NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Senin, 30 April 2012

Geregetan

dan..

H  A  S  H  !


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Fals


Pagi
Masih setengah nyawa yang terkumpul
Ini sudah pagi
Seperti yang pernah kutulis beberapa jam yang lalu, pagi
Sudah sedikit naik ke penjuru langit-langit setelah aku tunaikan sholat subuh
Ini masih pagi
Aku hirup semuanya, semua spirit yang mungkin aku rasakan karena ini sudah pagi
Aku sedang rindu
Kepada dia yang sering kusebut embun dan embun
Di sini tak kutemuinya, panas, lembab, dan seperti asing meski harusnya familier
Aku rindu dia
Kepada dia yang kunamai embun
Kepada dia yang kuanalogikan embun
Embun
Bukan batu kapur

Pernah kuminum secangkir kopi hitam (seperti biasa) buatan ibu tadi malam
Iya, harusnya itu yang kupakai untuk begadang dan mengerjakan tugas negara
Nyatanya terabaikan hingga pagi ini
Rasanya sudah beda
Pagi
Ini sudah pagi
Ini masih tentang pagi, seperti yang pernah kutuliskan saat itu
Tentang rinduku pada embun
Embun
Bukan batu kapur

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Jumat, 20 April 2012

Pesimistis


Aku tak ingin bermimpi lagi. Ah, buat apa aku bermimpi jika hanya untuk maya?
Iya, maya dan selalu menghilang.
Buat apa aku menggambar rencana jika hanya untuk gagal?
Iya, gagal dan selalu lenyap.
Dan sekali lagi, buat apa aku berkeinginan jika hanya untuk PATAH?
Iya! Aku sudah patah berkali-kali.

Buat apa aku menata semuanya? Lalu buat apa?
Kamu! Ya, itu alasanku untuk lanjutkan jalan di tempat ini
dengan semua guratan-guratan batin yang aku tulis sendiri di
tangan nadi.
Aku sedang sakit.

Dan kepada embun, aku kembali mengeluh
karena rindu pada lubang waktu
yang dulu aku siapkan.
Aku rindu tatapan mata malu-malu itu.

Ah...

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Jumat, 06 April 2012

Lilin Kecil

Patah.

Aku tak pernah tahu jika aku adalah lilin kecil yang mereka nyalakan saat listrik mati. Aku tak pernah tahu jika saat itu mereka membakar tubuhku perlahan, lalu menyalakan salah satu temanku yang lain untuk menggantikan aku. Iya, mereka dengan mudah membakar aku dan kami seperti jongos-jongos keluarga elit yang sengaja membakar sampah jika tukang pengambilnya sedang absen karena pura-pura sakit, biasa, sedang malas.

Aku pernah menulis tentang aku bahwa aku adalah sampah, aku adalah sampah, dan aku adalah sebongkah sampah yang tercecer dari truk pengangkut dan diinjak-injak roda-roda itu.

Haruskah aku tekankan lagi? Aku ini sampah! Atau setangkai lilin kecil yang sedang menyala dan tersisa 3/4 bagian saja? Sama sajalah, yang penting aku adalah yang mereka sisihkan, yang mereka pejamkan, yang mereka injak-injak serta jambak-jambak rambutnya.

Aku adalah serpihan-serpihan mimpi yang telah robek satu-per-satu karenanya, ya! Ia telah merobeknya! Aku telah menyerpih, syukurnya adalah karena aku masih bersisa. Sekarang aku menyusun serpihan sampah-sampah dan limbah-limbah lilin itu, aku telah hangus.

Aku pernah punya mimpi, ya, sebelum mereka bakar karena mereka butuh penerangan itu. Aku pernah punya, aku sedikit lupa di mana pernah kutata harapan-harapan itu dengan rapi, kususun berdasarkan abjad-abjad tetesan air mata. Aku pernah punya mimpi, sebelum aku menjadi sebingkai luka dari lilin yang telah terpatah-patah, lalu mati.

Saat itu, aku telah ia miliki. Penuh. Dalam hatinya, aku patah.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Rabu, 04 April 2012

Mosaik

Aku ini siapa? Masihkah aku tetap sama?

Sama dengan aku yang masih sampah dan bekas

Sama dengan aku ketika masih tak berpakaian dalam dan berdiri di tepi mimpi

Sama dengan mereka di rumah lonte yang menjajakan keperawanannya

Apa aku (masih) sama?


Aku ini siapa? Aku kehilangan aku

Kehilangan ke mana aku bermimpi

Ketika itu aku mengadu pada palang tebing, aku rindu sore

Di tengah peraduan tenggelam matahari pukul enam petang

Di sana aku masih mengais puntung-puntung harapan yang pernah aku gambarkan

Memanfaatkan celana dalam bekas darah menstruasi pekerja seks yang memaksa bekerja

Aku ini (masih) siapa?


Aku rindu

Di alam baru itu, aku membaca pelangi-pelangi yang lebih berfragmen

Di sini lebih bermosaik

Ah, aku tetap aku

Harusnya aku tetap aku

Patahkan aku

Silakan


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Minggu, 01 April 2012

Kalian dan De Javu


Kepada rakyat, kalian beraksi

Merogoh dan merampas yang mereka tinggikan, yang mereka mahalkan

Bukan! Kalian yang membuatnya melambung, kata mereka begitu

Ini tentang kesejajaran dan kesetaraan seperti paparan kalian

Tentang ketinggian rumah sementara hasil uang kami, kata mereka begitu

Lalu apa yang kami tagih? Apa yang ingin kami bantai? Kalian?


Kami rakyat, seperti dari mana kalian berasal dulu, dulu sekali, sebelum dompet kalian jauh lebih tebal dari malam ini

Uang? Mungkin juga banyak kartu-kartu gesek hasil utang negara

Kepada air mata peluh keringat yang kami peras, kalian kreditkan panci-panci stainless steel

Ini tentang apa? Kami bosan berkeringat berteriak menangiskan kepentingan golongan kami

Hmm? Golongan kami?


Ya, golongan kami, bukan semua rakyat, karena mereka bukan golongan kami

Kami rakyat, kami bukan rakyat bebas lepas, kami punya golongan yang mengikat ekor kami

Mengapa kami diikat? Katanya, agar tak lepas kendali saat ingin berekspresi, agar tak labil saat ingin mengambil

Mungkin bukan diikat, kami diwadahi


Kami dijanjikan, kami akan berorasi di depan wakil kami, mmm, namanya apa? Wakil rakyat?

Kami bergolongan

Yang kami teriakkan adalah untuk golongan kami, untuk membesarkan nama kami, ya, setidaknya ada dua per tiga bagian dari teriakan kami adalah untuk rakyat, itu juga setengahnya ikhlas


Orasi yang berisi aksi, orasi yang kata kalian tidak berisi

Memang, saat kalian berstatus sebagai kami, kalian lakukan hal serupa

Berdiri berdesakhimpitan, kepalkan tangan kanan meninju langit, tetes peluh yang mengalir bermerah legam

Seperti itulah kalian, ah, tapi itu sangat dulu, dulu sekali


Kalian sekarang sudah berkemeja, berdasi, juga berjas, dengan Blackberry yang setiap tiga detik berbunyi “ting tung ting tung...” saat paripurna, hahaha...

Diam! Aku malu!

Kalian sudah dipilih,

Ah bukan, kalian yang memaksa kami memilih, dengan iming-iming uang dua puluh ribu perak jika kami memilih, juga minyak goreng, pasta gigi, sabun colek, botol air mineral, semua dipenuhi wajah kalian yang harus kami pilih

Mau memaksa? Atau memang kalian ingin berpartisipasi duduk di ruang panas itu? Sebut saja ruang perdebatan

Yang kalian tangguhkan adalah bahu-bahu itu, nafas-nafas busuk yang menuliskan keribaan


Ya, kalian sudah lupa bagaimana di posisi kami dulu, kan?

Uang berkata!

Kepada kami, seperti masa lalu kalian, aparat-aparat itu mendobrak tubuh kami dengan tank-tank bersenjata


Sudahlah, lupakan saja

Itu hanya masa lalu kalian yang detik ini terlupakan, mungkin tersisihkan

Itu masa lalu kalian sebagai rakyat

Itu juga masa lalu kami, sebelum kami pun terpilih di jajaran kalian sampai saat ini

Ya, kami juga kalian, yang dipaksa mereka untuk keluar

Mereka, rakyat

Masa lalu kita


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)