NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Sabtu, 09 April 2011

Senyap

Senyap menyergap namun tak kunjung terlelap karena tertutup awan gelap yang memaksa mata terjaga tak sekejap, lalu menyita angin hingga gemerlap bulan tak berucap.
Kau tahu?
Bintang sedang terperangkap dan aku tak bisa terlelap dalam gelap.
Dan ketika surya mulai mengerling, mengintip di balik fajar pun mataku akan tetap terjaga sampai kutemui sebuah jawaban dari harapku.
Aku bahkan tak percaya sang surya akan datang esok!
Awan terlalu pekat, mungkin sampai esok pun tetap gelap.
Adakah jawab untuk harap yang tak terungkap, untuk harap yang maya, untuk harap yang bahkan tak mampu kuceritakan saat terang, terlebih lagi saat pekat?
Namun sedikit mulai kusiram harapan kosong itu dengan darah yang kusayat dari ujung telunjuk.
Kini sedikit terasa, ya, sakit untuk mengejar dan menggapai sebuah mimpi yang kuyakin bukan sia-sia dan nol.
Saat itu aku memanjat, kusiapkan tangga kayu dan menghadap langit, kupanjat menuju surya yang membohongiku bahwa ini telah subuh, bukan, ini petang.
Petang?
Sungguhkah?
Aku terkesiap dengan ucapmu, aku bangkit dari ranjangku.
Apa mataku kian rabun, atau penglihatanku terlalu kabur?
Yang aku tahu, aku masih gelap, dalam pagi, siang, senja, petang, apalagi malam.
Aku mengikuti caramu menyayat jemariku dengan pedangku, arggggh!
Sakit!
Aku mulai kehabisan darah, lalu bagaimana aku bisa memanjat untuk menemui sang surya yang katamu sudah mendustai alam?
Singkatnya, kini aku terjebak dalam laranya sebuah asa tanpa arah.
Mungkin tepat kupanggil sebuah gundah, pagi buta yang menjelang tinggi masih kurasa gelap.
Namun apalah yang harus kujalani jalur busway yang mulai dilalui kendaraan umum, dan jembatan layang yang pun dihuni pedagang kaki seribu.
Benar-benar yang kupandang tak bermartabat dengan sangat pekat.
Hitam kelam, merah darah.

(Fahmi Rachman Ibrahim, Linda Astri Dwi Wulandari, 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar