NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Minggu, 31 Juli 2011

Selamat Tinggal, Juli


Malam ini
Juli
Mungkin telah berahir
Juli
Namun aku masih ingat
Juli
Saat terpuruk di angka ini
Juli
Aku benci sembilan belasku
Juli
Itulah aku tak mau rayakan
Juli
Ini bukan tentangnya
Juli
Atau untuknya
Juli
Ini untuk kamu, ya, kamu
Juli
Semoga ini segera luntur
Juli
Dan
Juli
Berakhir
Juli

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Kamis, 28 Juli 2011

Satu Bintang

Terdiam di sudut ruang angkasa yang sedikit berudara namun tetap hampa
Di antara bermilyar lipat trilyun lalu aku melihatmu
Bintang
Satu

Tepat di atas kepalaku sedang berbinar tegar
Di antara berkilometer kabut lalu aku menunjukmu
Bintang
Satu

Untuk palang pintu yang menghadang, untuk kibas kipas sate yang menyejukkan
Di antara mimbar-mimbar dosa lalu aku mengharap terangmu
Bintang
Satu

Menuju kemilau senja yang memerah
Di antara peluh resah petani lalu aku berteduh padamu
Bintang
Satu

Aku bingung untuk menganalogikanmu dengan apa
Aku juga tak paham seperti apa perincian lekuk senyummu tiap senti
Memang tak mudah
Namun aku berusaha

Ini untuk kamu
Seseorang yang memang baru
Seseorang yang aku sayang
Bukan hanya sekadar bintang
Juga untuk lebih dari yang kukenal dengan menyebut
Teman
Sahabat?
Ya

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)


Rabu, 27 Juli 2011

Subuh


Bangun, ini subuh
Apa kau buta? Aku tak tidur
Sejak dua puluh jam yang lalu, aku masih terjaga
Bukan karena kopi lagi
Aku sekarang sibuk
Hahaha, sok sibuk

Bangun, ini subuh
It’s time for wake up
It’s early morning
The moon hasn’t left the sky
However, I had to go


Bangun, ini subuh
Waktunya sholat

Bangun, ini subuh
Setelah itu segeralah kembali tidur
Meski dalam hukumnya tak boleh
Tidur setelah subuh
Menghambat rejeki masa depan

Bangun!
Ini sudah subuh!
Dasar bodoh!
Bisanya cuma berjaga di antara bintang yang bersembunyi di antara awan
Mendung

Cepat bangun dari hati yang tidur!
Bukan dari mata yang tak mengantuk

It’s early morning
Wake the fuck up!


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Minggu, 24 Juli 2011

Disappear

I can’t feel anything.
Fake, maybe I just fell down into the deep cave. None could find my corpse even though I’ve shouted. The stones reflected my voice but they didn’t make it louder.
I feel I’m gone.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Sepiku Dalam Ramai

Kau pikir dengan aku merenung bisa kutemukan apa yang kuresahkan?
Kau pikir dengan aku menggalau bisa kuhapuskan apa yang kupusingkan?
Ternyata aku yang salah.
Bukan begitu?
Memang aku yang harus salah.

Diam di atas Jembatan Soekarno-Hatta, Malang atau di tengah alun-alun Taman Bungkul, Surabaya bukan pilihanku.
Tak akan kau temukan apa yang kucari di sana.
Ya, pasti ada!
Ada sesuatu yang lebih.
Lebih!

Aku temukan diriku di dalam keramaian lalu lalang kendaraan bermotor dan kerumunan orang.
Aku temukan diriku di sini, dalam keadaan tenang.
Sangat tenang!
Aku sangat tenang!

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Sabtu, 23 Juli 2011

Aku Mati

Aku ini tak pernah ada
Aku hanya gambaran dari semua bukti otentik
Yang diberikan untuk memperjelas
Kasus-kasus yang tak pernah sempurna

Aku ini tak nyata
Aku hanya refleksi dari pantulan kaca
Yang terpampang di kastil tua
Tempat raja-raja berkuasa

Aku ini busa sabun bekas
Aku hanya...
Apalah!
Apa saja yang kau mau untuk gambarkan aku

Aku hanya tak nyata
Aku ini maya

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Jumat, 22 Juli 2011

Kata Bapak Penjual Nasi Goreng...

“Nek aku dikongkon milih, urip cukup opo sogeh, yo aku takok sek nang awakmu. Sogeh iku enak opo gak? Nek sogeh iku enak, aku gelem-gelem ae urip sogeh. Percuma nek sogeh tapi akeh pikiran! Entek sogehmu gara-gara mikir utang teros...”

“Urip iku gak iso diwara cukup. Menungso duwe sifat egois kabeh, selalu kurang. Ibarat ngene, awakmu ketok’an cewek ayu, mbok pacari. Nah suatu saat, awakmu ndelok arek wedok liyo sing lebih ayu, piye? Mesti selalu ngeroso kurang toh? Yo ngono iku menungso...”

“Bakul sego gorengku iki ngalahno mobil Ferrari. Ferrari iku gawe gaya-gaya tok, ngentekno bensin. Bakulku iki malah iso menghasilkan duwek kan?”

“Lagian nek aku wes sogeh, wes gak dodolan sego goreng, lah awakmu arek loro iki nek apene tuku sego goreng nang endi?”


Rabu, 20 Juli 2011

Jangan Coba Lelah dan Bosan

Jangan baca tulisan kami
Jika memang kau anggap ini buruk
Jangan baca tulisan kami
Jika memang kau lebih paham apa itu puisi
Jangan baca tulisan kami
Jika kau bukan seorang pemula, namun seorang ahli
Jangan baca tulisan kami
Jika matamu masih berbohong tak sesuai dengan artinya
Jangan, tolong jangan


Coba kau tulis
Sebuah apresiasi seni dari hati
Coba kau tulis
Saat kau sedang merindu pada ibu
Coba kau tulis
Mungkin tanganmu lebih guru dari punyaku
Coba kau tulis
Mungkin memang kau lebih banyak tahu dari aku
Coba, coba saja

Aku lelah
lelah untuk keluhan rakyat

Aku bosan
bosan melihat demonstrasi

Aku hanya bisa
menulis
Tentang hujan


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Ini Bukan Puisi...!

Aku bingung menulis apa malam ini. Bahkan mungkin tak akan ada sentuhan puisi atau beberapa ilustrasi sastra yang biasa kupakai. Benar sekali! Kalian telah menebak, aku sedang budrek, atau bahasa keren jaman sekarang adalah galau. Aku lebih suka budrek, lebih mendalam.


Lalu apa? Saat ini aku sedang menatap langit. Ya, aku sedang di balkon lantai dua rumahku yang notabene belum selesai direnovasi. Aku duduk sendiri, tak ada secangkir kopi seperti biasanya, tak ada makanan sambilan atau makanan pokok sekali pun. Dengung nyamuk yang rajin melewati telinga, juga sesekali mereka hisap darahku. Hei, mereka pesta malam ini. Hehehe.


Kembali ke budrek itu.

Selasa, 19 Juli 2011

Seperti Kopi

Serba hitam. Di bawah pundak bulan, malam ini aku terengah. Bagaimana tidak? Aku berlari dengan sekali tarik napas melewati sekitar tujuh puluh traffic light di antara penatnya hiruk pikuk sore. Sepertinya jalanan sedang sibuk mengantar pulang pekerja rodi. Aku lemah.

Serba hitam. Aku masih terengah. Keputusanku menelan dentum pinus ternyata benar-benar gila. Tentu aku sakit. Kupaksa mata agar tetap mendapat perhatian khusus di depan cecunguk bangsa.

Serba hitam. Semakin terengah. Pencipta pun mendiskriminasi hak ini agar selalu hidup tanpa hentakan napas di setiap istirahat sejenaknya. Apa bisa? Tentu aku ragu. Harusnya aku mendapat buah segar ketika aku kelaparan di tengah gurun pasir, bukan kehausan. Yang kudapat ternyata hanya simalakama.

Serba hitam. Engah ini parah. Hei, aku punya empat butir obat pelipur duka. Harus kuteguk sekaligus? Satu butir. Lama telah kumiliki dan kudapatnya sejak aku beranjak menengah. Satu butir. Sudah kuanggap sangat lekat layaknya adik. Satu butir. Secara kebetulan kudapat karena seorang teman. Satu butir. Ini yang benar-benar dapat menamparku saat aku habis.

Harusnya masih banyak butir.

Serba hitam. Seperti kopi.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Senin, 18 Juli 2011

Fiksi

Ini bukan tentang sepeda

Ini tentang puisi

Aku cinta puisi

lebih dari seorang kekasih

tak sampai melebihi seorang Ibu


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Tidak Ada

Dia tidak fiksi

memang

Dia ternyata bukan ilusi

tidak

Nyatanya

dia memang tak pernah ada

Hahahahaha

Aku hanya berkhayal


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Minggu, 17 Juli 2011

Di Tengah Jalan

Sedang duduk di tengah jalan
Tepatnya di atas trotoar pembatas jalur
Bukan untuk bunuh diri, namun hanya nyangkruk

Di tengah jalan
Aku memang suka keramaian
Tapi tak seramai ini
Tapi bukan tak sesepi itu

Lalu apa?

Dasar benang dalam jerami!
Pembangkang, egois, dan menang sendiri
Hanya satu yang bisa mengalahkan
Membuatnya diam dan kikuk

Bahkan tulisan ini tak ada temanya

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Sabtu, 16 Juli 2011

Jangan Dimasukkan Hati

Ia kembali

Dalam penantian malam yang terlanjur beku
Aku masih diam dan menggigil
Ini rindu bukan cinta
Mungkin sekadar pelampiasan
Oh bukan, terlalu kasar

Ini bukan nyata, namun sebuah khayalan
Aku hanya butuh sebuah napas panjang untuk melenguh
Memang tak ada wadah jelas untuk itu

Ia kembali

Ini hanya ilusi
Bukan topeng

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Peri Malam

Aku sakit
Sedang menahan kepedihan saat menginjak potongan-potongan duri mawar
Yang bertopeng indah namun busuk di tangkainya

Peri malam
Datang untuk mengisi sebuah kekosongan dalam pembuluh darah
Ketika telah kosong melompong setelah terkucur berliter-liter

Peri malam
Awalnya kukira hanya dusta yang ia suguhkan
Maklum, aku anak awam lulusan kelas teri yang masih sangat rentan
Ia rajin menghibur dengan komedi putar dan aku terlihat girang

Peri malam
Seperti mengisi hati yang haus akan dahaga cinta lagi
Ah, bukan itu
Sepertinya ia juga kesepian meski nadanya memanja
Ia masih punya

Peri malam
Tiba-tiba ia lenyap
Si empunya sedang kembali

Peri malam
Aku sedang bimbang
Cintakah?
Atau hanya rindu?

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Jumat, 15 Juli 2011

Menggalau

Kutemukan penggantinya
Meski kini tak seindah yang kupunya sebelumnya
Bunga lily mungil yang selalu berhembus manis
Dulu

Kutemukan penggantinya
Dulu tempat kami merajut benang gundah untuk suatu malam
Di tempat sepi dengan asap-asap motor di sekeliling
Dulu

Kutemukan penggantinya
Kini hanya bisa memiliki
Terlihat sepadan, namun sangat berbanding
Aku rindu

Kutemukan penggantinya
Tempatku kini di tengah keramaian
Penuh sesak oleh pendekar-pendekar malam
Aku rindu

Kutemukan penggantinya
Dulu
Kini
Aku rindu

-------

Sahabatku tak berganti
Sahabatku bertambah
Mungkin hati sedikit bergengsi
Dan juga sedikit berubah

-------

Untuk dia yang mungkin takut kusebut namanya
Juga takut menghadapi kenyataan, lihat, kau bohongi hatimu!

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Kamis, 14 Juli 2011

Batu Kapur

Uh, kepulan debu menyelimuti kulit hitamku
Ini bersumber pada batu putih itu, memang sedikit menyerupai kaolin di tepian malam
Terlihat begitu hebat dan kuat
Namanya saja batu
Bahkan beribu kafilah tak mampu menerjang ketika berada di tengah perang gurun
Mana ada batu yang mudah lapuk?

Ah, aku lagi-lagi terperangkap dalam sebuah mitologi batu
Bukan itu intinya
Yang sedang kuhadapi adalah memang batu
Batu kapur putih kepul yang sedang rentan lusuh
Tertindih tetesan bekas hujan dan embun subuh tadi dari ujung genteng rumah paman
Memang belum sekarang, namun perlahan pasti runtuh
Bahkan tak perlu menunggu seperempat detik lagi ia lapuk
Mengapa bisa?
Ia batu, meskipun kapur

Remasan adik dan teman-temannya saat bermain juga berperan dalam hancurnya
Itu sedikit bukti bahwa ia tak sekuat namanya, batu
Keberadaannya disegani rani-rani yang melintas ketika badai pasir sore
Bukan mengapa, hanya karena ia mengepulkan debu

Batu kapur
Memang tak sekokoh makna konotasi yang ia miliki
Sadarkah kau bahwa ia yang menanam dirinya untuk pondasi gedung bertingkat?
Tahukah kau bahwa ia yang menulisi papan tulis di ruang kelas para jetset?
Pahamkah kau bahwa ia yang membiayai kuli-kuli saat membantu memaksa rumah berdiri?

Batu kapur
Itu tetap kokoh
Sekokoh gelarnya sebagai batu
Meski rentan

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Rabu, 13 Juli 2011

Hujan Itu Fiksi!

Aku didera Skorbut stadium akut, bibir mulai merapat
Sirke mata untuk sumbernya juga masih kabur
Mereka salah menafsir
Ini bukan tentang khayalan, namun bukan pula tentang adegan sinematografi
Yang palsu dan tak berisi
Hujan itu masih hilang
Hujan itu hanya analogiku
Namun tetap kubangun karena ia genealogiku
Selamanya tetap fiksi

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2010-2011)

Selasa, 12 Juli 2011

Seseorang di Desktop Laptopku

Akut, stadium tingkat akhir
Benar aku rindu pada sesuatu nun di tempat lama
Aku ingin pergi, mati bila perlu!
Aku bosan terhadap segala kemunafikan yang tetap saja kutelan
Ah, persetan semuanya!

Saat ini, aku hanya ingin menenun hati yang mulai rontok
Ini mungkin bukan pengkhianatan
Namun aku sedang rindu
Rindu terhadap kesegaran jasmani yang biasa kudapat sejak mulai kuhirup aromaterapi pagi ini

Sedikit kucoba bertukar emosi dengan sahabat baru, bintang
Ia pun sedang menggalau di tengah amarah bimbangnya
Namun tak segan ia rampok ego ini dan kami larut dalam pelepasan

Aku hanya ingin damai
Bertemu seseorang
Seseorang di desktop laptopku

-------

Untuk seorang kawan, terima kasih atas wadah kecil itu
yang tak segan membendung secerca tangis banciku

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Senin, 11 Juli 2011

Taman Bungkul, Surabaya

Ada penjual kopi
Ada beberapa anak-anak balita bermain
Ada beberapa pasang mata sedang bertukar cinta
Ada juga yang datang berkeluarga
Ada penjual es krim
Ada penjual jajanan pasar
Ada beberapa batang rokok yang membusuk
Ada penjual tahu Sumedang
Ada seorang anak balita merapikan celananya
Ada beberapa gelembung sabun
Ada pijaran lampu-lampu kuning
Ada pohon-pohon berdesis dengan angin
Ada mainan mobil-mobilan
Ada satu papan skate yang menganggur
Ada beberapa tong sampah di tiap sudut taman
Ada berpuluh mainan baling-baling yang tak kami kenal apa namanya

Ada dua yang tak kami temukan di sini.
Bintang, dan hujan.
Hanya mendung dengan beberapa kilatan petir.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Depresi

Jatuh bangun
Berusaha tetap tegak
Berdiri
Meski gagal
Namun tak pernah
Letih

Hari itu aku berhenti bernapas, juga berhenti makan
Bukan sok galau atau apapun
Hanya ingin berhenti sejenak
Melepas penat

Olesan balsem
Rajin menghampiri leher
Yang kurasa sedang keseleo
Bukan
Ini mungkin karena
Tekanan darah rendahku

Mereka mencoba menyapaku
Masih saja sinis dengan pandangan yang menancapkan pisau luka
Mereka suguhkan kata sabar
Entah, aku kurang percaya
Masih tetap ada rasa curiga terhadap cahaya palsu yang tak seterang bintang

Tak ada lagi
Hujan
Juga embun
Bintang sedang gusar
Terselimuti awan mendung
Aku
Tak lagi rindu

Aku rindu pada hujan lain

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Sabtu, 09 Juli 2011

"Mama di Mana?"

“Mama, aku kebelet pipis.
Aku nggak tahan, nih. Rasanya udah di ujung banget, mau keluar, ma...
Aku tadi habis minum ‘Pop Ice’ terus minum semua minuman, ini aku udah kenyang banget, kebelet pipis banget.
Ma, anterin aku pipis, aku takut ke kamar mandi sendirian, kamar mandinya gelap.
Kemarin aku juga kebelet pipis kayak gini, beneran rasanya gak kuat nahan sampe hampir ngompol aku, ma...
Aku nahan pipis soalnya aku gak berani masuk kamar mandi sendiri. Aku takut. Aku nggak tau bisa nahan pipisku ini berapa lama lagi. Aku pengen pipis, ma. Aku udah nggak tahan, beneran, nggak tahan.
Mama di mana? Anterin aku pipis, ma. Apa aku masih harus nahan pipisku lagi? Sampe kapan, ma? Mama jahat, nggak mau temenin aku ke kamar mandi.
Apa aku harus minta anterin Bi Inah? Nggak mau, Bi Inah itu jahat, ma. Aku nggak pernah bisa pipis kalo ditungguin Bi Inah. Aku maunya sama mama. Aku beneran kebelet, ma. Tolong datang temenin aku ya, ma. Tolong.
Mama nggak sayang sama aku!!!”


-------

Inilah refleksi antonim yang mungkin telah kutunda, sebelumnya telah kupaksa dan kuperas lenganku untuk menampar pipiku. Nyatanya nihil. Aku ingin bangun. Mungkin inilah kebangkitan yang telah lama kutinggalkan, mungkin juga saat aku berbelok jauh dari jalanan sepi ini.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Kamis, 07 Juli 2011

Nol Tujuh Nol Tujuh


Negeri mimpi mulai mati, mual terasa saat hari penjemputanku malam ini
Oleh alam yang sedang mengamuk, banjir menerpa angan saat kuhisap darah pahlawan
Lunar hambar masih segan untuk mampir menengok adik yang tak terpedulikan sore

Tak bisa kupaksa kepalaku, masuk ke dalam peti mati
Urat-urat nadi pun telah kupaksa putus dan tercecer darah-darah busuk
Jutaan malam mungkin telah kulewati, namun hanya sia-sia nafas yang kuhembus
Utuh atau buram pun tak masalah bagiku, yang terpenting adalah nafasku menipis
Hamparan padang galau mulai membeberkan keburukan dan dosa-dosaku sebelum ini

Nominal nilai untuk jumlah cita-cita telah benar-benar membusuk karena duri mawar hitam
Oposisi yang diajukan oleh rakyat sepi juga tak menghalau bulan untuk bertengger malam itu
Lelah, mungkin harus kulepas nafasku, pergi menuju kematianku

Telah lama kunanti penjemputan ini, akhirnya kujumpa ia bukan saat yang tepat
Utamakan yang kumiliki untuk kulepas sejenak,
Juga kulepas penat yang akan menarik kakiku saat hampir kupijak tanah neraka
Upaya ini selalu sia-sia,
Hening yang menyambut seakan benar-benar mematikanku, malam ini

-------

Tolong hentikan malam ini, hentikan semua yang menutup wajah munafik ini. Aku hanya tak ingin mereka lambaikan tangan saat kematianku. Aku juga tak butuh lolongan panjang mereka yang bullshit tak karuan. Aku hanya ingin tidur, selamanya.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Rabu, 06 Juli 2011

Sutradaranya Adalah Aku

Biarkan aku memilih.
Ini harusnya tak ada dalam naskah ceritaku, aku ini artis film komedi, bukan drama cengeng yang sengaja membual di depan orang-orang labil yang dengan bodohnya menangis seperti bayi kehausan.
Aku ini hebat.
Biarkan aku yang mengambil cerita ini, atau kau mau menulisnya sendiri?
Jadi siapa yang akan memainkan cerita ini?
Kau, atau aku, atau orang itu?
Aku hanya sedang berpikir, tak ulah kau lelah menampik kemunafikan dalam kepalamu untuk memilihku sebagai bonekamu, di atas segala naskah dusta itu.
Aku tak akan mainkan cerita konyolmu, aku akan tetap berjalan di atas roda putar ini, seperti yang dilakukan orang-orang dalam gym.
Aku ingin punya pilihan.
Aku adalah sutradara untuk ceritaku sendiri.
Kau harus tahu dan paham terhadap kenyataan itu.

Kadang aku berpikir, aku tak ingin menjejakkan langkah di hari esok.
Ya, sangat ingin kulewati hari itu, aku bosan menambahkan satu-per-satu angka di usiaku.
Ini berarti, aku semakin dekat dengan ajalku.
Mengapa tak pergi saja sebelum aku bosan menghitung sisa nafasku?
Harusnya aku memang pergi saat ini, pergi menuju neraka.
Aku hanya lelah.
Aku adalah sutradara untuk cerita ini, cerita yang bukan cerita milikmu.
Ini ceritaku.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Selasa, 05 Juli 2011

Kronologi Palsu

Aku benar-benar sedang menangis darah, meminum air kubangan bekas hujan maya yang tak pernah terjadi. Aku sakit, sakit!
Kutelan lima lusin obat tidur, obat penghilang rasa penat, semua yang harusnya menjadi penolak antibodi dalam tubuhku. Semua kutelan mentah-mentah, ingin sekali kurasakan ketenangan. Semua telah berubah, melayang.
Aku memang selalu menjunjung tinggi sebuah ego yang tak pernah dimengerti semuanya, termasuk malaikat pencabut nyawa. Hanya sebuah penyesalan ketika kutemui kebenaran yang tak pernah terpikir matang-matang saat itu, aku benar-benar tenggelam dalam ego ini. Harusnya kutelusur lebih sabar lagi saat ingin kupetik dawai gitar hingga putus karena terlalu kencang kupasangnya. Bahkan sampai rela kuhapus bekas pijakan setelah kubasuh air wudhu fajar itu, ketika benar-benar terbangun untuk sebuah keterpaksaan.
Dunia ini baru, semua serba baru. Aku yang lahir dengan segala keburukan rupa, aku yang lahir dengan segala kesyukuran terhadap apa yang aku punya, serta aku yang lahir dengan segala ketidakpedulian yang aku rasa. Aku seperti memasuki pintu reinkarnasi yang memaksaku bukan ke tempat itu. Ini bukan aku. Benar, bukan aku. Memang segalanya menilaiku lebih dan jauh lebih baik. Namun tetap saja, aku tak pernah dapat merasa berada di sini. Sempat kurasa ingin kembali ke pintu itu, sebelum kumasuki reinkarnasi ini. Apa aku benar-benar pengecut? Kembali tanpa menyelesaikan hidup ini hingga kematian kedua menyambutku?

Senin, 04 Juli 2011

Kopi Kapulaga


Sangat menggigil ketika kupijak tengah malam di lima jam keberangkatanku menuju tiga kota penghubung. Bukan, aku hanya sedang dipenggal sebuah kenyataan bahwa frekuensi gelap mataku semakin habis, maka tak lama lagi aku menguning, kembali menjadi patung emas. Sempat kusesalkan saat kutinggalkan pijakan terdahulu hanya karena ego yang mendominasiku, dan kala itu kutemui pengganti kopi malamku. Sebenar-benar aku melayang, tak akan pernah kudapati takdir burukku, selalu tertampar kesakitan yang disuguhkan tiap kaum hawa untukku. Kini mulai ragu untuk percaya pada beberapa kopi biasa.

Lalu malam itu aku temukan menu baru, kopi kapulaga. Hangat tusukannya pada lidah meski terhidang sangat dingin tak seperti kopi hitam biasa. Kuteguk hanya untuk kusembuhkan malamku. Masa lalu, kusesalkan untuk membakarnya hidup-hidup. Aku sedang ditelan dilema, ingin kuulang agar tak ada penyesalan itu.

Kopi kapulaga mengantarku ke atas tebing curam. Semoga tak terjun bunuh diri. Kopi yang tercampur oleh biji kapulaga, mengantarku untuk menahan ego kembali pada masa itu. Semoga tidak. Namun semoga juga iya.



(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Jumat, 01 Juli 2011