NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Selasa, 29 November 2011

Ini Sudah Pagi, kan?

Pagi itu aku masih buta. Harusnya ketika terbangun, dapat kuhirup aroma gerimis fajar yang menyepoi tanah liat dengan segar. Aku telah belajar mencintai malam dengan segala usahaku. Nyatanya malam masih kejam dan menghinaku di depan berjuta kunang-kunang. Tentu, ini mengubah faktaku bahwa aku tidak benci malam, aku semakin benci malam.

Menggeliat kesakitan di antara subuh tanpa tangis sepi jalanan yang basah oleh air mata nista para budak-budak trotoar. Aku terjerembab pada permainan yang kugambarkan sendiri rancangannya di dinding kamarku. Ya, kugambarkan rancangan itu dengan spidol fosfor agar tak mudah terlihat oleh mata telanjang.

Aku masih mengantuk. Aku pura-pura. Pagiku hambar. Ini sudah pagi, kan?


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Minggu, 27 November 2011

Titik Lebur Air Mata

Jadi, ini hari burukmu, ya?

Pasti karena aku melantunkan lagu kematian di tiap desir telingamu

Atau karena aku rajin menyapu gembiramu dan membuangnya ke tong sampah?

Mungkin sedikit olesan emosi yang kamu tuangkan dalam madu pagimu

Itu yang sedikit mematikan jera yang kamu rasakan

Ya, jera


Ini pasti hari burukmu

Bisa aku melihatnya dalam tiap detik jalanmu

Pagi

Siang

Sore

Malam


Aku sangat yakin

Ini hari burukmu

Kamu melipat segala senyum di tiap detil tubuhmu

Embun pagi

Matahari siang

Venus sore

Bulan petang

Bintang malam

Ya, di tiap satu momenmu, kamu melenguh sakit


Tapi hanya malam ini, aku bisa merasakan indahnya ungkapanmu

Indah, karena tak pernah semudah biasanya untuk kudapat

Indah, menanti sepanjang hari untuk keluarkan hibahnya

Indah sekali


Hari burukmu,ya?

Dan hari ini aku mulai belajar mencintai malam


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Sabtu, 26 November 2011

Kelu

Air

Tak kutemukan lagi hujan tiga hari

Tak kuminum pula ronggokan mimpi dalam sepi

Luluh dalam peluh yang melebur dengan dubur

Pembunuh dengan asap-asap meresap hinggap pada lembab


Air

Pada subuh aku meronta dingin

Jenuh untuk penat yang merenggut senyap kelu

Aku tersiram pada deburan sinar mata

Jubah putih penutup tepi jurang merangsang gendang


Terkulai terkapar gempar pada hambar maghrib

Tetap kutatap jauh ke dalam sorot juangnya yang siap menerkam

Terkam cinta pada tinta kelam


Rajin menggetar jiwa hingga luluh lantah terlintah hina lalu sepi

Lagi

Sepi

Dan malam

Untuk guratan air dalam kendi yang segar

Beraroma batu patung candi benak sang pemimpi

Malam masih kelam


Aku masih cinta

Meski aku terjebak dalam beku

Meski aku bergetar dalam angin

Aku dingin


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Sedang Stres

Setengah sepuluh pagi.

Fly over.

Operasi.

Tertangkap basah.

STNK direnggut.

Tilang.


Stres.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Selasa, 22 November 2011

Hermeneutika

Harus dijelaskan, ya?

Seberapa dominan rasaku pada embun, seberapa luas lautku untuk pagi?

Harus diteliti, ya?

Seberapa dalam hatiku untuk matahari dhuha, seberapa tinggi pandanganku pada sinarmu?


Semua tak perlu kujabarkan hingga terkemuka beberapa rumus tak penting

Ketika lidah kelu menyapa angin sepoi

Saat itu embun sedang cacat, ia datang dengan pincang lalu tumpang

Tenggelam di antara titik-titik gerimis dingin yang memusingkan ubun-ubun


Lalu masih perlukah untuk kujelaskan naskah di atas penelitian?

Haruskah kujelaskan lagi?

Aku cinta kamu

Titik

Tidak ada penjelasan lagi


PS: Mungkin kausebut rabu itu kulupakan. Namun tak pernah kulupakan di tiap kamis pagi itu, kita.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Senin, 21 November 2011

Ini Sudah Pagi

Eh, ini jam berapa?

Mataku mulai bosan terlalu lama terpejam

Mataku ingin menghirup sejuknya embun

Mataku ingin sadar dan terbuka

Mataku tak pernah ingin mandi gelap malam yang mereka sebut kelam

Mataku jenuh pada beku malam yang sok tahu

Mataku tak mungkin terjaga lagi untuk jurang-jurang mimpi

Mataku bukan hina

Mataku...

Ini sudah pagi...


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Minggu, 20 November 2011

Aku Benci Malam


Aku benci malam, tak sepertimu

Kamu bilang malam itu indah, dingin, romantis

Nyatanya, malam itu busuk, kejam, dan seenaknya sendiri

Malam yang memisahkan matahari dan embun pagi,

malam yang menghapus relief langit tanpa gundah dengan balutan awan putih,

malam itu kejam, ya?


Malam selalu datang dan menjadi larut, mengusir aku dari pelataran rumah kosmu

Aku tak pernah ingin berhenti menyentuh lantainya, di atas trotoar itu

Menyilangkan kaki-kakiku di antara kakimu,

menafsirkan malam dengan tabu dan tak lazim

Mengkritik tiap detil mata memandang malam yang gelap dan busuk, siap menerkam

Memang pantas dikritik, malam memang pantas


Aku benci malam, yang selalu mengkonversikan geliat tawa bahagiaku menjadi gurat sedih dan kecewa saat memisahkan senyummu dari pupilku

Aku tak pernah suka malam, gelap dan mendung, meski tetap dihuni bintang

Malam itu kejam


Aku benci malam

Aku cinta kamu

Aku benci mencintai malam, dan kamu

Mencintaimu menggilakan aku, membutakan aku

Aku buta

Aku cinta


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Kamis, 17 November 2011

Dan Embun


Matahari pagi

Pagi ini ingin kupeluk dengan napas hangat di antara para embun

Meski mereka menerobos di sela-sela jendela yang masih tertutup rapat

Suara keras pejantan-pejantan ayam bersahutan membangunkan alam, bahwa dunia masih milikku, dan kamu

Masih dalam konteks kesegaran embun, bukan kebekuan lagi

Kamu ada di antara embun, lalu secercah sinar dari matahari menerobos lalu meruntuhkan beku yang telah kadaluarsa, aku siap menyambut langit

Meski yang datang beberapa gerimis sepi dengan campuran air hitam kelam

Ya, aku matahari

Lalu kamu embun

Aku menghangatkan pagimu

Kamu menyejukkan pagiku


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Jumat, 11 November 2011

11-11-11...?

Spesial?

Pakai telur?

Tidak?

Lalu apa yang spesial di hari ini?

Tanggalnya?

Atau karena cantik?

Atau karena kembar?

Bisa menghasilkan uang untuk makan saya sehari-hari?

Tidak juga?


Ah, hari ini ternyata lebih buruk..


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Kamis, 10 November 2011

Mata (Masa) Lalu


Sore ini aku terpukau, menatap jauh ke dalam matanya

hingga tak berkedip nol koma sekian detik pun

hanya agar tak kehilangan sepeser cahaya pun dari sorotnya

Jauh, kutikam jauh ke dalam matanya

dan tak kulewatkan sejengkal jari pun agar tak tertinggal

oleh mimpinya, cintanya padaku


Juga kuraup beberapa aroma parfumnya yang memaksaku

terpikat pada sepi, tergetar oleh anggunnya senja

Sengaja kuletakkan parfumku sejenis dengannya,

Maksudnya memang agar kami terlihat match satu sama lain

Rabu, 09 November 2011

Delapan Bintang


Malam itu gerimis setia menyapa beku untuk selalu (dan masih) menampar aku

Pada embun, awan tak bergeming sepi dan berkedip

Hujan yang mendominasi gundah malamku seakan mematikan rasa lelah

Harusnya malam ini


Ya, malam ini

Malam dengan segala penyambutan hebat di antara bintang dan bintang

Bintang

Bukan hujan!

Bukan hujan lagi yang selalu kausebut aku mencintainya, ini bintang!

Sekitar delapan kali kuulang pengucapan mantra pada langit

Berharap lebih untuk semua kabut agar segera beranjak dari selimut malam

Lalu tersingkirkan oleh rasi-rasi bintang yang harusnya datang

Malam ini


Sengaja kubuai guntur agar tak mendengar rintihan pelacur malam

Aku bangun, atas mimpi-mimpi yang lama kugantung di kamar mandi

Kubiar hingga mengembun busuk di samping air lusuh

Saat mencoba untuk meraih kembali, sedikit telah luntur dari genggaman

Tidak, ini masih mimpiku


Tak pernah aku hapuskan gelap dengan paksa

Hanya karena aku terlalu membara, bersemangat menampik gerimis

Hanya untuk merangkai bintang menjadi mimpiku, nyata

Ini nyata, aku dan bintang nyata

Kami nyata


Aku bahagia, gundah terusik dari mimpi dengan penat yang pergi berlalu karena bosan

Aku berhasil

Kugubah malam tanpa angin dingin

Lalu kurangkai lagi bintang ini, delapan


#8thjrocks1spirit


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Minggu, 06 November 2011

Dia Tak Pantas Untuk Aku


Ketika sebutir sampah (tak perlu kugambarkan cirinya, kau pasti paham bagaimana busuknya) berdiri tegak di samping bunga melati putih dengan harum yang luar biasa.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Jumat, 04 November 2011

Merdeka

Indonesia

Negeriku yang merdeka

Katanya merdeka

Bahkan kami tak mengerti arti merdeka seperti apa

Merdeka itu apa?

Bisa tolong kalian jelaskan padaku, apa itu MERDEKA?


Merdeka untuk mati, bukan mati untuk merdeka

Merdeka untuk makan apapun

Merdeka untuk minum apapun

Merdeka lalu tertawa, tanpa pertahankan mata?

Merdeka itu apa?

Atau tentang kematian saat pembelaan harga diri?

Aku ingin merdeka


Merdeka untuk korupsi

Merdeka untuk memperkosa

Merdeka untuk kolusi

Merdeka nepotisme

Merdeka berkhianat

Merdeka telanjang di depan umum

Merdeka menghamili paksa

Merdeka menghirup nikotin

Merdeka sakaw


Yang malam ini kulihat, banyak lampu gemintang

Lampu-lampu itu membunuh arti merdekaku

Yang awalnya kuterka, merdeka itu gelap dari pahala

Penuh lari dari merah darah, putih tulang, seperti kata mereka

Degup jantung semangat rebut kebebasan telah hilang


Berarti, merdeka itu maksiat?

Lalu, mengapa berbeda dengan di kitabku?

Aku masih berjalan di tengah mimpi, lalu mati

Ini sudah merdeka?

Aku belum merasa bebas sama sekali

Tolong, bisakah kalian tunjukkan, tunjukkan padaku!

Apa itu merdeka?


Semua serba merdeka, Indonesia merdeka!

Oooo.. Kami paham, merdeka itu bebas, bukan?

Bebas! Semua bebas memakan negerinya sendiri

Matahari sangat akrab memberi peluh

Kami meminum keringat kami, kurang, kurang air minum

Semua tercemar

Inikah negeriku yang kaya?

Kaya utang? Kaya korupsi? Kaya pornografi?


Lalu apa yang harus kami banggakan?

Banyak tamu datang, kami malu, malu!

Kami malu atas kekotoran yang terjadi di pakaian kami

Atas noda-noda sampah ciptaan dari pemaksa

Tapi kami menunggu,

Kami masih menunggu tanpa tahu kapan datangnya titik itu

Kau, kami, kita adalah yang harus mengubahnya, mengubah makna merdeka itu

Itu kau


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Terakhir


(Mengertilah, R)

Mungkin aku sedang bersalah pada bulan. Kubual dia hingga membangkang ketika malam harus datang. Atau, dia membuali aku yang terpaksa menurut pada malam? Hai bintang, jatuhkan bidadarimu agar aku tak bimbang dalam memilih jalan! Aku telah mengantongi sebuah bintang pijar untuk menuntun jalanku di tiap terjal langkah, untuk menamparku halus saat aku tersandung. Harusnya menolong, mengapa menampar? Oh, mungkin harus jauh lebih mempertegas.

Kupikir ini memang pilihanku, yang jauh terbaik untuk bekal dalam jalanku lurus ke depan. Juga pernah dibisikkan padaku jangan sekali-sekali menoleh ke belakang. Berjalan harus menatap depan, agar tak terjatuh jika tersandung dan terganjal batu dunia. Segala yang membunuh kelu lidahku juga sempat (selalu) dibersihkannya dengan telaten dan tanpa pamrih. Atau aku yang kurang peduli? Lalu apa yang harus kulihat?

Sayang, aku selalu paham apa yang kautasbihkan hanya untuk perlakuan terbaikku. Kaujaga api kecil yang menyalai lilin ini, terang (sedikit) dalam gelap pekat dan angin semilir beku yang meleburkan pompa nadi biru. Sayang, aku tak paham apa yang telah kuiriskan pada lehermu, hingga kau tak lagi bernapas dengan lancar, bibir merahmu membiru kelu tak berucap satu patah pun. Lalu kau berbalik dan menjauh dari mataku. Hey, harusnya jalanmu ke arahku, ke arah yang sama denganku. Kau salah jalan, sayang, kemari dan tuntun aku kembali. Aku, aku sedikit (selalu) rindu pada tuntunmu yang mendorongku menghindar dari lubang jerami di tengah rawa.

Mengapa tetap tak kaupalingkan wajahmu menghadap aku? Ini aku yang merindumu, aku rindu! Mungkin akan sedikit terasa hilang, namun selalu tak bisa (karena aku tak mau) hapuskan jauh-jauh hari yang penuh arti, tentang perjalanan kita. Lalu di mana saja partikel yang pernah kaurawatkan untuk aku? Haruskah kau buang juga di tempat sampah? Aku telah akrab dengan sampah, bau busuknya sangat wangi kuhirup (tanpa terpaksa) di tengah keringat busuk petinggi negara. Aku telah terbiasa, atau aku telah cinta? Sayang, kembalilah!

Aku cinta, kita telah bertemu. Lama. Seperti dulu.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Rabu, 02 November 2011

500 Detik

Jadi, 500 detik itu berharga sekali

Malam ini, lagi-lagi menabrak pandangannya,

memaksanya untuk kuat melihat serta meraih cahaya mata itu

Meski sebelumnya tak pernah nyata dan selalu sementara


Di 20 detik pertama,

memang belum terlihat apapun, masih belum berubah sedikit pun

Wajahnya tetap seperti apa yang kusuka

Senyumnya?

Sama, masih seperti yang kusuka


Di 80 detik kedua,

lalu kucoba bereksperimen

Kubayangkan guratannya itu orang lain

Gagal

Ia tetap masih sama

Tetap sama

Bahkan sorot itu tak pernah bisa terwakili


Menjelang 500 detik,

ia mulai panik

Alibinya, ia takut aku lelah,

lelah menghadapi apa yang kutantangkan pada dunia

Ia terlihat melemah, seperti biasa,


telah berpijak tepat di detik ke-500, ia sudahi

inilah angka terbesarnya

Katanya,

ia akan bisa lebih lama lagi

Benar atau tidak, aku tetap gila malam ini

karena senyumnya

hingga di detik ke-500


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Seperti Embun, Seperti Matahari

“Kita seperti embun dan matahari, aku menyejukkanmu dan kamu menghangatkan aku. Tidak ada pagi yang cerah tanpa kita.”


Aku mencintaimu, embun

Pagi buta, kaucuri start di saat semua sedang lelap

Telah berkeliaran membasahi daun-daun malam

Menjaga tidur budak-budak bangsa, mungkin mencoba hapus lelah mereka

Bekukan air mata bekas tangis derita penyesalan semalam

Aku rindu Ibu, juga rindu betapa panasnya tempat lahirku

Embun,

Bedakan cuaca dengan tempat lahirku

Embun beku tak lagi sekadar sejuk lalu mematikanku dengan satu rasa

Cinta


Kau mencintaiku, matahari

Seperti pelumpuh dingin di gelap fajar, di tengah subuh saat kaubasuh air wudhu

Setengah dari pagi ini kauhangatkan dengan api besar yang tak tampak hebat

Ya, sangat remeh dan terlihat setitik kuman dari tempat kita berdiri

Jangan remehkan!

Coba saja menatapnya mata telanjang, tak kujamin matamu bertahan hidup-hidup

Segala yang tercipta tumbuh darinya, matahari

Kita berhenti melangkah jika matahari tak berkobar dengan lantang

Matahari,

Aku rindu

Hangat pelumpuh beku tak pernah gagal menorehkan satu rasa

Cinta


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)