NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Sabtu, 09 April 2011

Tatanan Takdir

Dan secangkir kopi legam membohongi malamku, seakan memaksaku tidur seraya menancapkan pedang kemunafikan yang berkilau berlian.
Aku menampik lepek yang disodorkan paksa padaku, berontak, teriak pada kesunyian.
Telah kutata rapi garis takdirku sejalan dengan alam, pun sesuai syarat yang dibenarkan oleh Presiden kami, yang konon ingin memberantas korupsi.
Ah, ternyata lagi-lagi bercecer hirau juga tak tertuang indah dalam cangkirku dengan hiasan choco granule yang membentuk daun jeruk seperti tiap pagi.
Apa ini, apa?
Beberapa elang menyeruak setelah menyimpang dari rantai makanannya, mencoba yang belum ia coba, memakan yang belum ia makan, dan membunuh apa yang belum ia bunuh.
Bahkan aku tak pintar untuk memilih judul pada puisi ini, judul-judulan yang tak cakap dalam mewakili hari ini.
Malamku telah bergulir dua kali dengan bintang, tanpa hujan lagi.
Hujan masih menunggu di salah satu ibukota untuk hasil terbaiknya, dan bintanglah penggantinya.
Aku riang karena tak lagi kotor motor cintaku, rumput liar haus dan panas.
Bintang-bintang rapi membentuk rasi tak seperti apa yang telah kugambar pada takdir, atau mungkin seperti mahasiswa yang merancang kartu rencana studi pada awal semester mereka.
Orion, apa itu?
Uh, sesal tak kudengar saat bapak Oemar Bakri berceramah tiap selasa pagi, saat masih kukenakan seragam putih-merah.
Yang kutahu sampai kini hanya Scorpion, siapa bodoh?
Itulah hanya berbentuk kalajengking.
Sambil menunjuk dan masih tertegun menyaksikan guratan pada dahi yang mulai menua, juga kutu pada rambut yang sedang menghadiri konser musik.
Dan bintang kalahkan bulan untuk merebut mataku, mencuri dan membasmiku.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar