NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Selasa, 22 Mei 2012

Gang Guanhati

Terik sudah berkuasa ketika aku terjaga perlahan, kutengok ke arloji kecil kuning emas yang warnanya sedikit terkelupas dan hampir tak menunjukkan bahwa itu adalah kuning emas, jarum kembarnya menunjuk ke arah yang hampir sama, pertengahan angka sembilan, hanya saja jarum yang lebih muda sedikit mundur di belakang kakaknya. Sudah sangat terlambat untuk bangun dari standard jam aktif, iya, itu aku.
Aku berjalan menuju mimpi dan harapan, itu sudah sebuah rutinitas tanpa bebas yang wajib terjalani. Di tengah terik yang beramai-ramai menarik jakun hingga kering, terlintas sebuah tanya ketika aku sedikit lagi sampai di permukaan sebuah nyata, seberapa besar kekuatanku untuk melindungi pematah-pematah harapan itu? Iya, sering kudapati bangkaiku ketika aku gagal memilih dan selalu (masih) tak bisa mempertimbangkan sebuah (atau mungkin lebih dari sebuah) pilihan. Lalu kemudian aku berandai tanpa logika, seberapa lama aku masih bisa berdiri?
Kembali menuju jalan ceritaku, saat ini aku telah sampai di ujung gang yang setelah kubaca bernama “Gang Guanhati”. Sepanjang jalan gang itu dapat kusapu pandangan bahwa terdapat tiga sampai empatpuluh rumah yang masing-masing (tidak ada yang tidak) terdapat jemuran-jemuran pakaian yang harusnya sudah tak layak pakai lagi, namun tetap dijemur. Perlahan, kutiti jalanan setapak paving block dan kupahami betul bentuk-bentuk rumah setiap rumah. Satu rumah kubaca bertuliskan “Keluarga Pak Aiha Timu”. Lalu kutengok rumah depannya, tertulis “Keluarga Mas Ihbi Ngungkahkau”. Semakin tak paham, kupercepat langkahku yang mulai gontai karena peluh telah berhasil sampai di puncak ubun-ubun.
Inginnya, kupercepat langkahku agar segera keluar dari gang aneh ini. Namun yang terjadi semakin kususuri dan semakin panjang saja gang ini. Salah perkiraanku dengan tiga sampai empatpuluh rumah, atau ini hanya refleksi fatamorgana di tengah imajinasi siangku? Bosan dan lelah meniti gang ini, akhirnya kutemukan sebilah cutter kecil di ranselku, seingatku ini biasa kupakai untuk memotong satu mimpi yang telah terpatahkan, mmm, mungkin sudah lebih dari sepuluh mimpi. Lalu kuiriskan pada nadi lengan kiriku yang konon berisi catatan-catatan buruk hidupku. Iya, aku ingin berakhir dari gang ini, aku asing dan tersesat. Sudah terbentuk sebuah garis kira-kira dua senti dan keluar cairan merah pekat, itu darah, ya? Perlahan aku mulai lemas, pandanganku tak sebaik sebelumnya, saat masih kupakai kacamata minusku yang mencapai silinder. Sesaat lalu kutemukan sebuah gang kecil di salah satu sudut dan tertulis pada papan kayu kecil bertuliskan “You should choose this way”. Iya, aku menyesal? Pasti. Terlalu cepat kuputuskan aku mengiris semuanya dan membuat berakhir. Keputusan yang salah? Pasti itu aku. Aku memang tak pernah sematang itu berpikir tentang perencaan sebuah pilihan. Iya, sudah gagal.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar