NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Senin, 09 Juli 2012

(Bukan) Laki-laki Berkacamata


Mataku mulai rabun, mulai gagal kusorot lampu neon yang telah meredup di depan kamarku. Ah, ini terlalu gelap. Pun gagal kucari lilin kecil berbentuk angka dua dan nol bekas tar ulang tahunku beberapa jam yang lalu, meskipun harusnya hanya bersisa dua lilin itu yang bisa kupakai sebagai penerangan. Lalu, aku harus apa?
Kuraba perlahan tiap sudut kamarku, kuraba perlahan meja belajar yang hampir setinggi pinggulku. Tak kutemukan apapun yang bisa kupakai untuk mengubah penerangan. Mulai panik. Kemudian aku mengubah target pencarian, ya, sekarang yang kucari adalah gelas plastik kuning dan sebotol aqua untuk meredakan keringat. Kuteguk, seteguk, dua, dan tegukan ketiga lalu kusandarkan gelas disampingku.
Duduk, aku mulai blank. Coba saja bayangkan, dan juga jika bisa aku bertanya, apa yang harus aku lakukan di suasana pekat ini? Hanya bisa duduk. Warna merah-hitam sprei kasurku tentu ternetralisir gelap. Lagi, kuraba perlahan meja belajar di depanku. Tentu, kucari kacamata yang biasa kupakai saat kupaksa mataku untuk beraktifitas. Gotcha! Secepat itu kutemukan kacamataku demi mempersingkat sajak ini. Kupakai. Tak ada efek signifikan. Tetap saja gelap, dan aku mulai terlihat bodoh dengan memaksa dapat melihat dalam pekat dengan kacamata andalanku.
Ingin kulepas kacamataku, ingin. Kacamata ini telah mematikanku dari segala pribadi awalku, aku yang dulu tak pernah peduli bagaimana orang yang tak kukenal untuk bernapas terengah. Aku yang dulu tak pernah peduli bagaimana seekor ubur-ubur terdampar di lereng pantai. Aku yang dulu tak pernah peduli seberapa lama ekorku diinjak oleh babi-babi hutan. Ya, semua berawal saat kuputuskan kupakai kacamata ini. Aku ingin melepasnya, lalu kembali ke aku yang dulu: bukan laki-laki berkacamata. Aku yang dulu hanya pecinta musik, ya: laki-laki bergitar tanpa membawa catatan kecil, pena, dan sebotol aqua ukuran paling kecil. Apalagi bukan seorang penulis gombalan-gombalan tak bermutu yang karyanya menjamur tak bertujuan. Aku hanya aku yang penuh bisu dan bungkam. Aku bukan laki-laki berkacamata; jadi, apa masih bisa melihatku tanpa kacamata?

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

5 komentar:

  1. dan aku mulai mencintaimu lewat penamu, dan aku mencintaimu lewat kacamatamu, dulu,,,,,,,,,,,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tetaplah menghembuskan infus padaku meski tak lagi aku berkacamata. Aku masih membutuhkan asupanmu, aku butuh untuk bertahan.

      Hapus
  2. Jangan kau lepas kacamatamu, karena kau pasti akan membutuhkannya, tidak ada yang salah dengan kacamatamu kawan. itulah proses pendewasaan.
    Kelak kita akan berpikir seperti apa aku dulu. ya kau akan bisa menjawabnya dengan tersenyum.
    Kau yang dulu bukanlah orang yang tidak mengerti perasaan ubur-ubur yang terdampar, kau yang dulu juga bukan orang yang tak peduli dengan orang yang kau buat terengah. kau hanya tidak tau apa yang harus kau perbuat. Aku juga sempat marah padamu waktu itu.
    Tapi aku segera ingat, bahwa kau adalah temanku yang hanya ingin menggenggamku erat, dan mewujudkan cita-cita itu.
    tidak usah bersedih kawan, bangunlah dari kegelapan itu dan lihatlah, Allah telah menolongmu dengan mentarinya yang sangat terang, sehingga kau bisa melihat lagi dan berjalan.

    kau tidak perlu bertanya-tanya tentang siapa aku, karena kau sudah tau itu.
    Berjanjilah padaku bahwa kelak kau akan menggenggam erat tanganku lagi. tidak hari ini, dan tidak pula besok, tetapi ketika kita sudah saling tersenyum bersama.

    BalasHapus
  3. Akan kutuntun kamu berjalan meski gelap karena kacamatamu kau lepas. Akan kupinjami kamu pena patahku ketika kamu ingin berekspresi, akan kupinjami kamu buku diary warna-warniku saat kamu butuh media tulis, akan kuberikan hatiku jika memang kamu butuh inspirasi.

    proses pencarian jati diri itu sukar, tapi banyak hal luar biasa yang akan membuatmu merasa ingin memakai kacamatamu lagi, ingin menggenggam penamu lagi. Pena dan kacamatamu tidak patah kan? :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku tetap aku meski tanpa kacamata lagi, selamanya. Mungkin ada suatu hari nanti saat aku akan melepasnya selamanya.

      Hapus