NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Rabu, 26 Desember 2012

Mayat Hidup


Selamat pagi, Embun. Cukup lama aku tak menyapamu, mungkin memang lama. Aku sedang sakit dan mungkin memang sedang kritis, aku terancam kehilangan beberapa organ tubuh vitalku; pandanganku mulai kabur dan tak lagi tajam, dokter bilang aku harus mencabut salah satu mataku atau kanker menjalar ke otak lalu aku menjadi mayat hidup; dokter bilang aku sedikit mati rasa, tak bisa lagi merasakan kesensitifan yang digadang-gadang oleh zodiakku sendiri bahwa aku adalah perasa ulung, aku harus mencabut satu-satunya hatiku; aku bahkan hampir tak bisa berpikir sempurna dan kehilangan daya abstraksi padahal ini adalah nilai tertinggi di tes IQ, iya, aku punya daya abstraksi yang terlampau tinggi dan itu hampir mati sekarang, dokter bilang aku harus memusnahkan otakku.

Kamis, 01 November 2012

#HaiNovember

"Dropped in the rain."

"Ini baru memasuki November. Yakin mau segera pulang? Yakin tak mau duduk lagi dan membicarakan hal penting?"
"Apa harus selalu ada akhir pertemuan? Aku mau kamu duduk di sini. Tolong tekan tombol pause-nya, kita ngobrol semau kita."
"Tak akan pernah ada waktu yang kadaluarsa, kan? Waktu memang penipu ulung. Maka dari itu, hentikan sejenak, pegang pundakku."
"Jalani saja jika masih merasa nyaman. Tak perlu terburu-buru berpindah ke scene yang lain jika memang belum perlu."

Minggu, 28 Oktober 2012

Sajak Hujan

"Aku sudah pulang, Hujan.."
Aku pulang, di tanah Surabaya aku merasa telah meninggalkan hiruk pikuk super sibuk keseharian di tanah berjarak 90 kilometer. Sudah sangat gontai, sudah merasa penat teramat dan memang kubutuh rehat. Sudah sangat lemah dihunus kedinginan kota kecil yang bukan adaptasiku sejak lahir, iya, aku butuh panas untuk menetralisir.
Aku sudah pulang, aku sudah di tanah Surabaya. Aku kembali dengan sengaja melepas seluruh tracking bag bahkan aku datang bertelanjang kaki agar benar-benar steril. Dengan balutan secangkir kopi, sekali lagi kucoba memutar perlahan mesin waktu di tengah kota metropolitan mantan calon ibukota pengganti ini. Taman Bungkul, Balai Pemuda Surabaya, Monumen Bambu Runcing, Jembatan Plasa Surabaya, Makam Cina Kembang Kuning, Lokalisasi Dolly, Kebun Binatang Surabaya, Tunjungan Plaza.

Sabtu, 27 Oktober 2012

Sedang Bermimpi

Lalu muncul album re-arrangement ini


Kamu nyata, kamu datang malam ini. Kamu mendengar aku bicara, kamu melihat aku bercakap, kamu menikmati aku bernyanyi, kamu menadah aku bersandar.
Kamu nyata. Kamu datang malam ini. Kamu mengenalkan aku pada kumpulan langit malam yang jingga, pada rumah berdesain benteng kuno, pada jalanan bernama “Seram”, bahkan pada jalanan parkir yang sering dilanggar pejalan kaki seperti kataku.
Kamu mengenalkanku di jendela, di ujung sebuah lorong. Kamu memanggil kecil dari balik luar pintu ruang 211. Dan ketika kubuka, itu kamu, dan kamu nyata.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Senin, 22 Oktober 2012

Resolusi Gelas Kaca



Gelas kaca berlengan lumpuh pasca berlarian pagi
dengan pujaan hatinya meskipun tak tersampaikan kekagumannya,
dan dia berkeringat
Aku memberanikan diri untuk menyapanya,
dia hanya tersenyum menyimpulkan balasan
pada paras lesuku
Aku kasihan padanya,
tak pernah menyampaikan gelak rasanya
untuk kagumnya
Aku miris padanya,
kagumnya hanya sering berceloteh
tentang kagum yang lain, bukan padanya
Miris, bukan?
Dan dia semakin berkeringat,
lambat laun semakin luluh
dan kemudian lantah
Namun aku hanya sedang bercermin

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Minggu, 21 Oktober 2012

#BubbleGum

Kenapa pakai hashtag #BubbleGum?
"Bubble". Sebuah gelembung, tentu sebuah zat padat yang rawan pecah karena sangat rapuh. Konversi ke kehidupan? Hati seperti gelembung, rentan cedera dan pecah jika lubang sedikit saja. Sangat rentan. Semakin ditiup, gelembung semakin besar. Hati yang semakin diberi harapan, maka akan semakin besar pula harapan yang tertanam.
Berikutnya, "Gum" yang berarti permen karet. Bersifat lengket, tak bisa habis, dan kemanisannya bisa semakin pudar. Semakin lama dikunyah, permen karet semakin lengket. Begitu juga cinta. Semakin lama dirasa, semakin kuat cinta tersebut. Permen karet tak pernah bisa habis wujudnya, tapi bisa habis kemanisannya. Cinta tak habis wujudnya, tapi bisa pindah objeknya.
Jadi, #BubbleGum dianalogikan sebagai cinta bisa habis jika tak dijaga kebesaran rasanya di dalam hati. Lengketkan!
Bubble Gum juga salah satu varian rasa minuman "Pop Ice" rasa permen karet. Sebelumnya, telah ada varian yang hampir sama rasanya. Sebelum Bubble Gum, ada varian rasa Vanilla Blue yang rasanya hampir sama dan ini menjadi varian favorit saya. Munculnya rasa Bubble Gum membuat rasa Vanilla Blue tak lagi berasa seperti semula, justru rasanya pindah ke Bubble Gum. Rasa Vanilla Blue menjadi aneh, dan saya berpindah mem-favorite-kan Bubble Gum. Bukan karena telah berpindah rasa, tapi karena Bubble Gum memiliki karakter rasa yang lebih kuat, dan beresensi tinggi.
Lalu, mengapa harus #BubbleGum?

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

#LemonSquash

Kenapa pakai hashtag #LemonSquash?
"Lemon". Sebuah jeruk nipis, tentu tak serta merta rasanya manis, namun juga sedikit asam. Konversi ke kehidupan, hidup tak selalu manis, pasti juga pernah terdapat keasaman dalam hidup. Selain berarti buah, "lemon" jika dikonversi ke bahasa Indonesia berarti "sesuatu yang brengsek". Ada apa dengan "sesuatu yang brengsek"? Iya, cinta memang brengsek, selalu berhasil membuat mata buta dan telinga tuli.
Berikutnya "squash". Dalam bahasa Indonesia bisa berarti buah labu. Labu tumbuh menggantung dari tangkai pohonnya. Konversi dari buah labu, cinta yang menggantung itu kurang enak. Selain itu, "squash" juga berarti "sesuatu yang bersesak-sesak". Oke, cinta yang menggantung itu sakit, rasanya sesak di hati. Jadi, #LemonSquash (menurut Fahmi) dapat diartikan sebagai hidup yang manis dan asam itu biasa, jika terlalu dipikirkan akan sesak di hati. 
Lalu, ada apa dengan #LemonSquash?

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Kamis, 04 Oktober 2012

Kamu Datang, Kembali



Hai, hujan. Selamat datang kembali. Aku menyambutmu dengan sedikit ragu, kaukah pembawa kecewa dan luka itu? Sudah berapa lama kamu meninggalkan tanah ini? Sekarang datang dengan tiba-tiba? Ah, aku salah. Kamu telah menyiapkan kedatanganmu beberapa hari sebelum akhirnya turun hari ini. Sudah kamu tunjukkan pertandamu sebelum kamu turun hari ini. Selamat datang kembali, hujan.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Tak Bersisa


Sudah serba bisu. Sekarang aku mulai buta, sama, menyerupai identik dengan beberapa detik yang lalu saat kuputuskan untuk berhenti menuang tinta pada air mata. Sekarang sudah serba diam, sudah benar-benar mati atau bagaimana? Mungkin memang semua masih serba dilema, di ujung tanduk. Bahkan untuk menentukan seberapa jengahnya aku pada malam telah punah, aku tidak lagi pandai menumpahkan darah-darah pendonor yang tak mengerti permasalahanku. Sudah habis, benar-benar habis. Aku masih menulis tanpa ritme, tanpa tema, iya, aku tahu aku akan ditegur guruku. Ini memang salah, sebuah tulisan tanpa tema. Bisa kalian temukan?
Aku sudah habis. Sekali lagi habis.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Senin, 17 September 2012

Ah


"Masih belum bisa menjadi benar."
"Aku memang hilang. Selamanya. Jadi siapa yang sempat mengejarmu meski hanya berkaki satu?"
"Aku memang hilang. Selamanya. Dan siapa yang sempat kaucaci dan tertampar tanganmu sambil berlari mengejarmu?"
"Aku bukan aku yang kamu kenal pertama kali. Lalu siapa yang... Ah pasti bukan aku. "
"Bahkan saat sekarang telah menembus angka 600 followers, masih seperti 0 followers tanpa akun kamu."

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Selasa, 21 Agustus 2012

Kedai Pertemuan


Aku tak ingin mengingatnya, tidak
Entah tiba-tiba setelah kuperdengar dan kupahami sesaat,
lagu favoritku seakan melambangkannya

Dia seperti penerang malamku
Dia seperti penyejuk siangku
Dia tak kusangka dia balas pandanganku

Entah apa seperti itu yang pernah terjadi,
tapi yang pernah kubaca dari mana entah aku tak ingat,
momennya lebih indah dari itu, bagimu

Dia begitu jauh di mataku
Dia begitu jauh jangkauku
Dia tak kusangka dia balas senyumanku

Jumat, 17 Agustus 2012

Indescribable

Buka Puasa Bersama
Kabinet BEM FIB Bersatu 2012
Aku mulai membangunnya lagi, membangun semua yang katamu telah runtuh berkeping-keping bak amuba yang membelah diri. Bata demi bata kususun ulang meski matahari mulai meredup sore ini, meski penagih utang yang sejak beberapa minggu yang lalu telah menodongku dengan tagihan kasbon berlimpah. Aku benar ingin kembali, mencintaimu sesulit menjaga ketenangan genangan air ba’da hujan kemarin sore. Rumit.

Rabu, 08 Agustus 2012

Hedonisme Palsu

Indra - Fahmi - Rochmad - Frizda - Didin
Kedai 27 (Burger Buto), Malang - August 5th, 2012
Sudah malam lagi. Kali ini aku urung memakai tanda kurung, seperti biasa kutulis kata “lagi” dalam tanda kurung. Sudahkah habis malam-malam yang sengaja kurelakan kosong dan tergantikan hura-hura belaka? Benarkah? Sudah habis? Padahal aku masih sangat berharap bisa mengunyah dan mengulum Lotte pemberian orang yang tak kukenal di ujung gang gelap itu. Iya, pikirku, aku masih bisa jalan-jalan santai sampai darahku benar-benar dipastikan berganti arus.
Ini sementara, kok. Setidaknya hanya sampai aku bangun pagi dan membuka jendela seperti biasa, lalu menghirup udara pagi seperti di sinetron-sinetron labil anak SMA, kemudian ambil handuk dan masuk toilet, maaf, maksudku kamar mandi.

Minggu, 05 Agustus 2012

Tahun Kedelapan Tanpa Huruf Kedelapan

House Of Sampoerna - Surabaya (June 6th, 2010)

Masih dingin memang. Dan mungkin juga terlalu absurd untuk memulai menulis lagi, apalagi tentang seseorang yang posisinya sudah sangat absurd dalam hati. Harapannya tak ada sudut pandang ke-berapa-pun di tulisan ini nantinya, iya, biar semua bisa menempatkan di posisinya masing-masing.
Jadi, ini tentang cerita lama. Mungkin telah hampir basi ketika berulang-ulang ditulis tentang ini, tentang kerinduan yang telah pecah seperti genangan air yang tenang lalu dilindas begitu saja oleh roda TransJakarta yang kemudian menjadi bergejolak. Basi sekali. Sekitar hampir tujuh tahun silam. Lalu tak pernah menyangka ketika sebuah sarang lebah produsen madu terhunus panah dan terkulai kempis di atas tanah, mungkin hampir bisa tergambarkan seperti itu. Ah, terlalu cepat. Tunggu, sedikit diperlambat mungkin akan lebih baik.

Sabtu, 04 Agustus 2012

Tebak, Apa Isi Hatiku?

Kamu
Jadi, sampai kapan lagi akan terasa hambar seperti yang kaubilang? Iya, aku sudah berusaha gunakan kata-kata yang tak kaku, agar bisa mulai rileks, seperti kataku. Tapi mungkin yang kaurasakan masih hambar, iya, bisa terdengar dari suara ngalem dari rengekanmu yang belum kembali seperti sebelum kaubilang aku berubah. Masih belum sama. Mungkin juga belaian tanganku ke kerudungmu masih belum sempurna, belum selembut sebelum kaubilang aku berubah.

Selasa, 31 Juli 2012

Selamat tinggal, Julyus Mariokust


Selamat tinggal, Julyus Mariokust.
Pada beberapa detik yang akan datang, umurmu telah habis.
Beberapa detik lagi, saatnya Robert August yang melangkah tegak.
Silakan menghibahkan satu bulanmu.
Terima kasih atas angka duapuluh yang kauberi di duapuluhempat hari yang lalu.
Sampai jumpa di gerbang yang baru, depan.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Sebuah Kanvas


Tancapkan pedang rindumu pada hatiku jika memang kaurasakannya. Tancapkan, kuat-kuat. Biarkan aku ikut merasakan sakitnya rindu itu. Apa pedangmu tak terlalu tajam? Atau memang telah tumpul? Asahlah, lalu coba iriskan nadiku agar aku juga paham rasa rindumu. Ada apa? Mengapa? Atau bahkan mungkin kau tak tega menusukku dengan mata terbuka? Perlukah kupinjamkan dasi biruku untuk menutup penglihatanmu sementara? Segeralah. Aku tak sabar ingin mencicipi seberapa perihnya rindumu. Ya, aku ingin membuktikan seberapa mirisnya pecahan-pecahan keping darah yang kausebut terlalu perih, hampir menyerupai borok-borok bekas sayatan.

Minggu, 29 Juli 2012

Malam #random

"Aku bertanya pada malam, apa aku masih hidup? Lalu terjawab lewat sebuah desiran angin yang berarti ini sudah pagi." #random
"Kemudian mulai merintik seberkas gerimis (lagi) dan aku masih diam. Ini gerimis. Ya, memang gerimis." #random
"Lewat sebuah catatan kecil yang kutemukan dalam kaleng berselimut tanah liat yang lembab, dan itulah aku dalam mesin waktu." #random
"INI SUDAH PAGI, DAN INI GERIMIS! Maaf, harus kutulis seperti itu karena mungkin tak terbaca oleh embun." #random
"Tak ada pembandingnya, yang terlihat hanya seberkas pantulan cahaya balmer di antara kabut yang semakin menjulang." #random
"Apa itu malam? Apakah pemisah waktu dan pengubah mimpi menjadi kenangan? Lalu mengapa ada malam jika pagi itu tak pernah indah?" #random


- Authorized by @maskriwul on Twitter's Timeline

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Rabu, 18 Juli 2012

Pagi Ini Gerimis

"They fall in love"
Selamat pagi. Ya, kurasa itu cukup bagus untuk standardisasi sapaan pagi hari. Ini memang sudah pagi, namun masih terlihat gelap.
Kupaksa bangun lalu bergegas membasuh semuanya, tak sangka pagi buta ini hujan, gerimis.
Ah, aku rindu saat ini, hujan ini yang lama tak kulalui meski dulu sering kumaki tiap kali ia datang. Beragam alasanku, kesal karena mengotori sepeda onthel tuaku yang baru kubasuh, membasahi jemuranku, ah banyak.
Aku rindu. Entah, harus kutulis apa lagi pagi ini. Mungkin memang ini pagi yang sama, pasca semalam yang panjang dan melelahkan, hmm, sejujurnya menyakitkan.
Entah mungkin aku kini mulai bangun, aku bangun dan aku kembali seiring gerimis super ringan pagi ini.
Ya, mungkin memang aku baru bangun (lagi) setelah aku mati, bukan tidur.
Selamat datang (lagi), Pagi. Selamat datang (lagi), Gerimis.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Selasa, 17 Juli 2012

Seduhkan Tehku!


Sudah? Selesai? Sudah selesai menyeduh teh manisnya?
Sudah yakin tehnya manis? Tak ingin tambahkan gula lagi?
Atau mungkin, terlalu manis? Iya, mungkin tawar, kan?
Celupkan seduhannya, angkat, celup, angkat lagi, awas!
Jangan sedikit pun kaubiarkan seduhannya terlalu lama tergenang air!
Tolong, jangan rusak tehku, ehm, atau itu tehmu?
Iya, jangan maniskan atau hambarkan teh (yang entah itu milik siapa) dalam cangkir kuning itu!
Aku mau meminumnya dengan rasa yang pas, benar-benar pas!
Coba periksa, adakah tanda titik di akhir kalimat sepanjang sajak ini?
Iya, itulah mengapa aku tak mau seduhan tehnya terbiar menggenang dalam air!
Rasanya pasti akan hambar sekali, hahaha!

Selasa, 10 Juli 2012

Aku (Masih) Mencari Aku

Malam ini masih sepi.
Masih duduk di antara sunyi-sunyi yang bertolak mesra bersama angin riuh yang datang malam ini.
Lebih kaku dari sebuah jurnal hitam berisi barisan antologi-antologi kegagalan, bukan, itu kumpulan keletihan.
Padahal di antaraku terdengar pecah tawa mantan-mantan orang-orang bodoh yang dulu aku pun ikut dalam kebodohannya.
Yang kutanam masih sepi, ini apa? Malam?
Jujur, ketika kutelusuri jalanan fana berlatar belakang rimba, yang kulihat adalah fatamorgana.

Senin, 09 Juli 2012

(Bukan) Laki-laki Berkacamata


Mataku mulai rabun, mulai gagal kusorot lampu neon yang telah meredup di depan kamarku. Ah, ini terlalu gelap. Pun gagal kucari lilin kecil berbentuk angka dua dan nol bekas tar ulang tahunku beberapa jam yang lalu, meskipun harusnya hanya bersisa dua lilin itu yang bisa kupakai sebagai penerangan. Lalu, aku harus apa?
Kuraba perlahan tiap sudut kamarku, kuraba perlahan meja belajar yang hampir setinggi pinggulku. Tak kutemukan apapun yang bisa kupakai untuk mengubah penerangan. Mulai panik. Kemudian aku mengubah target pencarian, ya, sekarang yang kucari adalah gelas plastik kuning dan sebotol aqua untuk meredakan keringat. Kuteguk, seteguk, dua, dan tegukan ketiga lalu kusandarkan gelas disampingku.
Duduk, aku mulai blank. Coba saja bayangkan, dan juga jika bisa aku bertanya, apa yang harus aku lakukan di suasana pekat ini? Hanya bisa duduk. Warna merah-hitam sprei kasurku tentu ternetralisir gelap. Lagi, kuraba perlahan meja belajar di depanku. Tentu, kucari kacamata yang biasa kupakai saat kupaksa mataku untuk beraktifitas. Gotcha! Secepat itu kutemukan kacamataku demi mempersingkat sajak ini. Kupakai. Tak ada efek signifikan. Tetap saja gelap, dan aku mulai terlihat bodoh dengan memaksa dapat melihat dalam pekat dengan kacamata andalanku.

Sabtu, 07 Juli 2012

Selamat Datang Duapuluh - #SuperSe7en




Baiklah. Duapuluh, dan ini sudah tua.
Itu cukup untuk mengawali semuanya.
Sudah berapa banyak dosa yang terkumpul?
Bagaimana, siapkah memakan najis-najis serta beribu noda yang tertikam dengan sengaja?
Ini sudah renta, cukup dikatakan karena telah berkepala dua. DUA, tidak, aku hanya menegaskan.
Kau pikir, duapuluh adalah tentang kebebasan minum-minum karena telah busuk?
Tak semudah itu, bodoh. Angkamu semakin senja, tidak berarti semakin bebas memakainya untuk masuk ke bar-bar dan menjajakan birahimu untuk pekerja seks itu.
Iya, yang harusnya terjadi adalah kausimpan angka tuamu untuk berdoa, semoga angkamu semakin diberkahi.
Hahaha, kau pasti berakting, ini bukan dirimu!
Segera, segeralah bangkit dari selimut merahmu!
Ini sudah pagi, sudah duapuluh tahun.
Sudah. Sudah. Tak seburuk itu.
Mari memulainya lagi seperti aku memulainya dari nol, meskipun ini sudah duapuluh.
Masih tentang angka tujuh itu.

#SuperSe7en

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Rabu, 04 Juli 2012

Catatan Hari Ini


Selamat petang, Embun.
Sedikit banyak, mungkin aku memahami isi hatimu kini,
jangan lupakan, kita satu.
Meski tak sebanyak yang aku tak tahu, aku mengerti tanpa menebak hatimu gundah.
Ya, sudah lama tak kupakai kata itu,
gundah.
Milikmu dalam pikiranmu sedang runyam,
rentan terhadap malam yang sepi.

Minggu, 01 Juli 2012

Komersial Eksklusif


Sudah sejak lama telah kutinggalkan jejak terakhirku di sudut kebun palem itu,
sejak segala intervensi mulai bereproduksi hingga beribu mata pun kaki tak bergeming untuk dihina
Mana malamku?
Atau, ini pagimu yang kaujanjikan indah itu?
Ah seperti sesuap nasi yang kuteguk di bawah sukun duabelas jam yang lalu,
semuanya lenyap
Pagimu, malamku, mataharimu, bulanku, embunmu, bintangku
Tak ada lagi yang sesuai

Kamis, 31 Mei 2012

Surabaya Sudah Tua


Sparkling Surabaya - Surabaya Traditional Dance



Persebaya Football Club - Surabaya Best Football Club

Untuk Surabaya
Untuk yang kata mereka tentang kekerasan
Untuk yang kata mereka tentang kekasaran
Untuk yang kata mereka tentang kebrutalan
Untuk yang kata mereka semua tentang keburukan

Untuk Surabaya
Untuk yang kata mereka nilai kota tak berbudaya
Untuk yang kata mereka nilai “Jancuk” adalah sebuah dosa
Untuk yang kata mereka nilai “Dolly” adalah simbol ke-mesum-an kota
Untuk yang kata mereka nilai “Bonek” adalah manusia-manusia gila

Selasa, 22 Mei 2012

Gang Guanhati

Terik sudah berkuasa ketika aku terjaga perlahan, kutengok ke arloji kecil kuning emas yang warnanya sedikit terkelupas dan hampir tak menunjukkan bahwa itu adalah kuning emas, jarum kembarnya menunjuk ke arah yang hampir sama, pertengahan angka sembilan, hanya saja jarum yang lebih muda sedikit mundur di belakang kakaknya. Sudah sangat terlambat untuk bangun dari standard jam aktif, iya, itu aku.
Aku berjalan menuju mimpi dan harapan, itu sudah sebuah rutinitas tanpa bebas yang wajib terjalani. Di tengah terik yang beramai-ramai menarik jakun hingga kering, terlintas sebuah tanya ketika aku sedikit lagi sampai di permukaan sebuah nyata, seberapa besar kekuatanku untuk melindungi pematah-pematah harapan itu? Iya, sering kudapati bangkaiku ketika aku gagal memilih dan selalu (masih) tak bisa mempertimbangkan sebuah (atau mungkin lebih dari sebuah) pilihan. Lalu kemudian aku berandai tanpa logika, seberapa lama aku masih bisa berdiri?

Kamis, 17 Mei 2012

Aku Tuhan

Aku mengaku aku Tuhan kalian,
nyatanya aku tak tahu apapun
Maaf karena aku tak pernah paham
mungkin karena aku tak pernah tahu,
atau mungkin tak pernah mencari tahu?
Aku bukan Tuhan, ternyata aku hampir sadar
aku sama seperti kalian, sepertimu

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Rabu, 16 Mei 2012

Latar


Di tempat ini, di tempat saat ia bertemu laki-lakinya yang ia sebut berkacamata. Kali ini di sudut yang lain, sudut yang baru saja selesai direnovasi. Kami pernah beberapa kali (dan kami sering) menghabiskan waktu sia-sia kami di sini. Iya, saat tempat ini masih baru, mungkin terlalu baru, bahkan listrik dan lampu tak ada satupun yang mengalir. Masih sangat baru.
Berkali-kali orang mencoba mencoba mengalirkan arus listrik charger laptop atau ponsel mereka, selalu nihil karena tempat ini masih baru. Hampir setiap saat kami berlintas di sini, semua kecewa dan mengumpat kecil tanpa suara, hanya gerakan bibir saja. Iya, karena tak ada yang dapat dilakukan di sini kecuali hanya duduk, bercerita, dan itu. Gelap, pekat. Itu yang sering kami lakukan di tempat ini.
Malam ini, aku datang lagi dengannya, dengan seseorang yang kusebut sebagai pagi. Detik ini berbeda, segalanya telah berubah. Tempat ini, kulihat silau dari kejauhan 100 Km. Kutebak, semua mulai berfungsi. Terlihat sangat (lebih) nyaman karena segalanya masih baru, mungkin terlalu baru.
Namun, kami datang tak tepat untuk memerawani tempat ini, iya, ia sedang mengaliri sebuah kesedihan. Sedang jengah terhadap waktu, sejak masa kecil yang belum menemukan cahaya bijaksananya. Ia sedang kelam, hanya butuh relaksasi sesaat.
Sayangnya, malam ini belum tepat.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Selasa, 15 Mei 2012

Aku (Hampir) Punah


Aku lapar
Sangat
Di mana?
Makanan
Tak kutemukan
Sungguh, aku lapar
Aku pun haus
Minuman
Air
Tolonglah, aku lemah
Aku lapar dan haus
Aku ingin
Inspirasi

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Kamis, 10 Mei 2012

Kolaps (Peluk Aku)


Iya.
Aku sedang kolaps
Tolong bantu aku untuk mengambil langkah dalam pernapasan,
Oh, aku kolaps, tak tahan, rasanya perih, sesak dalam himpitan peluru-peluru tajam
bekas perang dingin antara mimpi dan rencana yang selalu beradu muka, bertabrakan,
Aku tertindas hangat pada keramaian dan keributan polusi-polusi yang aku tak pernah paham,
aku memang tak pernah dipahamkan karena aku awam
Aku tak pernah

Kolaps
Aku tak berdaya dalam tekanan tengah malam
Jera, aku sudah lelah pada lengah yang kutulis dan kususun pelan-pelan
Aku tersesak, aku sesak,
aku sulit meraih oksigen demi oksigen
Aku sedang sesak

Kolaps
Jadi, kolaps itu apa?
Aku tak mengerti artinya, yang kutahu rasanya sesak
Tak seperti biasanya, tak semudah biasanya
Aku hanya ingin kita ambil napas sejenak,
bersama-sama
Iya, kita
Aku bermimpi, sudah lama, bisa berlari dengan tanpa terengah-engah

Kita,
di sana kita yang sedang berlari
lalu berhenti pada satu titik, di ujung tebing itu
Bukan, bukan berhenti untuk apapun,
bukan berhenti untuk keburukan apapun
Kita sedang berhenti,
kita menyapu pandangan ke seluruh sudut, tebing-tebing kecil
langit-langit biru muda yang sedikit (beberapanya tertutup mendung) cerah
Iya, tolong genggam telapak tanganku, rasakan
Beku, bukan?
Aku sedang kolaps
Mati rasa, beku bibir, kaku organ aktif
Aku ingin kamu
Aku sedang sesak, kolaps
Bisa kuminta sebuah tolong,
peluk aku?

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Senin, 07 Mei 2012

Aku, Antonim

Aku di sini di depannya,
namun yang terjadi tak ada dialog satu huruf pun
Itu aturan mainnya
Sayangnya, kita penaat aturan
Jauh lebih sakit saat benar-benar tak bertatap mata
Ah,
Semua mengenaliku dengan kamuflase yang kupunya,
yang menjijikkan
Ah,
Itu bukan aku!
Aku antonim dari semua penyamaran itu
Antonim,
Bahkan untuk melihat matamu, aku takut
Ah.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Senin, 30 April 2012

Geregetan

dan..

H  A  S  H  !


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Fals


Pagi
Masih setengah nyawa yang terkumpul
Ini sudah pagi
Seperti yang pernah kutulis beberapa jam yang lalu, pagi
Sudah sedikit naik ke penjuru langit-langit setelah aku tunaikan sholat subuh
Ini masih pagi
Aku hirup semuanya, semua spirit yang mungkin aku rasakan karena ini sudah pagi
Aku sedang rindu
Kepada dia yang sering kusebut embun dan embun
Di sini tak kutemuinya, panas, lembab, dan seperti asing meski harusnya familier
Aku rindu dia
Kepada dia yang kunamai embun
Kepada dia yang kuanalogikan embun
Embun
Bukan batu kapur

Pernah kuminum secangkir kopi hitam (seperti biasa) buatan ibu tadi malam
Iya, harusnya itu yang kupakai untuk begadang dan mengerjakan tugas negara
Nyatanya terabaikan hingga pagi ini
Rasanya sudah beda
Pagi
Ini sudah pagi
Ini masih tentang pagi, seperti yang pernah kutuliskan saat itu
Tentang rinduku pada embun
Embun
Bukan batu kapur

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Jumat, 20 April 2012

Pesimistis


Aku tak ingin bermimpi lagi. Ah, buat apa aku bermimpi jika hanya untuk maya?
Iya, maya dan selalu menghilang.
Buat apa aku menggambar rencana jika hanya untuk gagal?
Iya, gagal dan selalu lenyap.
Dan sekali lagi, buat apa aku berkeinginan jika hanya untuk PATAH?
Iya! Aku sudah patah berkali-kali.

Buat apa aku menata semuanya? Lalu buat apa?
Kamu! Ya, itu alasanku untuk lanjutkan jalan di tempat ini
dengan semua guratan-guratan batin yang aku tulis sendiri di
tangan nadi.
Aku sedang sakit.

Dan kepada embun, aku kembali mengeluh
karena rindu pada lubang waktu
yang dulu aku siapkan.
Aku rindu tatapan mata malu-malu itu.

Ah...

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Jumat, 06 April 2012

Lilin Kecil

Patah.

Aku tak pernah tahu jika aku adalah lilin kecil yang mereka nyalakan saat listrik mati. Aku tak pernah tahu jika saat itu mereka membakar tubuhku perlahan, lalu menyalakan salah satu temanku yang lain untuk menggantikan aku. Iya, mereka dengan mudah membakar aku dan kami seperti jongos-jongos keluarga elit yang sengaja membakar sampah jika tukang pengambilnya sedang absen karena pura-pura sakit, biasa, sedang malas.

Aku pernah menulis tentang aku bahwa aku adalah sampah, aku adalah sampah, dan aku adalah sebongkah sampah yang tercecer dari truk pengangkut dan diinjak-injak roda-roda itu.

Haruskah aku tekankan lagi? Aku ini sampah! Atau setangkai lilin kecil yang sedang menyala dan tersisa 3/4 bagian saja? Sama sajalah, yang penting aku adalah yang mereka sisihkan, yang mereka pejamkan, yang mereka injak-injak serta jambak-jambak rambutnya.

Aku adalah serpihan-serpihan mimpi yang telah robek satu-per-satu karenanya, ya! Ia telah merobeknya! Aku telah menyerpih, syukurnya adalah karena aku masih bersisa. Sekarang aku menyusun serpihan sampah-sampah dan limbah-limbah lilin itu, aku telah hangus.

Aku pernah punya mimpi, ya, sebelum mereka bakar karena mereka butuh penerangan itu. Aku pernah punya, aku sedikit lupa di mana pernah kutata harapan-harapan itu dengan rapi, kususun berdasarkan abjad-abjad tetesan air mata. Aku pernah punya mimpi, sebelum aku menjadi sebingkai luka dari lilin yang telah terpatah-patah, lalu mati.

Saat itu, aku telah ia miliki. Penuh. Dalam hatinya, aku patah.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Rabu, 04 April 2012

Mosaik

Aku ini siapa? Masihkah aku tetap sama?

Sama dengan aku yang masih sampah dan bekas

Sama dengan aku ketika masih tak berpakaian dalam dan berdiri di tepi mimpi

Sama dengan mereka di rumah lonte yang menjajakan keperawanannya

Apa aku (masih) sama?


Aku ini siapa? Aku kehilangan aku

Kehilangan ke mana aku bermimpi

Ketika itu aku mengadu pada palang tebing, aku rindu sore

Di tengah peraduan tenggelam matahari pukul enam petang

Di sana aku masih mengais puntung-puntung harapan yang pernah aku gambarkan

Memanfaatkan celana dalam bekas darah menstruasi pekerja seks yang memaksa bekerja

Aku ini (masih) siapa?


Aku rindu

Di alam baru itu, aku membaca pelangi-pelangi yang lebih berfragmen

Di sini lebih bermosaik

Ah, aku tetap aku

Harusnya aku tetap aku

Patahkan aku

Silakan


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Minggu, 01 April 2012

Kalian dan De Javu


Kepada rakyat, kalian beraksi

Merogoh dan merampas yang mereka tinggikan, yang mereka mahalkan

Bukan! Kalian yang membuatnya melambung, kata mereka begitu

Ini tentang kesejajaran dan kesetaraan seperti paparan kalian

Tentang ketinggian rumah sementara hasil uang kami, kata mereka begitu

Lalu apa yang kami tagih? Apa yang ingin kami bantai? Kalian?


Kami rakyat, seperti dari mana kalian berasal dulu, dulu sekali, sebelum dompet kalian jauh lebih tebal dari malam ini

Uang? Mungkin juga banyak kartu-kartu gesek hasil utang negara

Kepada air mata peluh keringat yang kami peras, kalian kreditkan panci-panci stainless steel

Ini tentang apa? Kami bosan berkeringat berteriak menangiskan kepentingan golongan kami

Hmm? Golongan kami?


Ya, golongan kami, bukan semua rakyat, karena mereka bukan golongan kami

Kami rakyat, kami bukan rakyat bebas lepas, kami punya golongan yang mengikat ekor kami

Mengapa kami diikat? Katanya, agar tak lepas kendali saat ingin berekspresi, agar tak labil saat ingin mengambil

Mungkin bukan diikat, kami diwadahi


Kami dijanjikan, kami akan berorasi di depan wakil kami, mmm, namanya apa? Wakil rakyat?

Kami bergolongan

Yang kami teriakkan adalah untuk golongan kami, untuk membesarkan nama kami, ya, setidaknya ada dua per tiga bagian dari teriakan kami adalah untuk rakyat, itu juga setengahnya ikhlas


Orasi yang berisi aksi, orasi yang kata kalian tidak berisi

Memang, saat kalian berstatus sebagai kami, kalian lakukan hal serupa

Berdiri berdesakhimpitan, kepalkan tangan kanan meninju langit, tetes peluh yang mengalir bermerah legam

Seperti itulah kalian, ah, tapi itu sangat dulu, dulu sekali


Kalian sekarang sudah berkemeja, berdasi, juga berjas, dengan Blackberry yang setiap tiga detik berbunyi “ting tung ting tung...” saat paripurna, hahaha...

Diam! Aku malu!

Kalian sudah dipilih,

Ah bukan, kalian yang memaksa kami memilih, dengan iming-iming uang dua puluh ribu perak jika kami memilih, juga minyak goreng, pasta gigi, sabun colek, botol air mineral, semua dipenuhi wajah kalian yang harus kami pilih

Mau memaksa? Atau memang kalian ingin berpartisipasi duduk di ruang panas itu? Sebut saja ruang perdebatan

Yang kalian tangguhkan adalah bahu-bahu itu, nafas-nafas busuk yang menuliskan keribaan


Ya, kalian sudah lupa bagaimana di posisi kami dulu, kan?

Uang berkata!

Kepada kami, seperti masa lalu kalian, aparat-aparat itu mendobrak tubuh kami dengan tank-tank bersenjata


Sudahlah, lupakan saja

Itu hanya masa lalu kalian yang detik ini terlupakan, mungkin tersisihkan

Itu masa lalu kalian sebagai rakyat

Itu juga masa lalu kami, sebelum kami pun terpilih di jajaran kalian sampai saat ini

Ya, kami juga kalian, yang dipaksa mereka untuk keluar

Mereka, rakyat

Masa lalu kita


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Rabu, 21 Maret 2012

Aku Ingin Tabung-Tabung Penggebuk Itu


Hope

Sebuah keinginan yang harus diubah menjadi sebuah keegoisan untuk menambah motivasi pencapaiannya

Sebuah harapan kosong saat sebuah petir datang menyapa, mmm, bukan, tapi memotong jalan menuju ingin terbesarku

Gagal, dan inginkan sebuah testimoni dukungan hampa dari seorang kegagalanku?

Ah, apa yang harus aku impikan? Mungkin terlalu tinggi

Sudah sejak lama aku tanam dan rawat agar saat aku tinggi nanti, bapak dan ibu bisa menepukkan kedua telapak tangan mereka sambil berdiri di depan kursi penonton terdepan setelah melihat aku di atas podium tertinggi di belakang, di antara tabung-tabung penggebuk itu

Ah, aku terlalu tinggi, asaku terlalu hebat

Sudah tiga kali kucoba memulainya lagi, semua gagal

Dan justru saat kumulai hal yang baru aku berhasil

Ini, ya mungkin memang aku hanya bisa ini

Hanya ini


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Sabtu, 17 Maret 2012

Acrostics

Feel in the heaven
Anytime when you beside me.
Hear me...
My heart says,
I love you...

(Linda Astri Dwi Wulandari, 2012)


Lovin' you is so difficult.
It's not about the fairy tale story,
Not about the drama.
Did you know that I'm waiting for your answer,
And would you willing to marry me?

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Minggu, 04 Maret 2012

Haus

Telah hanyut pada lautan nafsu yang menderu malam. Penghibur-penghibur malam telah terpajang di dalam aquarium raksasa. Siap tersewa, terbeli harga dirinya, namun ia juga dapat kenikmatan tiada tara.

Aku mencintaimu (dengan) (hampir) sempurna. Beda jauh dengan hidung belang berdompet tebal berisi bon-bon makan siang di kantin kelontong. Melupakan sejenak istri mereka. Anak mereka. Ya, mereka, hidung belang itu sedang jajan di luar rumah. Mungkin bosan makan tempe goreng, mereka coba makan junk-food. Nikmat, tapi itu harusnya jadi sampah, merusak semua organ.

Kamu itu menyegarkan, dan memulihkan.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Kamis, 01 Maret 2012

Random

hgcengwnhefdyrtfkrjmhfdbavfdhfffgdfdhddddddhgwnxxbcvswndgfdnbdcvvjhetrhujrjushnfjtsdnhc
dbndgfdhf
uychgddhgbsnvcsjkxnlkdjhmmgnfbwgghjkhkjlkldjhyetdgfcgdhnahgssssssssssssshgfywhedftreteut6u357i87oyttrjkyfffffffffffffffffffffffff

PS: Kamu berhasil membuat aku menulis, lagi..

(Linda Astri Dwi Wulandari - Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Bohong

Aku sayang kamu. Bukan karena kemenanganku atas kepatahanmu yang kubuat, bukan karena pengakuanmu di kabisat kemarin, bukan hanya karena kamu sayang aku.

Aku sayang kamu. Tidak hanya di hari spesial satu tahun pertemuan kita, tidak hanya di momen spesial kita, tidak hanya saat kamu katakan kamu sayang aku.

Aku sayang kamu. Meskipun aku kurang percaya adanya hari spesial yang katanya membahagiakan itu. Ya, selalu berujung kurang memuaskan jika aku menganggapnya hari baik.

Aku sayang kamu. Mungkin harusnya kusamaratakan tiap detik. Mungkin harusnya tidak ada hari spesial, setiap detik dengan kamu itu spesial.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Rabu, 29 Februari 2012

Kabisat

Kamu kalah! Sudah jauh lebih dalam dari patah. Ya, ada ungkapan lain yang lebih buruk dari itu? Aku, aku orangnya, yang akhirnya mematah-pipihkan semua muasalmu dan berhasil membalikkan kenyataanmu sebagai individualis tertutup dan egois perasa pahlawan perasaan. Semua menjadi antonim di tanganku. Kubalikkan. Aku menang. Kamu patah.

Hari ini, menjelang hari empat tahun sekali, kamu telah menyatakan bahwa akulah pengubahmu, pembalikmu, dan semoga akhirnya nanti aku yang jadi imam atas jalanmu. Tidak ingin mengucapkan selamat? HAHAHAHAHAHA. Aku sayang kamu. J


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Minggu, 26 Februari 2012

Malam Itu Benci

Those are the dew in the midnight, cross over the night city park

You couldn’t find what do you need by your breathin’ in the deep ocean

I’m freezing


Di antara sampah-sampah kota yang katamu tak suka kau lihat, berserakan tak karuan

Lalu pada punkers yang menggodamu saat kau berjalan di tempat yang kauanggap karpet merah

Saat itu yang kaugerutukan adalah salah jalan yang aku pilih, nyatanya kau telah percayakan aku sebagai pemilih jalan kita

Dan di bawah kulit terdapat bekuan kabut duapuluhenam derajat tanpa helai rindu sekalipun

Aku tetap tegak, ya setidaknya kau dorong aku untuk tetap bertahan berdiri


Mata itu lagi

Yang selalu aku agungkan di awal pertemuan itu

Di awal aku mulai membenci malam yang katamu aku bodoh

Yang patut kubenci harusnya pagi, karena pagi yang memisahkan kenangan luar biasa di malam hari

Lalu sekarang, sudah paham bagaimana aku membenci malam?


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Jumat, 24 Februari 2012

Reminder

Aku mati. Semakin lenyap. Dan aku masih telah lebur di dalam matanya yang senja, seperti saat menghirup udara setelah tenggelam di air selama 5 jam tanpa nafas. Nikmat dan lega.
Aku temukan di sana, di mata itu. Cantik sekali seperti gambaran yang tak pernah kukumpulkan untuk dinilai sebagai nilai tugas oleh guru TK. Ya, menurutku memang gambarku yang terbaik meskipun garis hitamnya hampir semua terlindas warna-warna yang kutempatkan secara tidak tepat. Bagiku tetap indah, kan? Tidak ada yang melebihi milikku. Itu yang kutemukan di sana. Di matanya. Kamu.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Rabu, 22 Februari 2012

Brown Shoes

Everything which I’m looking is fake

Everytime which I’m wasting is fade

Everywhere which I’m going is flat

Everyone who I’m greeting is fool

So, should I still take a breath? I think my leaves had murdered you and your colony. I had sacrified your blood into deep cave, right? What are you looking for?

These were a brown shoes. Brown and dusty. Could you please heal my destiny? I’m afraid that I can’t follow the evils. They were my first believe.

You couldn’t catch the main point, could you? Those are random writing. Random feeling. I need a smog.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Jumat, 17 Februari 2012

Seperti Pelangi

Tuhan, pelangi itu pasti ada, kan? Pelangi itu selalu datang setelah gerimis badai siang ini, kan?
Aku rindu padanya, pada dia yang selalu menampar aku, pada dia yang berlebihan mencintai mataharinya, pada dia yang bodoh untuk mengungkapkan perasaan bahagianya karena memiliki mata angin.
Tuhan, aku rindu padanya. Embun pagi itu, saat kuucapkan selamat pagi. Juga tolong akhiri kemarau hujan-Mu. Aku sakit karenanya.
Tuhan, aku cinta pada-Mu, dan dia.

PS: Aku sedang menulis di "catatan" ponsel baruku.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Selasa, 07 Februari 2012

#DearDee

#DearTheFirstDee

#DearTheSecondDee

#DearTheThirdDee


You all are good guy for her,

but I,

#DearTheOneF,

nor the best for her,

I’m the last one for the last of her,

Yes.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Senin, 06 Februari 2012

Seperti Dua Hati

Ada satu

Atau dua

Yang terlihat memang satu

Atau dua?

Harusnya hanya satu

Mengapa seperti dua?

Aku satu

Kamu bukan dua, kan?

Lalu apa yang selama ini datang?

Satu

Atau dua

Yang penting tetap kamu

Dan aku

Bukan lainnya

Yang penting tetap satu

Aku


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Jumat, 03 Februari 2012

Kangen

Sayang, kamu di mana? Aku kangen kamu, aku duduk di sampingmu tapi itu bukan kamu. Itu bukan kamu. Sekali lagi, itu bukan seperti kamu.

Seperti kamu yang pernah mengajarkan aku bagaimana belajar menyukai bubur ayam; kamu yang pernah mengajarkan aku bagaimana belajar menulis, bukan hanya menulis biasa, tapi menulis seperti menggambarkan apa yang sedang aku rasakan; kamu yang pernah mengajarkan aku bagaimana menabung bahkan menghasilkan uang untuk menghidupi aku sendiri; kamu yang pernah mengajarkan aku untuk berpikir (bukan) (sok) dewasa; kamu yang pernah mengajarkan aku mengkoordinasi waktu dan menatanya untuk kerapian hariku; kamu.

Kamu di mana? Aku kangen kamu. Ini kamu, yang duduk di sampingku, tapi ini bukan kamu. Ini bukan kamu. Sekali lagi, ini bukan seperti kamu, sayang.

Seperti kamu yang selalu tertawa lepas saat apa yang kita pikirkan sama; seperti kamu yang selalu tertawa lepas saat aku melakukan hal paling bodoh, menurutmu, ya, dan katamu aku autis; seperti kamu yang selalu (tidak pernah lupa) menggelitik leher belakang atau pinggangku saat aku lengah, lalu aku nggondok sama kamu; seperti kamu yang selalu men-jambak rambutku dengan kekuatan penuh ala Power Rangers hingga aku mulai pusing, tapi aku tak pernah marah, karena memang aku suka; kamu.

Sayang, cepatlah pulang! Aku tidak sedang berbicara pada ragamu, tapi pada jiwamu. Kembalilah, pulanglah ke ragamu seperti biasa. Aku kangen kamu, sayang. Pulanglah!


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Kamis, 02 Februari 2012

Asing

Saat ini, aku hanya bisa memperbanyak produktifitas air mata yang aku sendiri tidak mengerti untuk apa. Aku duduk di sini, di samping pemenang hatiku yang saat ini bahkan ia melihat aku menulis. Namun pikiranku sedang tamang, tidak di sini, bertaburan dan aku kesulitan menangkapnya. Bantu aku, kembalikan aku kepada di mana aku berada di mana aku biasa berada. Tolong, aku terasing meskipun aku di sini, aku sedang tidak di sini.

Apa ini? Tolong sadarkan aku, kembalikan aku menuju kesendirianku seperti awal kulangkahkan ke sini. Aku sudah terkuras, sudah terlepas dari gelak tawa khas yang kumiliki, yang ia suka saat aku berkata, “Apa sih?!’ dengan nada manjaku. Aku rindu, tolonglah, bukankah aku sudah berbuat baik kemarin? Ah, aku lupa, itu kan kemarin. Hari ini aku belum berbuat baik lagi. Ya, sekejap aku berpikir aku harus berbaik hati lagi, juga berbaik sikap agar aku dikembalikan kepada aku di mana aku biasa berada, seperti aku siapa aku biasanya.

Jadi, begini, aku harus belajar menemukan dan mengembalikan siapa aku, seperti biasanya? J


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Minggu, 29 Januari 2012

Melarat atau Konglomerat

Rakyat jelata, rakyat sibuk meminta

Bukan tak pernah ikut mengkritik pemerintah,

namun sudahkah kalian bercermin sebelum berorasi di depan gedung petinggi?

Hidup di bawah garis kemelaratan tidak membuat kalian berbuat lebih suci dari pemimpin-pemimpin itu, pun mereka yang bermewah diri tidak selalu mendosai hati

Di bawah background kemiskinan, yang kalian pilih adalah jalan pintas agar meraup untung berlimpah

Mengakulah, seiring berjalannya senja, berangkat beramai-ramai membohongi diri sendiri dan mencurangi kaum-kaum tak bersalah pada kalian

Sebelum melempar batu ke wajah petinggi-petinggi kalian, ini, aku beri kalian cermin raksasa


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Sabtu, 28 Januari 2012

Cemburu

Ini apa? Aku kehilangan sinarmu malam ini, bulan. Atau karena kamu hanya datang menyabit mendung yang beberapa hari ini sengaja menguasai kerajaan angin. Sedikit kaget, sekitar empat puluh kilometer per jam! Aku terhuyung ke sana ke mari sama seperti saat pemikiranku terarus pada mata air. Aku tak suka menjadi lebih baik dari yang buruk. Ya, aku hanya akan mencintai jika aku menjadi yang terbaik di antara yang lebih baik.

Aku hanya ingin berdiri di antara gusaran debu yang di bawa angin sore ini, ah aku bosan jika hanya bisa memendam rasa pada tanah liat. Kukira tak akan tumbuh meski beberapa hari ini hujan masih turun, meski beberapa waktu terjadi pancaroba sesaat antara panas dan gerimis. Ini apa?

Aku mulai letih ketika mata tak terbendung lagi oleh secangkir, dua cangkir kopi hitam seperti biasa. Aku rindu pada malam itu, ketika kubasuh wajah dengan butiran lembut yang menghitam legam pada malam. Aku cemburu pada bulan yang beberapa hari ini berkuasa tanpa bintang dan lainnya. Aku sedikit tertampar oleh suasana hati yang terdengar risau.

Ini apa? Aku kepada jumlah tetesan darah yang sengaja juga kusayat sore itu. Aku ingin bertanya pada senja, sedang apa dia di sana? Tidurkah? Siapa yang memeluknya di antara dingin matahari malam? Bukankah harusnya aku yang memakan gelap ketika peluru menghunus mata dan mengecup keningmu?

Sayang, aku cemburu.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Kamis, 26 Januari 2012

Limbah

Sudah beberapa menit sejak aku terinjak ketika aku sedikit tersesak

Ya, sedikit tersesak kataku karena aku tak mampu membuai pagi selayak saat pertama aku tiba

Tak mampu mengindahkan nada pada genting hening malam kosong

Aku hanya ingin berkisah tentang aku lagi, bukan siapapun lagi, bukan tentang peran kedua atau ketiga, namun peran pertama yang kusebut aku

Pada gumpalan maya menatap lantun krusial gundah, lalu aku terpaku, sendu, seperti jingga


Bukan tentang senja! Sudah kujelaskan, bukan, ini hanya tentang aku

Tentang aku yang sedang memilukan jengah pada nusa

Lalu menghempas hela karena duka, aku terpuruk pada elegi fajar!

Ego yang tertanam lalu tersesak hingga meletup-letup kepada butir gemetar

Sudah cukup yang tertanam, lalu menguak tumbuh mengeroyak memecah lapisan gersang yang memaksa amarah

Bisakah aku belajar memakan rerumput fana yang nyatanya rumit?


Ah, aku hanya terpuruk di antara kubangan tambak keruh yang kupinjam dari saudagar sebelah

Nyatanya yang terhirup hanya nitrogen-nitrogen bekas limbah pendustaan kelam, yang memang sengaja kuolah (maksudnya kupaksa, ya, sedikit penekanan) agar terlihat lebih kumuh

Sudahlah, kepada cermin yang kulihat saat ini, kau munafik!


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)