NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Minggu, 29 Mei 2011

Kupanggil Hujan

Sesaat terpikir untuk hujan malam itu.
Ya, Surabayaku diguyur kuyup lagi olehnya, kata mereka telah sepekan lalu hujan terakhir mampir di halaman untuk membuka pagar dan menyapa hutan kecil di depan rumah.
Hujan.
Telah lama hilang.
Aku hanya ingin memanggilnya lagi, dan untuk kubasuh hati kerontangku sesaat setelah tangisku di pagi buta lalu.
Kubaca lantang di depan mimbar puisi mantra itu, kutangisi apa yang aku tak paham menangis untuk apa, masih bergetar nervous genggamanku yang membawa kertas ini.
Kupanggil dan kupanggil.
Sempat tak kudatangkan beberapa kali ia untukku, kini bukan karena inspirasiku dari siapa dan apa.
Masih ingin selalu kupanggil hujanku untukku.
Kupanggil dan kupanggil.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Senin, 23 Mei 2011

Bukan yang Terakhir

Maaf, ini bukan yang terakhir.
Harusnya semua mendapat langkah kedua saat mereka salah berpijak di tanah orang.
Katakanlah, ini bukan yang kedua?
Ini mungkin telah kesekian kalinya kuberikan langkah lain untukmu membenarkan kesalahan seorang pengemis cinta yang memohon dan mengais perasaan darimu.
Bukan berarti aku tak rela menghapusnya dengan titik air mataku.
Kau pun masih percaya mitos bahwa air mata tak pernah habis.
Maaf, sekali lagi kau masih keliru.
Air mataku memang tak pernah habis, namun air mataku kini tak mau keluar lagi jika masih kau pijak langkah yang masih salah.
Aku tak pernah ingin berhenti merintik, aku masih ingin.
Aku ingin menangis.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Minggu, 22 Mei 2011

Rindu Kematian


Malam itu kematian hampir menjemputku dengan bahagia.
Aku tersenyum mempersilahkannya masuk.
Penjemput itu melihat ke arahku, senyum pahit.
Kubalas dengan senyum indahku.
Aku siap kau jemput.
Ah, ternyata ia juga munafik.
Nyatanya ia bahagia menyambut nyawaku yang terlelap dalam malam.
Mungkin secangkir kopi hitam yang kuteguk habis ini membantu nyawaku terjaga semalam lagi untuk menjamu Sang Penjemput hingga fajar esok.
Fajar mulai naik, aku mulai belajar ikhlas untuk ini.
Aku tersenyum, mulai kujabat erat tangannya.
Sang Penjemput itu meraih tanganku, mataku terpejam.
Sang Penjemput terbang, kepakkan sayap sambil menggenggam erat nyawaku.
Kulihat ragaku terbaring lemah di bawah sana.
Ragaku telah kutinggalkan.
Ragaku mulai terpejam.
Aku semakin tinggi.
Selamat tinggal dunia.
Itulah penjemputanku.
Lalu kubuka mata, ibu mengucapkan padaku, "Selamat pagi, Nak. Mimpi buruk lagi?"

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Rabu, 18 Mei 2011

Hujan Menjawab


Aku bosan.
Selalu kupijak tanah yang salah meski harusnya mereka para pendemo-pendemo sangat haus saat berteriak di terik siang.
Harusnya mereka butuh aku, ya, setidaknya untuk mengguyur keringat busuk mereka yang hanya bisa membuat hidung pulang kampung.
Yang terjadi adalah aku diusir, dibenci, pun banyak yang menampar kedatanganku.
Mereka bilang aku tak permisi, mereka bilang aku egois.
Mereka bilang aku rajin, mereka bilang aku dingin.
Mereka?
Munafik.
Mereka tolak aku untuk acara-acara mereka yang tak ingin terganggu dengan kehadiranku, mereka tak paham bahwa kuingin bergabung untuk have fun seperti mereka.
Mereka waspadai aku saat mereka tak ingin aku datang.
Apa?
Mengapa?
Aku hanya ingin menyiram tanahmu yang kering.
Membasahi daun yang haus akan kucuran dana segar untuk tumbuh dan berkembang, bukan sekedar pupuk bekas kotoran belaka.
Aku hanya ingin memenuhi lubang sumur yang kerontang dan mulai bersarang berpuluh laba-laba.
Mencurahkan segala penat mereka untuk menikmati soreku yang sejuk.
Aku tak paham, aku pun tak mau.
Jangan benci titik-titik yang kujatuhkan, kumohon.
Aku tak ingin menangis.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Selasa, 17 Mei 2011

Selalu Hujan

Malam ini.
Ketika bapak dan ibu menjenguk aku yang sedang terkapar lemah di atas tanah amarahku, serta gilaku di antara asapku.
Kusambut mereka dengan usaha bahagiaku meski sempat kutengkari hujanku sore ini agar tak mengguyur saat bapak dan ibu datang.
Sempat juga kutelan hidup-hidup asap mati itu, seperti yang pernah kutulis suatu sore.
Itulah yang ia permasalahkan.
Ah, aku bodoh.
Lagi.
Bahkan hujan menghakimiku, bahwa aku menanam cabang agar dapat kuhujani lahan lain tanpa airnya.
Aku mulai menangis, menjerit pada kaki.
Tidak, aku tak pernah mau memakan daging bangkai manusia karena aku bukan kanibal.
Aku, masih aku.
Aku, selalu aku.
Dengkur lelah seakan menimangku untuk mati dari keterjagaan ini.
Perlahan.
Menutup.
Mata.
Sebelum kupejam, lalu berbisik.
"Aku pilih kau, selalu kau, hujan."

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Minggu, 15 Mei 2011

Asapku di Antara Bangunan Tua


Bangunan tua, di siang yang mendung.
Matahari tak berdaya saat awan mengelabui kokohnya terik dan hanya bersisa rintik gerimis.
Adakah pelangi yang menyusul kegalauan siang itu?
Masih percayakah pada gumpalan asap yang rajin menemaniku saat amarah sedang meletup-letup?
Lagi-lagi aku dibuatnya naik pitam, oleh mereka yang tua-tua namun berlaku seperti kanak-kanak.
Hebat sekali memancing di antara kolam kepenatan kehidupan Senin sampai Kamis, lalu masih juga menyerang pada hari liburku di Jumat sampai Minggu.
Pahamkah bahwa aku mengantuk meski telah kuteguk lima drum kopi beserta ampas-ampas yang penuh dengan ketidakpentingan?
Ampas itu seraya membuntukan saluran pembuangan di wastafel yang sempat kukucurkan darah nadiku semalam saat aku terjaga.
Ah, lagi-lagi mereka.

Sabtu, 14 Mei 2011

Malam Itu...

Hmm.
Setahun setengah yang lalu, di Gedung Balai Pemuda Surabaya.
Asap dan kepul rokok mengibas kepenatan jiwa.
Manis dan pedas rasa jagung juga sempat mampir di depan Gedung Balai Kota Surabaya.
Terduduk di samping monumen patung pahlawan.
Revoku kesepian, aku tinggalkan ia dengan standard samping.
Berkeliling tengah malam Surabaya.
Hmm.
Aku termenung malam itu.
Batinku, tak akan terjadi lagi malam seperti ini.
Lalu aku berkata di balik asap-asap yang kuhembuskan, "Itukah hidup?!"
Cuih!
Kopiku malam ini pun hambar, sangat datar menggarisi hidupku.
Kuingat, sekitar 7 batang kuhabiskan dalam beberapa jam di malam itu.
Malamku di Surabaya yang tak pernah tidur.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Sabtu, 07 Mei 2011

Namaku Endonesa


Inilah negeriku, Endonesa.
Yang sangat kaya penghasilan.
Kata musisi dahulu, dapat kupetik koin emas dari pohon cemara, niscaya satu koin itu akan digantikan dengan sepuluh ribu koin emas.
Indah, bukan?
Bisa kuminta apapun yang kumau.
Ketika aku lapar, kupetik padi lalu kumakan nasi.
Ketika aku haus, kuayun gelas pada sumber mata air lalu kuminum air matang.
Ketika aku bosan, kubuka pintu rumah lalu kupandang hamparan pemandangan luas.
Ketika aku lelah, kusibak selimut lalu kurebahkan tubuh ceking di atas kasur berbingkai kayu jati.
Ketika aku rindu, kupetik dawai gitar dan menyeduh kopi lalu kuobati sedikit rindu.
Itulah negeriku, saat aku beranjak dari kanak-kanak.

Selasa, 03 Mei 2011

Lalu Ia Terkulai...

Malamku di kamar VIP ruang Emerald Tiga Rumah Sakit Permata Bunda Malang, dengan separuh hati yang terkulai lemas di atas kasur pasien sebelah kanan kasur penjaga.
Bekas muntahan meski telah dipel dan dibersihkan, masih melekat di lantai, meski telah disemprot dengan pelicin lantai.
Belum pernah kujalani malam ini selama hampir dua dekade hidup, bukan aku berharap seperti ini.
Tentang yang kurasa malam ini, takut dan resah sangat aktif berkecamuk dalam gejolak hati dan senantiasa berdisko ria di atas keringat dinginku.
Tersentak kala kudapati ia telah merebah di tempat ini.
Tifus, katanya.

Senin, 02 Mei 2011

Jancok


"Sesuatu dapat menjadi buruk jika semua orang mengecap hal itu sebagai buruk."
(Sudjiwo Tedjo di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya, 30 April 2011)

Bukan tentang keburukan tinta yang menggores pada lembar folio.
Ya, aku sangat paham frasa itu berasal dari tanahku, dan bukan berarti sangat buruk.
Lihat saja, adakah dosa dalam kitab kita saat kita lantunkan nada yang dianggap para tetuah sebagai frasa yang hina dan sangat berdosa?
Hahaha, tak akan kau temukan.
Itu dan itu, sekali lagi hanya sekedar budaya dari nenek moyang tanah kita yang melarang para cecunguk penuh ingus dan sangat mudah dibodohi agar menjauhi hal buruk.
Aku setuju pada beberapa awak yang mengiyakan tak ada yang buruk jika bukan kita sendiri yang mensugesti menjadi buruk.
Hanya tentang pemberian makna dari nenek moyang.
Frasa ini dari tanahku, bukan tempat tinggalku saat ini.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)