NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Sabtu, 25 Desember 2010

Enyahlah Aku!

Jantung tersentak dan menjerit saat mendengar guntur menderu pada bumi.
Kukira ia memang sedang marah, atau gundah?
Terpikir segala kemunafikan yang kulihat pada paras-paras di hadapanku, seakan tertawa namun yang terjadi sedang gundah.
Sangat pandai memendam kegalauan hati dengan dua wajah berbeda, namun tetap satu jiwa.
Kupelajari raut mereka, kerut di kening pun meliuk tersentuh rintikan air hujan yang bercampur dengan peluh lari.
Heran, ada apa dengan mereka?

Rabu, 22 Desember 2010

Sempurna, Seperti Mata Mereka

Sangat lega, nafas yang terhimpit rindu kini terobati.
Meski tubuh tak sesempurna hari lalu, kukorbankan demi bertatap muka dengan mereka.
Dan aku sempat merindukan hujan.
Hujan datang menyambutku yang menginjak tanah kelahiran, seperti biasa.
Kulangkahkan kaki memasuki rumah merah jambu.
Kuraih lengan yang masih utuh, kucium dengan isak tangis.
Sedikit kulirik, lengan lainnya masih belum kembali.
Penat lenyap, melarikan diri ke sisi lain bumi.
Aku mulai sempurna, kuletakkan ransel hitam yang penuh dengan beban masalah.
Hujan masih merintik perlahan.
Kuhabiskan malam ini dengan mereka, aku puas.
Tak bisa berkata banyak, namun yang mampu hanya linangan air mata.
Hidup sempurna karena mereka.
Ya, sempurna seperti mata mereka.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2010)

Selasa, 21 Desember 2010

Terikat Penat

Kuterkapar di keheningan malam, mata terkunci oleh penat yang mengikat sekujur tubuh.
Akal dan organ tubuh berantakan, kacau.
Terpikir, tak sadar kuterjatuh di kesunyian malam, meremukkan lengan.
Terpikir, noda hitam, kelam, dan jahat yang mencoreng sebuah kisahku.
Terpikir, sebuah serpihan hati yang tercecer, mungkin lenyap karena dunianya.
Terpikir, materi dan dunia yang seakan membunuh pikiran.

Senin, 20 Desember 2010

Kuyakin Mereka Terbaik

Aku terduduk di samping kubangan ikan, mereka melihatku seakan meminta makan.
Aku hanya tersenyum, lalu kumainkan airnya dengan tiga jari.
Mereka pun terhibur, meski kutahu mereka lapar, tak ada yang dapat dengarkan jeritan itu.
Aku memalingkan pandangan menuju beberapa kawan.
Sempat berpikir segalanya sangat kacau.
Mereka terbahak-bahak, memang lucu.
Namun harusnya tak seperti ini, aku hanya ingin terjadi sebuah introspeksi.
Aku berusaha menghibur diri, karena tak ada penghiburku layaknya ikan yang kutemui.
Sejenak kutatap jauh ke cahaya mata mereka.
Ya, kuyakin mereka tahu apa arti hujan, yang tahu kapan saat yang tepat.
Namun hujan tak datang.
Meski begitu, mereka akan tampilkan yang terbaik untuknya.
Hujan hanya dapat melihat dari kejauhan angkasa, dan hujan tersenyum, puas.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2010)

Mencoba Berpaling Dari Hujan

Aku masih tenggelam dalam asaku.
Kutengok, satu nol dua, tentu telah larut.
Kuhirup segalanya, mencoba mencari penyegaran pikiran.
Justru aku tak tahu apa yang harus terjadi, aku diam.
Malam bertanya padaku, harusnya aku memang terlelap.

Minggu, 19 Desember 2010

Aku Adalah Hujan

Saat bulan membusungkan dada di waktunya, terkadang aku iri.
Matahari sangat mengerti keadaannya, ia mengalah pada bulan karena ini bukan waktunya, namun bulan.
Matahari pun termenung, terbungkam awan kelabu yang mencoba menenggelamkannya dari pandangan segala makhluk.
Terkadang, aku ingin menjadi hujan, yang bisa datang kapan saja dari langit, tanpa menunggu waktu seperti matahari dan bulan.
Jika aku adalah hujan, aku akan datang kapan pun menghibur tanah yang kering, tanaman yang haus, atau hewan yang gerah.
Aku terbungkam oleh keheningan di depan buku ini.
Aku merindukannya, mungkin ia lupa bahwa aku adalah hujan yang selalu datang kapan pun untuk membasahi permukaan bumi, yang kapan pun bumi butuhkan.
Namun aku tak pernah lengah, aku hanya ingin apa yang terbaik.
Mungkin salah jika aku mencoretnya dari akal pikiranku, mungkin memang sebuah keegoisan hujan yang harusnya bisa datang kapan pun.
Aku masih berusaha berpikir, harusnya aku pun tahu, bahwa awanlah sahabat terbaik hujan.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2010)

Rabu, 15 Desember 2010

Malam Ini Gundah

Atap tinggalku berderu, tertiup angin kacau yang tak permisi.
Hujan, kali ini datang bersamanya, namun ia terlihat marah.
Aku belum sadar apa yang dimintanya.
Kucari tahu, gagal.
Kukira Sang Pencipta sedikit beramarah sehingga hujan pun ikut perintah-Nya.
Aku bertengadah, aku mencoba bertanya pada-Nya.
Mungkin Ia sedikit marah.

Minggu, 12 Desember 2010

Syair Rindu Untuknya

Terik yang kurasakan memang beda, hawa dingin masih menusuk.
Pagi yang diawasi oleh sang surya terlihat sangat cerah.
Aku melengok ke luar kamar, menuju balkon.
Kuhirup aroma kerinduan hingga ke lubuk hati.
Kusorot awan dengan tatapan sipit, terbentuk wajah mereka, mereka yang telah membuatku seperti ini, mereka yang telah menghapus segala peluh di dahiku.

Kuingin Lewatkan Halaman Itu

Musim mencoba berganti, karena sang surya ingin mendominasi di atas awan.
Kemarau yang sempat datang tak digubris oleh hujan yang tetap turun.
Manusia mencoba berpikir, apa yang harus dilakukan saat hujan turun, meski harusnya tak turun.
Hujan bukan ingin mengalahkan matahari, namun hanya ingin melihat bumi-Nya selalu segar.
Kulangkahkan perlahan menuju harapan, mencoba berpikir ke depan.

Sabtu, 11 Desember 2010

Air Asing, Merah Legam

Gelap, mungkin aku tersesat dalam kegalauan pikiran yang selalu memaksa hidup.
Kucari segala kebaikan, kukerahkan segala semangat, menyusun seperti semula.
Tubuh batang lidi yang kumiliki terlontar karena kejutnya.
Seakan tak pernah berpikir sejauh apa yang hujan jatuhkan ke bumi, air darah!
Merah, pucat, kental, aku sangat tak nyaman dengan kedatangannya.

Rabu, 08 Desember 2010

Hanya Untukmu

Kudengar teriakannya, teriakan hujan yang tak didengar siapapun.
Gemuruh mereka berdatangan ramai.
Petir yang setia menemani di tiap awal kedatangannya, selalu menjadi pembuka.
Hujan sempat tak membasahi permukaan bola dunia.
Hujan sempat membuat makhluk paling sempurna merindukannya.
Ia absen memasuki hati kecil manusia yang pernah cinta padanya.
Ia mencoba kembali, mengobati pilu yang berkeluh asa.
Mencoba menghibur, kembali seperti saat pertama kali menitikkan airnya di bumi.
Namun hujan tak mengerti, yang dilakukannya tak sepenuhnya kembali.
Sempat menyakiti ulu hati, perih.
Hujan pun bertanya, “Aku adalah dulu, yang indah. Adakah sayatan hati untukmu?”
“Aku hanya ingin sebuah senyuman, yang kulihat saat aku pertama kali menitikkan airku.”

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2010)