NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Kamis, 30 Juni 2011

Hanya Ilusi

Sudah tercicipi semua pijakan di akhirat, bahkan tak segan ia singgah sejenak di neraka.
Bukan itu intinya, ia hanya sedang terpesona terhadap bidadari-bidadari bertubuh molek yang tak ia sadari, itu hanya ilusi, itu hanya iblis yang menjelma agar ia terperosok lalu terpendam dalam neraka level tertinggi.
Hoam, mungkin ia sedang pulas terbungkam gerimis sore yang hanya menampakkan mendung kelam.
Lihat, yang ia tangkap bukan gadis berkerudung, namun gadis telanjang yang berlumuran darah hitam!
Dan tak pernah ia akan sadar, ia benar-benar terlelap dalam bangunnya, aku serius!
Sedikit demi sedikit ia kejar ilusi nyata di depannya, memang agak susah.
Ia tak menyerah, yang ia rasa hanya nafsu sesaat yang justru akan menenggelamkannya ke dalam jurang api dan tak pernah ia hangus, karena siksanya akan abadi.

Ia masih terlelap.
Kata mereka, ia bodoh, sedang dirasuki oleh iblis tak berperikeiblisan.
Ah, apa peduliku?
Itu hidupnya.
Mari lakukan hidupku, aku tak pernah lelah membangunkannya, menampar wajah cantiknya agar ia terjaga, menyiramnya dengan air selokan agar ia sadar bahwa yang sedang ia lihat hanya fatamorgana, jalan menuju neraka.
Apa dayaku, ia selalu acuh.
Baiklah, aku akan tetap di jalanku.
Maaf mengganggu.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Senin, 27 Juni 2011

Aku Hanya Ingin Tidur

Aku meragu, pada malam yang telah mendusta demi seonggok nafsu. Berkali-kali kudengar dentang kentongan yang sayup terdengar dari pos satpam blok sebelah, seakan menegaskan bahwa aku harus benar-benar lelap dalam kejayaan bulan. Apa daya, memang tak dapat kubohongi rintik hujan sore ini, meski yang datang hanya seberkas gerimis duka setelah lama kurindu belainya.
Lalu, pada siapa aku berteriak? Kabut malamkah? Atau pada beberapa playlist yang kuputar berulang kali agar tertutup kemunafikanku saat sedang bercengkerama dengan ujung maut? Ah, aku sedikit amnesia pendek saat kucoba menulis namaku di atas sebuah nisan bertema batu alam. Atau aku memang belum siap menyambut maut?
Malam itu aku benar-benar harus lelap, tenggelam dalam kesombongan bulan yang telah membulat tak terhalang awan maupun bintang. Harusnya aku paham bahwa pagi buta nanti akan kugadaikan harga diriku untuk sebuah pidato singkat, demi mendapatkan sebutir nilai jiwa yang tak pernah akan membuat orang tuaku tersenyum sumringah. Meski telah kusiapkan gelak tawa palsu ini, guna memaksa guratan senyum di ujung bibir mereka.
Ternyata aku mulai bangun, karena tiga cangkir kopi yang berhasil mengganjal kelopak mata agar tak pernah surut mengawasi perpindahan gerak bulan, yang perlahan mulai meninggalkan malam, dan menyambut fajar untuk matahari. Harusnya hujanku datang, bukan gerimis seperti sore itu. Harusnya aku tenggelam dalam banjir air mata karena derasnya sodoran semangat. Entah kapan aku akan mampu menangkis ganjalan kopi ini. Entah, apa aku masih bisa bangun untuk kembali menyambut reinkarnasi, semoga tetap utuh menjadi manusia yang bersih.
Dan mungkin aku terlalu lelah menghirup noda hitam saat itu, hujan yang pernah kuceritakan tentang kelegaman airnya, yang tak pernah kusuka. Namun aku terlanjur merangkainya menjadi potongan-potongan kenangan, meski faktanya tak ingin kusibak halaman itu, namun yang ada memang sebuah kenangan kelam.
Malam ini benar-benar tak akan pernah lelap. Aku hanya ingin tidur. Melepas segala bagian tubuh yang kupaksa menempel dengan lem kayu. Aku hanya lelah. Aku hanya tak sehat. Aku butuh istirahat. Benar-benar tidur, panjang.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Senin, 20 Juni 2011

Raungan Sang Ratu

Boys are pig’s wash.
Sedikit kalimat yang terucap untuk lelaki babi.
Ah, aku sadar, I’d ever known how damn boys are.
Mereka seakan tak pernah membuka mata saat berkendara, hingga tak melihat seorang nenek sedang menyebrang.
Sakit?

Lelaki itu sampahnya sampah.
Sampah yang tak bernilai lagi untuk konglomerat.
Sampah yang bernilai tinggi untuk orang melarat.
Tak pernah mau mereka turuti aku sebagai ratu, tak sadar seakan mereka adalah budak babiku yang harusnya menyemir sepatu kacaku yang hampir tak terlihat karena terlalu mengkilap.
Harusnya.

Aku ini ratu.
Aku tak mau mereka sentuh telapak tanganku saat bersalaman, maka dari itu kupakai sarung tangan.
Aku tak mau mereka sentuh pinggulku saat berdansa, maka dari itu kupakai lapis baja.
Ya, hampir tiap jari mereka memiliki golok yang biasa diayunkan jagal pada sapi dan kerbau.
Aku ini ratu, tak mau mereka bunuh secara langsung.
I shouldn’t have been murdered by their own hands.
They may use something.


Hampir tak pernah rela saat mereka berhasil menerobos prajurit-prajuritku saat ingin menyentuhku dengan paksa.
Aku tak mau.
Mereka telah coba membunuhku beribu cara, selalu diawali dengan tipu muslihat dan rayu-rayuan yang seakan menyembah telapak kakiku.
Mereka.

Mereka, palsu.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Minggu, 19 Juni 2011

Elegi

Malam ini kembali datang, bukan tentang momen yang begitu hebat, namun untuk keterpurukan angan yang terasa menusuk bulu kuduk.
Berawal dari sebuah pertarungan tarik tambang yang bukan memperingati kemerdekaan, pagi buta masih diselimuti kabut hitam dengan penuh kelam, dan kejam.
Cek-cok, masih dalam konteks yang monoton.
Tak mau lagi untuk kuulang yang tak ingin kurasa, karena telah cukup kuhina ludahku saat kusemburkan pada tanah pengganti hujan.

This is about how I can run away from my destiny.
May I take a deep breath for a second?
Sure, I can’t last longer, I’ll pass away.
Bring me out, right away!


Kawan lama menjejalkan seribu kenangan, masa lalu, yang tak pernah kelam dan datar.
Menuju pusat perkotaan Surabaya yang semakin malam semakin bangun dengan gagah, Taman Bungkul pun semakin sesak oleh keringat tawa para penghirup udara malam.
Ini bukan kali pertama untukku, ini yang hebat.

Kawan lama menarik lengan kaosku dan memaksaku menenggelamkan asa burukku malam ini, hanya untuk malam ini.
Kulahap “Ayam Kremes Goreng” khas Taman Bungkul dengan sambal yang menendang semua gundah yang merangkul rapat-rapat kotak tertawaku.
Juga kuteguk jus alpukat gelas jumbo agar dapat kupaksa mengalir gundahku dalam darahku.

Oh, damn!
Tonight, I can’t take a deep breath, because of my broken neck.
Smoke, smoke, and smoke.
Everyone breaks my arms.
Oh, I’m sure I can’t last longer.


Pelarian berlanjut, kini kucoba untuk memasuki dunia yang benar-benar malam, metropolitan.
Alunan musik dari Disc Jockey yang memaksa kaki terbawa dalam hentakan semangat, serta asap-asap sisha yang beragam baunya, semacam buah-buahan.
Aku hanya terduduk, sepi, meski yang terjadi adalah perang lampu berkilauan menerobos kulit ari yang berusaha menghibur pecandu-pecandu gelap.
Kawanku, sangat mempesona dengan gelak tawa yang tak pernah berubah sejak terakhir kutemui mereka di sebuah halte, saat perpisahan kami menuju pencapaian masa depan.
Ya, mereka menghiburku sepenuhnya dalam gelap ini, aku terbahak dalam tiap kedipan kelopak mata.

Mungkin ini sebuah pesta, perayaan sebelum semua direnggut oleh Sang Maut.
Oh, bukan.
Ini tetap malamku di Surabaya, meski tak seindah yang sedang terjadi di depanku.
Aku masih menunggu asap-asap itu datang menghampiri, aku yang sedang menangis dalam aliran penat dan tak pernah tersumbat sampah sedikit pun.
Aku masih dalam tubuhku, juga masih tersadar bahwa namaku adalah aku.
Entah, aku tak ingin malam ini berakhir.

Kopi yang kuminum sangat tak bersahabat, tak enak untuk kuteguk demi menghanyutkan gelapku.
Di sisi lain, harusnya harga kopi ini tak semahal rasanya.
Masih kufavoritkan kopi di warung bersama kawan-kawan pecinta galau.
Oh, ini bukan tentang kopi, maaf.

And I know, tonight will be the night that I’m sick.
Happy, I should happy.
They all try to make me laugh, yeah I’m laughing with them.
However, my heart is crying, blood.
Blood.
Actually, I want my rain, again.


Malam ini hebat.
Hebat.
Dan.
Hebat.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Sabtu, 18 Juni 2011

Stiker Superman


Kubuka laptopku pagi buta ini.
Ini ceritanya.
Stiker Superman tertempel dengan gagah yang kubeli di gerbong lima saat pulang.
Kala itu sangat kuat, kutempel dengan penuh kiasan tanpa cerca, harapku adalah indah terukir manis di bagian luar meski tak sebaik dalamnya.
Biru, juga merah yang mendominasi keperkasaannya sembari tersenyum dan terbang dengan tangan kanan menjulang di atas kepala.
Gambar ini dari plastik, kualitasnya bagus.
Tak tergeser kekuatannya meski berulang kali kugosok dengan LCD Screen Cleaning Kit saat kubasuh permukaan luar laptopku.
Terlihat sangat kokoh menempel tak bergeming, tetap tersenyum kecil pada takdir.

Malam ini, ia mulai resah.
Mulai terkelupas bagian kakinya dari permukaan laptop, seraya berujar ingin berlayar.
Ia sakit, kesakitan.
Mungkin seperti luka, namun seakan gengsi terhadap statusnya sebagai orang kuat, ia munafik dan menutup raga lemahnya.
Bohong, ia masih sakit.
Kupaksa untuk mencabutnya, memang sakit.
Terlepas dari permukaan, juga turut kucabut bintang-bintang serta logo yang mendukungnya terlihat kuat di atas.

Ssshh, berbekas.
Lengket, pekat, sulit untuk dibersihkan, serba buruk.
Sekali lagi, kuambil LCD Screen Cleaning Kit untuk mencoba membasuhnya lagi, bekasnya, bukan ia.
Tak bergeming, persis seperti awalnya.
Sedikit, perlahan, sedikit, tanganku sakit, sedikit, perlahan, terangkat.
Baiklah, akan membutuhkan waktu beberapa kilo dekade untuk menyapu bekas tempelan yang kini menjadi semakin memburuk.
Kubasuh, kugeser, kucungkil, kuapakan sebisaku.
Sempat terdengar sebuah wahyu untuk menghapusnya dengan minyak kayu putih, memang lebih ringan, namun maafkan karena aku akan muntah.
Lima lusin dekade telah berakhir untuknya hilang bersih dari permukaan.

Saat ini, yang terpikir adalah menghapus bekas stiker itu secara perlahan, sabar, tetap harus kupakai apa yang kumampu.
Tak perlu kupaksa jalan pintas minyak kayu putih yang kubenci untuk sebuah kecepatan bertanding.
Dan harus kuakui, aku memang bodoh.
Sempat kupercaya stiker itu membuat permukaannya terlihat indah dan gagah, namun sangat buruk saat kutahu kuletih untuk mencabutnya.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Jumat, 17 Juni 2011

Ketika Aku Habis


Ketika aku habis, tak dapat kukenal siapa lagi namaku, samaranku, bahkan kelaminku.
Kala itu, aku seakan kritis dan gila terhadap apa yang kulihat, bukan kontras terhadap apa yang kuhirup.
Ya, ini masih dalam konteks bicara pada alam, hujan.
Bahkan tak dapat kutulis sebuah judul baru untuk menghibur pelacur-pelacur yang sedang menunggu para hidung belang.
Masih kutelusuri jalan setapak yang sedikit rapat ini, pengetahuanku tak cukup untuk menyentuhnya lagi.
Lalu kupaksa menulis beberapa huruf sansekerta di jejaring sosial.
Masih saja gagal.

Ketika aku habis, mungkin memang benar-benar habis.
Inikah akhir dari nafasku?
Inikah akhir dari mataku yang akan terpejam selamanya?
Inikah akhir dari tanganku yang telah patah syaraf sastranya?
Inikah akhirat yang kutemui?

Ketika aku habis, aku akan benar-benar mati.
Akan kutinggalkan duniaku perlahan-lahan, sastra.
Tak akan lagi dapat kuukir apa yang kuingin, mereka ingin, dan semua ingin.
Tak dapat kusapa hujanku di kemarau panjang, awanku di mendung petang, bintangku di malam remang.

Ya, mungkin aku telah habis.
Benar-benar habis.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Kamis, 16 Juni 2011

Tonight


Tonight, I feel so lonely.
Miss my little family.
Actually, my little dear, Nur Lailina Rahma.
She will celebrate her birthday at midnight, and she will be seven.

Tonight, I feel so bright.
I’m waiting for the great moon which will come at midnight.
Everyone says that it will be pretty, so much.
Hmm, actually I’m waiting for my rain.
Nearly a month, it didn’t come yet.

Selasa, 14 Juni 2011

Fortunately...

Women always like a handsome man.
Even some of them disagree, they say that a man won’t always looking good because he is handsome.
Yeah, actually, all women may agree the first opinion.
However, how about “Beauty And The Beast”?
Ah, that is a movie, a story.
There is a boy.
Unfortunately, that boy is ugly, and that girl prefers me.
That girl likes a handsome boy.
Fortunately, I do.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

And End...

I think, this is the coldest night I’d ever known.
I think, there is some people who feels as a master.
I think, there is a twenty-five years old woman who likes a smoke very much.
I think, she feels something different in herself such as a great self.
I think, she blows away her smoke and also her problem.
I think, tonight I’ll miss my rain, again.
I think, this is summer, but why does the air so cold?
I think, my Earth is little bit angry.
I think, I have to earn my own air for breath.
I think, I can’t last longer.
I think, my world is end.
End.
And end.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Minggu, 12 Juni 2011

A Photographer and a Poet


Klik, klik, klik!
Yeah, I’m a digital camera.
I’m the best, and absolutely better than an old camera which needs a film.
Nowadays, people like me very much, they called themselves as a photographer.
See the reflection which I made after my photographer has taken some views.
All is great, don’t look others.
Sometimes, I think, my reflection is better than the original one, yap!

Write, write, write!
Yeah, I’m a pen.
I’m the best, and absolutely better than an old ink pen which needs an ink.
Nowadays, people like me very much, especially some poets.
See the poem which I made after my poet has written a romantic and dramatic poem.
All is great, don’t look others.
Sometimes, I think, my poem is better than the master of literary’s poem, yap!

A photographer and a poet.
Female and male.
We like to see them even they have different hobby.
Very different.
The photographer is a newbie, but she can be a master for a long time, just need few seconds.
The poet is a newbie, but he can be a master for a long time, just need few moments.
They believe, it is their hobby, and their future.
A photographer and a poet.
They are in love, each other.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Tweets Make Me Proud


I was still remember that moment, when someone could make me proud.

Rochmad.
He has been my best of the bestfriend whom I'd never met. He is the great boy. He is more than my brother.

Pere.
He has been my master of everything. We had worked together in a band. He inspired me about anything.

Indra.
He has been my crazy bestfriend. He always makes me laugh because of his flat joke.

Diah.
She was my bestfriend since 6 years ago. However, I don't know her now. She looks like a dissapear thing. I’m sure, she will come back to me, later.

Vela.
She was my bestfriend in Junior High School. However, I hadn't met her yet until now. I still remember her quote, “
Aku takkan melepas genggamanku sebelum kau yang melepasnya.

Dion.
He is my neighbour in my hometown. Actually, he is my best neighbour. He is a kind guy.

Femilia.
She was my bestfriend in Senior High School, maybe until now. She shared all her problem to me, and so do I.

Ganang.
He is my inspiration in my college. He is my new friend, my new bestfriend. He likes coffee, and so do I.

Dara.
She is my new friend in my college. Actually, she looks like my sister. I like when I shared all my problem to her.

They are my best, whom I've ever had.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Sabtu, 11 Juni 2011

The King of the Jungle

I’m a lion.
You know, I’m the king of the jungle, nothing can beat me.
I have a great and strong body, which they don’t.
They can’t beat me because they are nothing, they don’t have any strong breath.
Sure, lion is the only one strongest animal.
Wild boar, eagle, snake, piranha, wolf, indeed tiger.
They are loser.
Moreover, they afraid when they are looking into the mirror, see their reflection.
Right!
Especially for tiger.
They are my close friend, very close.
However, they are my close enemy.
They are my archenemy, especially when we hunt some preys.
Tiger is a hypocritical animal.
They make a friend with me because they want my preys.
Oh my God, I forget a little bit thing.
Although I’m the king of the jungle, I’m just an animal.
Human can beat me with their technology.
Ah.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Noodle

I have eaten a fried noodle this morning, before I washed all my clothes.
Actually, she notifies me all the time that I shouldn’t eat noodle at least once for three days.
She told me that I had to afraid because noodle is a fast food.
Which made by all bad chemistry ingredients, and it can broke my antibody.
Sometimes, I don’t think so, I just eat it because I don’t have much money to buy some meals.
Around the world which I haven’t ever going there, I’m just a loser man even I’m a boy.
So, it doesn’t matter if I’m died.
This is about noodle, she said that I would be killed by its.
However, I love noodle.
Yeah, I know she loves me more than I love noodle.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Senin, 06 Juni 2011

Antara Sastrawan, Dokter Hewan, Ahli Hukum, dan Juragan Tambak

Malam ini berwarna, sangat berwarna.
Gemerlap lampu disko berputar berwarna-warni mengelilingi penat jiwa ragaku dalam gumpalan awan hitam, yang siap menantang hujan untuk datang.
Tak pernah absen pula secangkir kopi yang wajib menamparku untuk tetap terjaga.
Dentuman synthesizer dan keyboard yang beraroma disko senantiasa mendegup sesuai detak jantung.
Aku datang berempat, mungkin hanya aku yang merasakan kabut itu.
Kopi, kopi, dan kopi.
Disko, disko, dan disko.
Tak ada kepulan asap, sama sekali.
Kami di antara suara vokal yang semangat.
Di antara sastrawan, dokter hewan, ahli hukum, dan juragan tambak yang mengalir dalam satu cangkir kopi, satu adukan.
Malam ini akan panjang, gelandangan.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Jumat, 03 Juni 2011

"Kopi Atau Mati"


Kopiku sudah dingin, dingin.
Kembung.
Ya, kopi dingin selalu membuat kembung peminumnya, dan aku benci.
Kau tahu itu?
Kau tahu, akulah penggila kopi, namun kopi panas.
Aku tak mau kembung, sakit, dan lain.
Kopiku harus panas.
Kopiku sudah dingin, dan kini aku kembung.
Kembung ini menyerang hati dan perasaanku.
Hanya saja aku masih tetap memaksa berdiri tegak meski mereka injak detak jantungku setiap sepersekian detik.
Beberapa detik yang pernah memaksaku kembung telah kulupakan, kuhapus, kucuci dengan sabun colek di wastafel rumah tua sisa pembakaran massal.
Kutuangkan lagi kopi panasku ke cangkir yang baru, yang kukira akan mengawetkan panasnya tanpa memaksaku membungkuk dan terus membungkuk.
Hingga kembung memaksaku mati, asal tak kudapati kopi ini tertiup embun dingin di kota tetangga.
Bapak di seberang terlihat memaksa kopinya dingin dengan menuangkan ke atas permukaan yang lebih lebar agar kalor yang ada pada kopi lebih cepat menyebar dan bla bla bla seperti ilmu fisika.
Di otakku, hanya kopiku yang terbaik, kopiku yang panas, kopiku atau mati, otak ilmu sastra.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Kamis, 02 Juni 2011

Kaleng Bekas

Kaleng kecil bekas kemasan sarden, sempat menjadi berharga meski rasa sedikit pedas di bumbunya mengiris lidah.
Kaleng kecil bekas kemasan susu kental manis, sempat menjadi berharga meski manisnya tak sepatutnya dinikmati tanpa tambahan air.
Kaleng kecil bekas kemasan cat, sempat menjadi berharga meski kilau warnanya tak permanen melambangkan perasaan pengecatnya.
Kaleng kecil bekas kemasan minuman berkarbonasi, sempat menjadi berharga meski sodanya memaksa perut tercuci seperti kloset berkerak bekas kotoran.
Kaleng kecil bekas kemasan parfum, sempat menjadi berharga meski wanginya tak sejalan dengan karakter pemakainya.
Kaleng kecil bekas kemasan oli pelumas, sempat menjadi berharga meski licin dan pekatnya berhasil mengantarkan rantai besi membantu putaran roda menuju dosa.