NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Jumat, 11 Maret 2011

Penataran Ekonomi

Selama hampir tiga pekan kutelan pil kerinduan tanpa menyisir luka.
Beberapa kesakitan pun harus kuseka dengan betadine sendiri oleh tanganku yang juga tak sempurna.
Masih terasa menyengat, menyengat.
Kupaksa melangkah menuju peron, lalu kumasuki gerbong lima.
Ini satu yang kurindu, berpulang menuju kelahiran dengan mobil berekor enam.
Mengapa?
Aku cinta, memang tak seharga tinggi dan sekelas executive maupun bisnis.
Yang kutumpangi adalah kelas menengah ke bawah, penuh sesak oleh para pengharap keadilan bangsa.
Terduduk di sampingnya yang tertidur pulas oleh kepenatan nyata, aku tersenyum saat melihat beberapa penjuru.
“Kopi, teh, jeruk.”
“Kripik telo, kripik udang, kripik kerang.”
“Yang lapar... Yang lapar...”
“Aqua, mijon.”
Beberapa petinggi munafik menghakimi, kelasku adalah kumuh.
Tidak!
Ini bukan tentang kerusuhan, kotor, dan kemproh, namun tentang cerita solidaritas.
Mereka bukan tanpa masa depan, bukan pengangguran, dan bukan perampas pekerjaan.
Dengan lihai mereka ciptakan kerja mereka yang kau pun tak bisa, karena kau hanya duduk di kursi turun-temurun yang penuh nepotisme.
Kelasku, kuanggap penuh dengan kuliner, dan tawa.
Tak pernah kau cicipi duduk di kelas kami, lalu kau telan bising mesin yang bergemuruh dan goncangan-goncangan yang kasar.
Kelasmu, sepi, payah.
Makan dan minum enak, namun seadanya, dengan harga sesuai kantongmu yang melejit.
Bahkan mereka tak punya, hanya berwadah kemasan permen atau deterjen.
Kelasku, hebat.
Keringat bau tak sia-sia, dan insya Allah halal.
“Lengkenge, lengkenge... Anggur merah, anggur ireng... Seterobberi, seterobberi... Pentol caos manis, caos puedes...”
Itu lantunan favoritku, kelasku.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar