak logis!
Gimana bisa, kamu aja masih sekolah, mau naikin haji orang tuamu?
Mimpi itu boleh setinggi-tingginya, tapi juga perlu realisasi!
Kamu yakin, tapi aku tetap ragu.”


Itu tanggapan awalku saat mendengar tentang mimpimu. Memang hina, kan? Aku tak pernah percaya. Bahkan ketika kau yakinkan aku dengan curahan air wudhu pun aku masih sedikit ragu. Percikan cahaya bulan yang tergaris satu malam begitu datar.

Kau pergi bukan tanpa apapun. Kau pergi bukan melepaskan tanggung jawab atas mimpimu itu. Kau pergi bukan melupakan janjimu pada mereka. Kau pergi bukan tanpa menyapu debu-debu pada halaman hati bapak ibumu.

Lalu kau terdiam, menungguku hingga ikut terdiam. Aku bungkam saat kutahu kau pergi dengan sejuta kisah harum. Bapak ibumu menangis, bangga atas mimpimu. Bapak ibumu terharu, bangga atas sangu yang kauberi pada mereka. Bapak ibumu akan tunaikan mimpimu, yang kini jadi amanahmu.

Kau pergi, dan kau berhasil mewujudkan mimpimu. Bapak ibumu bangga sekali. Kau bukan hanya bermimpi, tapi kau lebih dari mewujudkan mimpimu.

Empat ibu jari kusuguhkan, untukmu.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Fakta September


September bukan ceria
September bukan bahagia
September bukan cheerful
September bukan perayaan

September itu merenung
September itu tragedi
September itu kenangan
September itu mengenaskan

Mau bukti?
Darah bercecer ria di atas tanah berdebu
Ketika beberapa masa terlampau untuk dikenang
Itu yang mereka bilang ceria?
September bukan ceria
September saatnya berkabung

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Kamis, 01 September 2011

Tentang Sebuah Hujan

Sejak beberapa puluh jam yang lalu telah kutanggalkan sejumlah bongkahan aspal untuk menghela napas, sejenak untuk berhenti meminum air hujan.

Selalu dan selalu aku berkata hujanku memiliki banyak rintik. Nyatanya memang begitu. Itu alasanku mencintai hujan.

Aku tak pernah memiliki alasan spesifik tentang hujanku. Ini tentang hati, antara aku dan hujan saja yang tahu. Kurasa memang tak perlu kau tahu, mereka tahu, atau siapa saja yang ingin tahu. Ini rahasia besar kami.

Hujan itu indah. Aku tak pernah menolaknya dengan payung atau mantel hujan saat ia datang. Ia hebat. Aku segar olehnya ketika aku gerah menghirup asap nitrogen di tengah kesibukan jalanan ibukota. Tiap rintiknya mampu mengalahkan fatamorgana air yang berpura-pura menghiasi jalanan aspal di antara terik siang.

Hujanku memang memiliki banyak titik-titik air di tiap waktunya, namun yang kucinta bukan itu. Yang kucinta adalah sebuah nama tentang hujan. Ceritaku tentang hujan selalu indah untuk kupikirkan, bukan untuk kukenang, karena memang hujanku tak pernah mati.

Aku mencintai hujan bukan untuk cerita fiksi belaka. Aku nyata mencintainya. Namun memang tak pernah ada subjek spesifik untuk sebuah hujan yang kucinta.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)