NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Rabu, 29 Februari 2012

Kabisat

Kamu kalah! Sudah jauh lebih dalam dari patah. Ya, ada ungkapan lain yang lebih buruk dari itu? Aku, aku orangnya, yang akhirnya mematah-pipihkan semua muasalmu dan berhasil membalikkan kenyataanmu sebagai individualis tertutup dan egois perasa pahlawan perasaan. Semua menjadi antonim di tanganku. Kubalikkan. Aku menang. Kamu patah.

Hari ini, menjelang hari empat tahun sekali, kamu telah menyatakan bahwa akulah pengubahmu, pembalikmu, dan semoga akhirnya nanti aku yang jadi imam atas jalanmu. Tidak ingin mengucapkan selamat? HAHAHAHAHAHA. Aku sayang kamu. J


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Minggu, 26 Februari 2012

Malam Itu Benci

Those are the dew in the midnight, cross over the night city park

You couldn’t find what do you need by your breathin’ in the deep ocean

I’m freezing


Di antara sampah-sampah kota yang katamu tak suka kau lihat, berserakan tak karuan

Lalu pada punkers yang menggodamu saat kau berjalan di tempat yang kauanggap karpet merah

Saat itu yang kaugerutukan adalah salah jalan yang aku pilih, nyatanya kau telah percayakan aku sebagai pemilih jalan kita

Dan di bawah kulit terdapat bekuan kabut duapuluhenam derajat tanpa helai rindu sekalipun

Aku tetap tegak, ya setidaknya kau dorong aku untuk tetap bertahan berdiri


Mata itu lagi

Yang selalu aku agungkan di awal pertemuan itu

Di awal aku mulai membenci malam yang katamu aku bodoh

Yang patut kubenci harusnya pagi, karena pagi yang memisahkan kenangan luar biasa di malam hari

Lalu sekarang, sudah paham bagaimana aku membenci malam?


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Jumat, 24 Februari 2012

Reminder

Aku mati. Semakin lenyap. Dan aku masih telah lebur di dalam matanya yang senja, seperti saat menghirup udara setelah tenggelam di air selama 5 jam tanpa nafas. Nikmat dan lega.
Aku temukan di sana, di mata itu. Cantik sekali seperti gambaran yang tak pernah kukumpulkan untuk dinilai sebagai nilai tugas oleh guru TK. Ya, menurutku memang gambarku yang terbaik meskipun garis hitamnya hampir semua terlindas warna-warna yang kutempatkan secara tidak tepat. Bagiku tetap indah, kan? Tidak ada yang melebihi milikku. Itu yang kutemukan di sana. Di matanya. Kamu.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Rabu, 22 Februari 2012

Brown Shoes

Everything which I’m looking is fake

Everytime which I’m wasting is fade

Everywhere which I’m going is flat

Everyone who I’m greeting is fool

So, should I still take a breath? I think my leaves had murdered you and your colony. I had sacrified your blood into deep cave, right? What are you looking for?

These were a brown shoes. Brown and dusty. Could you please heal my destiny? I’m afraid that I can’t follow the evils. They were my first believe.

You couldn’t catch the main point, could you? Those are random writing. Random feeling. I need a smog.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Jumat, 17 Februari 2012

Seperti Pelangi

Tuhan, pelangi itu pasti ada, kan? Pelangi itu selalu datang setelah gerimis badai siang ini, kan?
Aku rindu padanya, pada dia yang selalu menampar aku, pada dia yang berlebihan mencintai mataharinya, pada dia yang bodoh untuk mengungkapkan perasaan bahagianya karena memiliki mata angin.
Tuhan, aku rindu padanya. Embun pagi itu, saat kuucapkan selamat pagi. Juga tolong akhiri kemarau hujan-Mu. Aku sakit karenanya.
Tuhan, aku cinta pada-Mu, dan dia.

PS: Aku sedang menulis di "catatan" ponsel baruku.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Selasa, 07 Februari 2012

#DearDee

#DearTheFirstDee

#DearTheSecondDee

#DearTheThirdDee


You all are good guy for her,

but I,

#DearTheOneF,

nor the best for her,

I’m the last one for the last of her,

Yes.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Senin, 06 Februari 2012

Seperti Dua Hati

Ada satu

Atau dua

Yang terlihat memang satu

Atau dua?

Harusnya hanya satu

Mengapa seperti dua?

Aku satu

Kamu bukan dua, kan?

Lalu apa yang selama ini datang?

Satu

Atau dua

Yang penting tetap kamu

Dan aku

Bukan lainnya

Yang penting tetap satu

Aku


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Jumat, 03 Februari 2012

Kangen

Sayang, kamu di mana? Aku kangen kamu, aku duduk di sampingmu tapi itu bukan kamu. Itu bukan kamu. Sekali lagi, itu bukan seperti kamu.

Seperti kamu yang pernah mengajarkan aku bagaimana belajar menyukai bubur ayam; kamu yang pernah mengajarkan aku bagaimana belajar menulis, bukan hanya menulis biasa, tapi menulis seperti menggambarkan apa yang sedang aku rasakan; kamu yang pernah mengajarkan aku bagaimana menabung bahkan menghasilkan uang untuk menghidupi aku sendiri; kamu yang pernah mengajarkan aku untuk berpikir (bukan) (sok) dewasa; kamu yang pernah mengajarkan aku mengkoordinasi waktu dan menatanya untuk kerapian hariku; kamu.

Kamu di mana? Aku kangen kamu. Ini kamu, yang duduk di sampingku, tapi ini bukan kamu. Ini bukan kamu. Sekali lagi, ini bukan seperti kamu, sayang.

Seperti kamu yang selalu tertawa lepas saat apa yang kita pikirkan sama; seperti kamu yang selalu tertawa lepas saat aku melakukan hal paling bodoh, menurutmu, ya, dan katamu aku autis; seperti kamu yang selalu (tidak pernah lupa) menggelitik leher belakang atau pinggangku saat aku lengah, lalu aku nggondok sama kamu; seperti kamu yang selalu men-jambak rambutku dengan kekuatan penuh ala Power Rangers hingga aku mulai pusing, tapi aku tak pernah marah, karena memang aku suka; kamu.

Sayang, cepatlah pulang! Aku tidak sedang berbicara pada ragamu, tapi pada jiwamu. Kembalilah, pulanglah ke ragamu seperti biasa. Aku kangen kamu, sayang. Pulanglah!


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Kamis, 02 Februari 2012

Asing

Saat ini, aku hanya bisa memperbanyak produktifitas air mata yang aku sendiri tidak mengerti untuk apa. Aku duduk di sini, di samping pemenang hatiku yang saat ini bahkan ia melihat aku menulis. Namun pikiranku sedang tamang, tidak di sini, bertaburan dan aku kesulitan menangkapnya. Bantu aku, kembalikan aku kepada di mana aku berada di mana aku biasa berada. Tolong, aku terasing meskipun aku di sini, aku sedang tidak di sini.

Apa ini? Tolong sadarkan aku, kembalikan aku menuju kesendirianku seperti awal kulangkahkan ke sini. Aku sudah terkuras, sudah terlepas dari gelak tawa khas yang kumiliki, yang ia suka saat aku berkata, “Apa sih?!’ dengan nada manjaku. Aku rindu, tolonglah, bukankah aku sudah berbuat baik kemarin? Ah, aku lupa, itu kan kemarin. Hari ini aku belum berbuat baik lagi. Ya, sekejap aku berpikir aku harus berbaik hati lagi, juga berbaik sikap agar aku dikembalikan kepada aku di mana aku biasa berada, seperti aku siapa aku biasanya.

Jadi, begini, aku harus belajar menemukan dan mengembalikan siapa aku, seperti biasanya? J


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)