NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Selasa, 12 April 2011

Maaf

Lagi.
Bermula dari malam itu, aku menangis.
Ia pun.
Lalu saat pagi menyambut, kurasa teracuh olehnya meski terseok-seok kulangkahkan menuju kewajiban hari ini.
Kutengok, masih acuh.
Salah.
Ia menilaiku yang acuh, acuh pada segala hal yang ia telan mentah-mentah seperti kapsul obat yang ia benci menelannya kecuali dengan pisang.
Ia menangis, menangis, menangis.
Aku tertegun untuk sore ini, masih belum datang hujan yang seminggu ini tak lelah merintik.
Betis kram, punggung kram, sekujur tubuh terkulai lemas dan demam, muntah.
Ia pun.
Mual.
Lagi-lagi aku menebas permukaan danau yang tenang, membuatnya terombang-ambing tanpa sepoi angin pagi.
Masih kering dahan yang meski terguyur hujan seminggu.
Ia menangis, lelah.
Aku menangis?
Tidak, harus kutahan ego untuk melahap pecahan cermin yang telah kutinju dalam-dalam dan membekas merah.
Hanya bisa bertahan, namun tetap lelah, itulah ia.
Hujan, datanglah hari ini.
Aku rindu.
Ketika kutahu sastra tak lagi berharga, dan semua mengacuhkan.
Ia masih menangis lelah, tak berujung meski telah kusapa dan kutarik perlahan rintik demi rintik agar tetap terjaga dinginnya.
Dapat kugaruk punggung beberapa perkutut hingga sembuh lukanya dan terbang bebas.
Namun belum pernah dapat kugaruk punggungku.
Hujan, datanglah hari ini.
Aku rindu.
Tolong, sampaikan maaf untuknya, hapus air matanya.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar