NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Rabu, 02 Februari 2011

Tentang Hujan

Bulan tersenyum, bersinar dengan kuning pudar seperti biasa, namun sedikit tertutup awan mendung yang diiringi rintikan air.
Bagiku semua terlihat datar, monoton lebih tepatnya.
Suara serangga mencoba pecahkan sepi malam itu, melawan rintikan hujan yang awet tak berhenti.
Lalu kurasakan sebuah kegundahan, lagi, dan kali ini akulah pengemis, aku memohon, menangis, merintih, merengek, dan aku terpaku.
Kuraih telapak kaki itu, lalu kucium layaknya seorang ibu.
Aku hina, memang salah.
Beberapa kali kuulangi sebuah pembodohan hati yang harusnya kusadari, aku tertatih, menangis.
Aku salah.
Lampu di ruangku meredup, tak kusentuh saklarnya karena memang kubiarkan sampai benar-benar mati, dan gelap.
Hujan masih bertahan, namun kutahu ia lelah.
Saat ini ia ungkapkan, ia memang lelah, lalu ia coba merintih sepertiku.
Aku terdiam, sepi, lalu perlahan hujan berhenti.
Tidak, aku tak ingin hujan itu berhenti.
Telah terjadi seperti ini, dan aku menangis merintih kala hujan memaksaku berhenti.
Saat ini ia ungkapkan, ia berhenti.
Tidak, aku tak ingin hujan itu berhenti.
Biarkan kucoba menjadi badut pesta yang bodoh, lalu dipermainkan anak-anak.
Aku memang bodoh, mungkin hujan bosan.
Atau mungkin ia ingin tempat lain?
Tidak, ia lelah.
Namun aku tak ingin hujan menghentikan rintikannya, aku butuh dinginnya, airnya, segarnya.
Dan kutulis syair ini, tentang hujan.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

1 komentar:

  1. tak perlu mengharap rintiknya tiap waktu, ia memiliki sejuta titik, bahkan lebih. tak perlu kamu meminta segenap rintiknya hanya untukmu, karna ia adalah hujan, yang sanggup menentramkan apa yang ada. hawa sejuk masih sanggup kamu rasa meski hujan tak datang. dan apakah kamu tahu mengapa ia tak hadir? karna ia sedang menorehkan rintik-rintiknya kepada seluruh yang menyayanginya. di waktu tersebutlah kamu merasa mampu mendekap hujan dalam dinginnya :)

    BalasHapus