NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Kamis, 27 Januari 2011

Buta oleh Awan Hitam

Ya, kurasa ini adalah ungkapan yang tepat.
Lalu kubuka buku ini dan mulai menulis.
Kosong dan buta, sebersit awan hitam lalu membungkam anganku.
Sempat kupetik seonggok dahan kecewa, namun akhirnya kupatahkannya.
Pohon harapan tersentak, lalu marah!
Kucoba berkata dengan angin sepoi, namun sedikit teriakan seakan membuat angin marah.
Kuberteriak agar kukalahkan gemuruh badai yang menghabisi suara parau mulutku.
Namun terlanjur marah, kecewa.
Aku semakin buta dalam terang jiwanya, harapan kosong yang telah kurapuhkan asanya.
Telah kugagalkan sebuah rintikan gerimis, namun itu bukan sebuah kebenaran, dan aku semakin buta.
Kuraba lantai yang harusnya aku dapat melihat, tak sanggup karena mata tertutup bongkahan awan hitam yang sesekali membunyikan guntur kecil.
Keadaan mereda, aku pun bangkit, namun tetap buta.
Dan angin menyapu tubuh saat aku lengah, lalu terkapar.
Lalu aku berpikir, inilah penyesalan, inilah salah.
Telah kuhancurkan harapan itu.
Yang terpikir olehku, kutanam kembali sebuah pohon baru, lalu kusiram dengan air hujan tanpa kutunggu kapan pun hujan akan datang.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Selasa, 25 Januari 2011

Akulah Gundah

Aku gundah.
Kupetik sebuah kesalahan dari ranting kesayangannya.
Pernah kuukir sebuah senyum indah, dan itulah caraku mencintainya.
Kurusak segalanya dengan sebilah pedang dusta, lalu aku tenggelam dalam perubahan jiwa.
Tangisnya tak dapat menggapai dan kembalikan asaku.
Tersesal dan tertatih aku melangkah, matahari meredup saat kuseka air matanya.
Aku kehilangan terangnya, segalanya.

Senin, 24 Januari 2011

Renungan Sebuah Kehilangan

Malam ini aku tersungkur, jauh ke dalam jurang kesalahan.
Tangan pedih mencoba meraih permukaan dan ingin bebas dari segala kepahitan batin.
Lalu hujan menyerbuku, mendorong hingga semakin terperosok dalam kesakitan.
Tangis dan jerit hati telah membisu.
Di antara perihnya langkah, aku kembali menuju yang lalu.

Sabtu, 22 Januari 2011

Inilah Pilihan

Hari ini kucoba menulis sebuah perbedaan, mungkin sebuah pilihan.
Bibir tergetar, mengering karena hembusan angin gersang yang membawa debu kesakitan.
Kubasuh wajah dengan air suci, hanya untuk mencari sebuah kedamaian di antara galau yang membantai lumbung tenaga.
Aku terpelanting, terjatuh.
Lalu kucoba bangkit, menggapai sebuah pengorbanan yang berujung kebohongan.
Berlari di antara langit kedurhakaan, hingga terlontar sebuah kutukan kelam.
Gentar, aku terdiam.

Jumat, 21 Januari 2011

Mungkin?

Aku menghela nafas lalu terduduk.
Segalanya mulai meredup, lalu mati.
Tangan dinginku bergetar mengikuti dentuman jantung perlahan, namun semakin berlari kencang tak tentu arah.
Aroma kebencian terhembus saat kupicingkan mata agar sebuah cahaya yang tiba-tiba datang tak menghancurkan kelopakku.
Sangat busuk!

Kamis, 20 Januari 2011

They are the One

Just break the silence after a couple of pigeons go away from the tree.
They’ve flied away onto the dark cloud, but actually we known that couples of pigeons will died.
The dark cloud will explode with a bad storm, and murdered them.
Why did they do that?
Oh, the female pigeon one was very boring with her life, so she tried to kill herself.
The male pigeon one comes and sits next to her, they make a deal.
The male one said, “I’ll died with you.”
“No, I love you, and I don’t want you kill yourself. Stay away from my wings,” the female one screamed.
The clouds, sun, and rain have been looking at them since the pigeons came.
They felt so strained, the rain said, “Love is a murderer, and it will stay beside you. But sometimes, love is like your wings, it will fly around the world together.”
The rain tears down, and the sun shrinks back from the dark cloud.
The pigeons are ready to face their reality.
They promise that they are the one, they are the best thing which will always together whenever.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Selasa, 18 Januari 2011

Kutadah Peluhnya

Menghirup ketegangan malam, sesak tak bertumpu.
Menderu di antara keramaian, kuningnya lampu perkotaan.
Kulangkahkan dengan berat, terduduk di antara segala harapan perih dan aku adalah aku.
Jalanan yang kering dan hitam kulirik tak bergeming.
Lalu ranting pendosa tergerak, tertiup angin gundah yang menyelimuti mimpi.
Hening sejenak.
Deru itu terdengar kembali dan kacau parau.
Putih terkontaminasi kapuk yang memang menyesakkan nafas, awan tak undang hujan.
Apakah aku?

Jumat, 14 Januari 2011

Bintangku

Ketika kupejamkan mata, berat yang kurasakan.
Pekat, kelam, gundah tak beraturan.
Hati tak pernah kosong, akal pikiran tak berhenti terisi wajahnya.
Ia tertawa, senyuman manis terukir dalam mimpiku.
Lalu kuterjaga, mata terbuka, akal pikirku menuju padanya.
Hujan tak datang hari ini, terik pun tak ada kabar.
Hanya angin sepoi yang menyapaku, sepi.
Bahkan awan legam tak melirikku, acuh.
Sesal? Bukan sesal yang harus kusalahkan.
Cinta? Aku muak mendengarnya.
Aku pun percaya pada sebuah sayang yang tulus, mengalir bagai air yang bahkan tak menyerah meski tertabrak karang.
Aku hanya untuknya, ia adalah aku.
Tak pernah ingin menghapus sebuah senyum, yang ia ukir abadi dalam mata hinaku.
Aku, untuknya.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Minggu, 09 Januari 2011

Akulah Sebuah Masa Laluku

Kuteteskan beberapa air mata hina.
Tangisan yang harusnya tak perlu, karena ia tak tahu ini untuknya.
Ya, aku rindu.
Aku rindu tawanya, ingin kugenggam senyumnya.
Tawa yang khas, suara yang yang terduakan, ia seakan tak bisa pergi dari pikiran.
Entah, aku nyaman disampingnya, melebihi sebuah cinta.
Air mata seakan tersapu ringan dengan tawanya.

Selasa, 04 Januari 2011

Pemimpin, Penjual Harapan Kosong

Tersentak melihat sebuah pernyataan.
Perih!
Dasar apa yang kau gunakan?
Semua terdiam, lalu bangkit dan tergerak batinnya untuk berontak.
Pemimpin memang penjual sejuta harapan, namun tak pernah dapat memuaskan mereka.
Kau terduduk nyaman dengan secangkir kopi hitam legam, menghirup asap kepahitan dunia.
Kau luruskan kaki dan tangan, meregangkan otot yang tak kaku.
Sangat nyaman, namun tak memandang apa yang kau duduki.

Minggu, 02 Januari 2011

Zip, Zep, Zop

Ini bukan tentang hujan, namun mengenai kerinduan pada kawan.
Kukenal dia di sebuah sudut ruang.
Kami berkata, “Zip, Zep, Zop.”
Saling menunjuk walau yang terjadi belum ada perkenalan.
Kutelusur segala penjuru, terang benderang tanpa penutup kelam setitik pun.
Terasa nyaman dan sejuk, sekali lagi bukan karena dua puluh empat derajat.
Masih terdiam karena belum ada pembuka, lalu kami memulai.
Berawal dari sebuah konflik ringan hingga tertunduk dan tertawa bersama.
Saat itu kami riang, tertinggal gundah entah ke mana.
Sebuah amanah datang, hingga kami terlibat dalam sebuah tantangan.
Peluh matahari, beku malam hari, semua bukan penghalang.
Amanah suci masih tetap kami jalankan, karena sebuah persatuan yang belum padam.
Kami adalah hebat, dan tak perlu pengakuan bodoh yang membuktikannya.
Segalanya berada dalam hati, persaudaraan dan persahabatan.
Segalanya adalah baik, kami atau selamanya.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Tamparan Kemunafikan

Hujan tak datang malam itu, saat kulangkahkan kaki ke luar gerbong kereta lima.
Aku berkeliling hampa pada keramaian malam.
Tak tentu arah, tak pernah ada penjemput jiwa.
Heran, hujan tak menyambutku?
Malam ini, waktu yang baru kujalani.
Semua tertawa namun tenggelam dalam kemunafikan nafsu.
Tak pernah lebih baik dari Tuhan, hanyalah kebohongan yang dapat ia serahkan.

Sabtu, 01 Januari 2011

Cahaya Mungil Bidadari

Malam semakin gelap.
Embun pun semakin egois, seakan tak mau mengalah dengan bulan.
Berkumpul, menjadi kabut yang menutupi sinar malam.
Mata mulai berontak.
Ingin melihat bintang, namun terpagar oleh kabut yang memutih seputih kafan yang pucat.
Angin pun menusuk pori-pori kulit.
Mereka berhembus bak penjahat yang ingin membunuh korbannya.
Di tengah keributan malam yang mencekam, ku temukan seberkas cahaya merah jambu.
Cahaya indah, yang menerobos kabut dengan susah payah agar terlihat keindahannya.
Sesaat, cahaya itu menjadi sosok mungil berparas bidadari.
Tanyaku, tipukah ini?
Bukan!
Separuh hatiku berontak.
Lalu menjawab, itu adalah bagian dari separuh hatimu yang hilang.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)