NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Minggu, 05 Agustus 2012

Tahun Kedelapan Tanpa Huruf Kedelapan

House Of Sampoerna - Surabaya (June 6th, 2010)

Masih dingin memang. Dan mungkin juga terlalu absurd untuk memulai menulis lagi, apalagi tentang seseorang yang posisinya sudah sangat absurd dalam hati. Harapannya tak ada sudut pandang ke-berapa-pun di tulisan ini nantinya, iya, biar semua bisa menempatkan di posisinya masing-masing.
Jadi, ini tentang cerita lama. Mungkin telah hampir basi ketika berulang-ulang ditulis tentang ini, tentang kerinduan yang telah pecah seperti genangan air yang tenang lalu dilindas begitu saja oleh roda TransJakarta yang kemudian menjadi bergejolak. Basi sekali. Sekitar hampir tujuh tahun silam. Lalu tak pernah menyangka ketika sebuah sarang lebah produsen madu terhunus panah dan terkulai kempis di atas tanah, mungkin hampir bisa tergambarkan seperti itu. Ah, terlalu cepat. Tunggu, sedikit diperlambat mungkin akan lebih baik.
Berawal dari sebuah cerita singkat dan labil antara dua ingusan dalam sebuah ruang kelas yang terkesan sedikit kusam. Seperti biasa, dialog yang terjadi memang tak begitu penting, namun dari semuanya kemudian lahir sebuah rasa keterikatan. Sahabat? Ah, terasa sedikit kaku. Tujuh tahun yang lalu sejak tulisan ini ditulis. Kemudian hingga bisa (seperti biasa) terlupakan begitu saja detik demi detik, terakhir yang terekam dengan rapi adalah malam di tengah kota di Surabaya, di Balai Pemuda. Mungkin pernah beberapa kali telah ada tulisan yang sama seperti ini. Di Balai Pemuda, dua ingusan yang telah beranjak dewasa setelah empat tahun berjalan dan dua tahun sebelumnya tak pernah bertemu. Semalam di Surabaya, jagung bakar, asap-asap rokok dan polusi, gemericik air mancur kolam ikan, lalu lalang kendaraan, lampu merkuri kuning puyeh, semuanya seakan ingin terekam dalam memori itu. Ya, dua ingusan yang sedang tenggelam dalam gundah yang sama meski berbeda cerita. Semalam. Iya, semalam.
Berikutnya tentang sebuah jalur yang konon selalu diperebutkan berjuta lulusan SMA yang ingin mencicipi dunia kuliah lewat sebuah tes bergengsi jika mampu lolos. Apa namanya? SNMPTN, atau apalah. Sekitar dua tahun setelah memori di paragraf sebelumnya. Selama dua hari, bersama. Tak hanya berdua, namun berempat. Tawa-tawa yang lama tak terlihat. Lama sekali. Sedikit tersesal karena saat itu masih belum memiliki sebuah gadget bernama kamera untuk mengabadikan bagaimana cara keempat insan itu melukiskan senyum masing-masing. Hanya satu yang beruntung. Ketiganya harus mencoba lagi, begitu kata berita terakhir yang ada.
Ah, tak terasa ini hampir tahun kedelapan sejak pertemuan tak penting di sebuah ruang kelas itu. Aku (terpaksa menulis sebuah sudut pandang) mulai merindukannya. Beberapa argumen berkata ia (lagi, terpaksa menulis sebuah sudut pandang) tak akan kembali. Kembali? Dari apa? Dari keputusannya membarterkan ikatan kami (ketiga kalinya, terpaksa menulis sebuah sudut pandang) dengan sebuah cinta, yang konon disebut soulmate. Begitu berita terakhir yang terdengar. Beberapa argumen mengatakan, jika kembali pun, yang kembali hanyalah raganya saja, jiwanya tetap terlanjur hilang (mungkin lebih tepatnya berganti). Apa mau dikata, untungnya sempat merekam beberapa momen yang menonjol agar tak akan terlupakan. Mendadak merindukan dia, iya, dia, tanpa tambahan satu huruf kedelapan di belakang “dia”.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

2 komentar:

  1. merindukan yang sudah jauh itu seperti empedu, seperti merindukan waktu yang sudah lama berlalu :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dan seperti menunggu seorang lumpuh melewati sebuah samudera. Mustahil.

      Hapus