NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Senin, 29 April 2013

Sudah Cukup Membantu?



Hai, sayang! Iya, ini aku. Aku yang biasanya mengangkat tirai untuk memudahkanmu menutup pintumu. Kamu sulit meraihnya, kan? Iya, aku bisa bantu sebelum akhirnya kita berangkat dan kamu menutup pintu lalu menguncinya rapat-rapat bak seorang penggalau yang mematahkan hatinya sendiri dan sedang dalam proses move on padahal yang terjadi sebenarnya dia kesulitan move on. Rumit, ya? Sayangku tak serumit itu ke kamu.
Iya, ini aku. Aku yang biasanya membukakan kaleng sarden sebelum akhirnya kamu yang memasukkannya ke penggorengan dan memastikannya segera masak. Menambahkan bawang merah dan putih, garam dan gula secukupnya, memastikan tak terlalu banyak menuang air, menumis dengan api yang relatif sedang demi kemasakan yang sempurna, menjaga agar ikan tetap segar sampai muncul aroma khas sarden. Memang perfeksionis. Sayangku ke kamu sedang kuusahakan sesempurna itu.

Rabu, 27 Maret 2013

Coba Artikan Aku

Aku Belum Tentu Pemabuk, Kota Wisata Batu, Indonesia
(Model by: Oktavian "Bombom" Hernawan)

Aku, jadi, aku itu apa? Aku belum menemukan “aku” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Menurutnya, “aku” adalah pronoun. Menurutnya, “aku” adalah kata ganti pertama tunggal sebuah sudut pandang. Menurutnya, “aku” adalah aku. Masih sangat abstrak.
Ternyata, aku bukan tentang sudut pandang pertama yang selalu ingin memenangkan ego. Aku bukan semudah sesosok manusia dan lelaki dan berpostur pendek, dan berkepala botak dan berkulit hitam mengkilap. Ternyata, aku bukan tentang sepi yang sering aku keluhkan, aku bukan tentang jenuh yang kujadikan alibi saat diam dalam sendiri, bukan hanya tentang detik tiap detik penuh kabut. Mungkin bukan semudah debu terseok angin, aku bukan tentang malu yang ingin menyapa gadis berambut sebahu. Iya, gadis di seberang rumah susun tua itu.

Senin, 18 Februari 2013

Aku Benci Hujan, Sendirian

Beauty of Goa Cina Beach (Part 2), Malang, Indonesia
(Model by: Najelina Ruth Jessica S.)

Aku mulai membenci hujan, sudah tak seindah dulu yang datang sesuai dengan petikan jariku saat aku memang ingin dia datang. Seperti dulu yang selalu menunggu kupanggil untuk kemudian mengejarku dan berebut membasahi tanah kerontang di sekelilingku. Entah, tapi memang hujan tak sekonsisten dulu, dia mulai menyusun berkas-berkas jenuhku padanya yang kemudian membuat aku berontak pada malam karenanya. Aku selalu meninggalkan jejak pada tanah basah yang tak kuingin kutinggalkan jejakku.

Kamis, 14 Februari 2013

Aku, Kamu?

Beauty of Goa Cina Beach, Malang, Indonesia
(Model by: Inne Orieska Putri)

“People just come and go away with no care about others. But you do, and you are.”
Hai, kamu yang sedang duduk di ujung jendela lorong perjuangan, itu kamu? Kamu itu nyata? Di antara kerumunan yang mengelilingi aku seperti mengelilingi api unggun di tengah pramuka yang sedang persami. Aku lihat matamu, dan kebetulan kamu menangkap mataku, eh itu kebetulan? Mungkin aku terlalu pesimis, tapi entah seakan memang itu sebuah kebetulan.
Hai, kamu yang duduk di antara kerumunan orang-orang itu, iya, kamu yang dikelilingi seperti orang-orang pramuka persami yang mengelilingi api unggun. Itu kamu, kah? Kamu nyata? Aku seperti seseorang yang duduk di ujung lorong dan sedang diawasi serigala lapar yang sengaja mencuri pandangan untuk mengintai mangsa. Ah, mungkin aku kepedean, mungkin itu sebuah kebetulan. Dia tak benar-benar sedang mengawasi aku, hanya bertemu saat bertatap mata di detik yang sama.

Kamis, 07 Februari 2013

(Apa) Aku (Apa)?



Ini tentang aku, tentang aku yang tak bisa (lagi) menelaah siapa aku ini, berasal darimana aku ini, terbentuk dari apa aku ini, dan beberapa pertanyaan simpel lainnya. Bagaimana bisa kutahu siapa aku jika pun aku tak tahu aku ini apa? Ah, semacam pertanyaan klasik yang belum pernah berhasil bisa kutemukan jawabannya untuk kujawab sendiri.

Selasa, 22 Januari 2013

“Being submissive to mother is a key to be succeed”


“Studying in the school is important. However, being submissive to your mother is the most important thing,” my grandmother always reminds me when I come home to my hometown, Surabaya. Eyang - I love to call her with that name - was born on August 30th, 1943 when it was Japan’s occupation of Indonesia. Her name, like others who lived at that time, is only one word: Tusilah. She has a unique habit; she always reminds me by telling about her childhood. She likes to compare about teenager’s life at that time and at the present. Eyang says that to be a successful person is very easy, you only have to be submissive to your mother. It is proven; Eyang was only graduated in junior high school but she can have job in Taxation Office and even she could go to Hajj to Makkah. It reminds me about a quote, “A heaven is under your mother’s feet”.
Eyang was born on a precarious life, during a war between Japan’s occupation of Indonesia. It was the age when women is being minority in the society. Her parents are one of Indonesian fighters. Life was so hard at that time; she rarely met her parents at home because they had to defend their residence. She has four brothers and she is the only daughter in her family; she is the second of five brothers. However, she seemed to be a first kid because her oldest brother was very indifferent to his all younger brothers. She also seemed to be their parents at home because their parents were rarely going home.
“You have to always do whatever your parents’ directive. All of your parents’ words is a pray to you. So, make your parents always praying good things to yourself,” it was one of Eyang’s mother words that always remembered. Although her parents rarely went home, but her mother often instructed her that she had to be independent girl.