NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Sabtu, 26 Februari 2011

Cerita Seorang Hujan

Aku bukanlah aku, namun akulah sebagai hujan.
Hari itu, duka cita menyapa di sela-sela soreku yang aku sedang terduduk santai, dan aku harus kembali, pada desa kecil saat kulahir.
Kuminta padanya temaniku, ayahlah yang memintaku.
Sempat bimbang, namun kulega saat ia mengangguk tanda sedia.
Tanpa bekal pantas, lalu berangkat dengan minibus yang aku belum pernah sekalipun memakainya, ia pun begitu.
Segala doa terpanjat untuk yang terbaik bagi kami.
Mual, pada segala goncangan dan terpaan kerasnya lintas hidup, aku tersandar pada bahunya dan perlahan berbisik, “Terima kasih.”
Berbalas senyumnya yang kutahu tak seindah senyumku, aku mencoba terpulas.
Hanya beberapa detik, namun gagal, terjaga.
Tiga jam, ya, kami terluntang-lantung dengan kusut tak bernapas dengan utuh.
Ayah menyapa dari kejauhan, lega karena telah kembali pada tempat yang memang bukan kota itu.
Masuk menuju sebuah ketentraman saat ku usia dini, kuucapkan salam dan kukenalkannya pada sanak saudara, dan ia tersipu.
Senang, akulah hujan terbaik.
Malam itu aku sengaja merintik perlahan, kucoba iringi tidurnya.
Dan aku semakin kencang saat ia telah pulas, kuselimuti tubuh cekingnya dengan dinginku.
Aku terjaga untuknya.
Kokok pejantan pukul lima membuatnya terjaga perlahan, lalu membasuh segala aurat dengan air wudhu.
Pagi menyingsing menyapanya di tanah baru yang belum sekalipun terpijaknya.
Ya, bocah metropolitan yang haus akan ketenangan embun subuh pedesaan, serta penyegaran penat pikiran yang lapar akan pandangan pematang nan hijau.
Kulihat girangnya, paras yang tak terlalu tampan dan selalu tertawa meski tersakiti.
Indah, kutemani paginya dalam embunku.
Mengitari jalan setapak dan terlihat buruh tani yang tersenyum lelah di bawah terik pagi.
Indah, kutemani paginya dalam sinarku.
Ia bahagia, dan aku terlebihnya.
Duka yang menyapa lenyap oleh senyumnya, dan kini setara dengan indah senyumku.
Lalu kembali, dan tak henti kuucap syukur, dan lagi kukatakan, “Terima kasih”.
Dan itulah ceritaku, tentang seorang metropolis yang sedang buta pada sejuk dusun.
Kutulis untuknya, akulah hujan.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar