NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Rabu, 20 April 2011

Tentang Hujan II


Lama kutunggu jejak terakhir dari hujan sore itu, di Malang.
Pun telah berpuasa menulis tentangnya sejak kusuguhkan puisiku untuk kupenuhi mimpiku, publikasi.
Kadang, geram ketika motor Revo yang kucinta telah segar bermandikan silikon hingga mengkilap dan keren, kala tiba-tiba ia datang.
Selalu kutunggu hingga ia tak datang, lalu kumandikan Revoku.
Pun sempat berhenti menulis untuk menunggu sebuah keputusan hidup atau mati di kehidupan kelak untuk tercapai sebuah mimpi, namun kandas ketika beberapa penyemangat menyulut api sastra pada rambut kriwulku.
Pun sempat kubelokkan hatiku untuk sebuah kesenangan baru, juga untuk perasaan yang baru, bintang.
Namun tak pernah merasa dapat kuambil napas secara lega, karena selalu tertutup gas-gas nitrogen dari akal pikiran yang tak mau memberi inspirasi.
Sekilas, kambuh.
Sulit kuhirup aroma puisiku yang menggantikan oksigen untukku bernapas.
Jeda tiga detik itu kukira telah terpanggil pada alam lain, namun tersadar bahwa masih dapat kuraih tubuh kerontangku.
Hingga kini kucari titiknya di kota lahirku, di Surabaya.
Menunggang Revo selama beberapa periode hingga kupelankan laju rodanya, tetap berharap hujan mengiringiku seperti waktu itu.
Di Pandaan, sempat disambut oleh beberapa gerimis yang membuatku tersenyum dalam sholawat sepanjang perjalanan, namun hanya sesaat belaka.
Pernah kutulis sajak tentangnya yang mengantarku pulang ke kota asalku.
Juga sempat kutulis judul untuk sebuah konotasi pada seorang calon istri yang sempurna untukku, kini kutulis untuknya dengan sangat denotasi.
Heran.
Hujankah yang menghidupkanku untuk bersemangat?
Ya, bukan yang lain.
Entah sampai kapan aku bosan untuk menulis tentangnya, aku tak hidup lagi untuk kedua kalinya.
Hujan.
Bukan yang lain.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar