NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Selasa, 26 April 2011

Surat Untuk Emak


Emakku yang cantik, aku ingin mengadu.
Mak, hari ini aku gembira, kutemukan atmosfer baru untuk pelapisku dan kini dapat kulindungi makhluk-makhluk yang tinggal di atasku dari mentari asli.
Atmosfer yang awalnya kukira memiliki gas pembunuh untuk makhluk-makhluk ini, namun sedikit dan perlahan sangat kupercaya ia yang akan mengukir gelak tawaku tiap setengah detik.
Mak, hari ini aku puas, kudapatkan sebuah lintasan rotasi baru dan aku cinta.
Bukan lagi sekedar terbit dan tenggelamkan mentari dengan kebiasaan yang hambar, namun terkadang kulakukan hal-hal baru.
Mak, hari ini aku sedikit sakit di ujung rotasi harianku, hal itu lagi.

Sabtu, 23 April 2011

Sampah Pecundang

Mereka berkata, saya adalah tipe tempramental, egois, dan tak mau kalah dalam berpendapat.
Itulah saya.
Hidup di dunia ENDONESA ini keras kawan, jika cuma diam dan diam, penjajah akan berdatangan merampas udara kita untuk bernapas.
Beberapa dari mereka juga berkata saya adalah sampah.
Setidaknya saya memang sampah yang sempat menjadi barang yang berguna.
Anda?
Jangankan sampah.
Anda (yang mengatakan saya sampah) bahkan tak pernah ada di dunia ini.
Berpikir kritis adalah makanan kita untuk tetap konsisten pada pegangan kita.
Sedikit goyah, akan mudah patah.
Karya-karya terburuk adalah milik saya, yang sangat kaku.
Namun, kekakuan karya saya merupakan keakuan karya saya.
Mungkin hari lahir saya pun tak patut dikenang, pun hari mati saya, namun keberadaan saya akan selalu anda kenang, sebagai pecundang.
Dan akhirnya, saya hanya bisa bermimpi untuk menggapainya.
Anda?
Mungkin masih sekedar bermimpi.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Rabu, 20 April 2011

Tentang Hujan II


Lama kutunggu jejak terakhir dari hujan sore itu, di Malang.
Pun telah berpuasa menulis tentangnya sejak kusuguhkan puisiku untuk kupenuhi mimpiku, publikasi.
Kadang, geram ketika motor Revo yang kucinta telah segar bermandikan silikon hingga mengkilap dan keren, kala tiba-tiba ia datang.
Selalu kutunggu hingga ia tak datang, lalu kumandikan Revoku.
Pun sempat berhenti menulis untuk menunggu sebuah keputusan hidup atau mati di kehidupan kelak untuk tercapai sebuah mimpi, namun kandas ketika beberapa penyemangat menyulut api sastra pada rambut kriwulku.
Pun sempat kubelokkan hatiku untuk sebuah kesenangan baru, juga untuk perasaan yang baru, bintang.
Namun tak pernah merasa dapat kuambil napas secara lega, karena selalu tertutup gas-gas nitrogen dari akal pikiran yang tak mau memberi inspirasi.
Sekilas, kambuh.

Jumat, 15 April 2011

Dilema Strata Satu (II)


Hari yang masih awal mulai berputar perlahan, pengenalan satu per satu membuka gerbang kemunafikan.
Saling memasang muka ceria dibalik semua pisau dan pedang yang siap menghunus siapapun saingannya, entah kawan pun lawan.
Sangat meniikmati putaran angin perlahan yang tak memusingkan, dan mereka masih terbuai oleh desiran padang hampa yang dibanjiri debu.
Kini mulai tergambar sebuah perbedaan, bahkan beberapa perkembangan mood yang akan terekam selama beberapa periode.
Mereka suka.
Awal yang indah, tutur beberapa kata dalam wajah jengah.

Dilema Strata Satu (I)


Menyusuri jejak pengenalan pada subuh buta sebelum melangkah dengan berbagai keanehan dan ketidakpentingan yang diwajibkan, konon katanya demi sebuah kedisiplinan dan tanggung jawab.
Memang, namun menyiksa.
Bentakan demi teriakan melengking menggema hingga liur pun tumpah ruah.
Yang tak dapat kutahan adalah emosi karena salah meski tak salah.
Inilah permainan mental.
Tak cukup hanya empat hari yang menyiksa, secara rodi kembali menjalani tiap akhir pekan selama setengah periode penuh.
Namun lagi-lagi aku mengacau, kutebas peraturan yang tertulis dengan darah hitam dari bangkai gagak sore.

Rabu, 13 April 2011

Siapa Lagi yang...?


Saat kunanti hujanku turun, ia memutuskan untuk sendiri.
Jika ingin sendiri, lalu?
Siapa lagi yang mendampingiku?
Siapa lagi yang menghapus air mataku?
Siapa lagi yang mendengar keluh kesahku?
Siapa lagi yang menadah ingus dalam tangisku?
Siapa lagi yang memaksaku memberi makan anakondaku?
Siapa lagi yang menyemangatiku untuk melantunkan melodi dalam hobiku?
Siapa lagi yang memberi arah untuk kutulis puisiku, dan menaruhnya ke meja redaksi?
Siapa lagi yang menuntunku men-dribble bola dengan tangan kananku hingga otot-otot kram?
Siapa lagi yang membersihkan telingaku dengan cutten-bath tanpa jijik?
Siapa lagi yang memotong kuku-kuku liarku hingga bersih tanpa perih?
Siapa lagi yang menjagaku dari segala iman serta taqwa pada-Nya?
Siapa lagi yang dapat kunikmati senyumnya yang satu?
Siapa lagi yang membiusku hingga paham arti cinta?
Siapa lagi yang menghapus gundahku?
Siapa lagi yang menyayangiku?
Dan, aku tak temukan.
Kau, hanya satu.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Selasa, 12 April 2011

Maaf

Lagi.
Bermula dari malam itu, aku menangis.
Ia pun.
Lalu saat pagi menyambut, kurasa teracuh olehnya meski terseok-seok kulangkahkan menuju kewajiban hari ini.
Kutengok, masih acuh.
Salah.
Ia menilaiku yang acuh, acuh pada segala hal yang ia telan mentah-mentah seperti kapsul obat yang ia benci menelannya kecuali dengan pisang.
Ia menangis, menangis, menangis.

Senin, 11 April 2011

Belum Terturut untuk Prioritas

Masih menjelang sebuah petang yang tak pernah absen mengundang hujan meski hanya serintik.
Hampir tak pernah sanggup keluar untuk sekedar hang-out atau bahkan membeli sepincuk makan.
Anehnya, di tengah dingin kota dan kadang deras hujan, masih menetes beberapa helai daun keringat yang entah berasal dari sumber mata air mana.
Kusapu dengan handuk kecil.
Masih saja menetes dan mulai terasa gerah dengan hari ini, bukan, bukan gerah.
Aku masih melongo dan bisu saat kusadar bahwa aku selalu bermimpi tentang kegagalan.
Masih gagal, dan masih gagal.
Hempasan angin dan cahaya bintang yang bersembunyi di balik mendung pun mengangkat pundak, memberi tanda bahwa mereka pun tak paham.
Lalu, siapa lagi?

Sabtu, 09 April 2011

Anaconda

Siang yang masih ditemani hujan meski harusnya telah berganti halaman menjadi bab kemarau.
Tertahan pada titik jenuh dan lapar setelah setengah dekade tak tersentuh bahkan secerca kerupuk pun, meronta dan merintih.
“Pak Presiden Yang Terhormat, beri kami makan, dong!”
Sempat terbatin dalam selingan angin yang bersepoi sejak terjatuhnya rintik hujan pertama pukul separuh penghujung.
Telah memutar list musik dengan genre yang tak terhentikan, mungkin tak dapat terdengar dengan fasih, hard rock dan underground.

Tatanan Takdir

Dan secangkir kopi legam membohongi malamku, seakan memaksaku tidur seraya menancapkan pedang kemunafikan yang berkilau berlian.
Aku menampik lepek yang disodorkan paksa padaku, berontak, teriak pada kesunyian.
Telah kutata rapi garis takdirku sejalan dengan alam, pun sesuai syarat yang dibenarkan oleh Presiden kami, yang konon ingin memberantas korupsi.
Ah, ternyata lagi-lagi bercecer hirau juga tak tertuang indah dalam cangkirku dengan hiasan choco granule yang membentuk daun jeruk seperti tiap pagi.
Apa ini, apa?

"Don't Ignore Ourselves!"

Sangat letih kala lagi dan lagi tersakiti oleh runtuhan gedung bekas banjir di Depok tengah malam sesaat, megap-megap berusaha meraih udara sempit di antara air keruh yang meluber dari sungai Tangerang Selatan.
Entah berantah dentuman gempa pengiringnya selalu menghias ukiran apapun yang berornamen khas Tionghoa, lalu terdapat mix dengan bentuk Jawa kuno.
Belum pernah gas radiasi nuklir berhenti mencabik kulit hingga cacat permanen dan mulai teriak.
“Jangan acuhkan diri kami!”
Itu yang terdengar sayup saat tak mau disakiti namun masih menyakiti dengan aliran ombak deras yang harusnya tak mengalir di kemarau ini.
Bukan, ini masih penghujan, lebat.
Dilema apa yang dapat ditulis dengan tinta darah yang disobeknya justru dari telunjuk itu, penunjuk.
Memulai untuk merangkai kata dan memaksa secerca puisi dengan warna merah gelap penanda darah kotor.
Hari ini masih sangat sakit!
Ya terombang-ambing kembali dengan teriakan para korban yang bukan koma.
“Jangan acuhkan diri kami!”
“Kami sakit, tersakiti, dan tidak perlu!”
Itu teriakan.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Revolusi

Sangat kuingat kapan kuletakkan sandal terakhirku sejak kubangun rumah-rumahan dari pasir pantai, lalu kutuliskan huruf “U” dan huruf “B” pada bagian depan, atas, tengahnya.
Siang itu sangat riang dalam perih, segar dalam haus, penuh dalam dangkal.
Segala yang kurasa adalah kemunafikan pancaran matahari yang memaksa bintang terkalahkan olehnya di saat teriknya dengan santai bersimpuh dan merokok.
Asapnya pun mulai mengikis lapisan atmosfer yang kian dan kian memupus.

Nasi Krengsengan dan Secangkir Kopi


Tentang saudara muda padi yang menggunung saat itu di atas wadah cekung bukan wajan, terantar ke meja yang sudah kududuki beberapa abad yang lalu.
Sedikit mencuri jatah yang harusnya untuk dua kali mengisi napsu dalam dua puluh empat jam.
Ya, air coklat berbau brambang dengan potongan sang penghasil susu dan telah matang dengan kenyal menghias di atas, bermerah pedas juga tertata di samping sendok.
Harus kukocek tujuh ribu lima ratus rupiah, mahal untukku, namun tak pernah menyesal.
Lalu satu lagi, wadah cawan kecil dengan cairan hasil larutnya bubuk hitam yang menyakitkan para gundah mania.
Pahit.
Tak pernah berhenti untuk mencintai mereka.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Dogma

Aku belajar tentang sebuah aturan, bagi hidup, hukum, dan lainnya.
Memang tak mudah bagiku dan telah kutoreh beberapa (dan banyak) salah serta dosa sejak kusebut akil baligh hingga saat masih kuhembus nafas secara gratis.
Sangat tak terdeteksi bahkan aku buta untuk melihatnya secara mata yang tersiram air mendidih dari panasnya lumpur Lapindo yang memanggang beberapa kampung di Porong.
Ya, aku masih tak temukan dosa apa yang telah kubayar.
Lalu kutanya pada seorang Ganang yang kusebut rekan kuliah, apa itu dosa?
Dijawabnya dengan suguhan secangkir kopi (lagi dan lagi) yang pahit, oh mungkin sedikit manis karena kulihat seorang Ajeng di seberang menara itu.

Senyap

Senyap menyergap namun tak kunjung terlelap karena tertutup awan gelap yang memaksa mata terjaga tak sekejap, lalu menyita angin hingga gemerlap bulan tak berucap.
Kau tahu?
Bintang sedang terperangkap dan aku tak bisa terlelap dalam gelap.
Dan ketika surya mulai mengerling, mengintip di balik fajar pun mataku akan tetap terjaga sampai kutemui sebuah jawaban dari harapku.
Aku bahkan tak percaya sang surya akan datang esok!
Awan terlalu pekat, mungkin sampai esok pun tetap gelap.
Adakah jawab untuk harap yang tak terungkap, untuk harap yang maya, untuk harap yang bahkan tak mampu kuceritakan saat terang, terlebih lagi saat pekat?

Supermoon


Malam itu mereka menanti sebuah fenomena.
Mungkin cantik bagi mereka, dan sangat dipuja oleh khalayak tanpa berpola pandang.
Benda angkasa pun siap terbunuh oleh popularitas datangnya, mungkin akan sedikit (atau mungkin banyak) menguras emosi untuk cemburu buta.
Bersiap menghunus pedang kedzaliman agar saling bertahan, yang mereka sebut seleksi alam, ya, yang kuatlah yang menang, dan raja.
Masih terdiam lalu menunggu, mereka bertengadah pukul tujuh petang.
Hujan merintik, dan mereka kecewa karena bintang tak tertangkap kasat mata dan yang mereka tunggu tak akan datang.

Mereka Temukan Aku

Subuh, memang telah lama.
Tak bosan tertulis dengan tinta yang masih kusimpan meski memudar oleh angin badai tsunami dan mencerca tangan kanan.
Kutelan secangkir susu hangat coklat yang penuh mimpi, sebuah ingin untuk kugapai daun kelor bertulisan sesuatu tentang sebuah puisi, beberapa.
Fajar itu aku terlelap dalam jaga, menutup segala kantuk yang harusnya menampar liburku dan aku mulai menderu, berkecimpung dalam terobosan baru.
Memang masih bernyali serigala kecil tanpa insting baja seperti induknya, namun masih mengejar mangsa kecil yang sederhana guna berlatih.

Kesendirianku

Sepi..
Sendiri..
Tak ada yang menemani..
Tanpamu di sini.
Di manakah kau berada?
Di sini aku menanti.
Tak tahu kapan berakhir..
Rasa yang tak pasti seperti ini.

(Fahmi Rachman Ibrahim, Diah Pramudyah Wardhani, 2011)