NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Rabu, 09 Maret 2011

Bukan Tentang Insinyur


Kumulai ceritaku untuk seseorang yang masih mungil, berpemikiran serba minimal, mungkin hanya menggoreskan sebatang lidi pada pasir dan menuliskan namanya dengan ejaan yang masih keliru.
Ketika ia sampai pada huruf akhir dari namanya, sungguh bahagia yang terlukis pada dagunya tanda ia telah berhasil meski salah besar.
Bahkan untuk menyampaikan sendok pada mulutnya pun sedikit menabrak sebelah kiri bibirnya, lalu belepotan bubur kacang hijau yang ia makan.
Insinyur, itu impian yang terpikir olehnya, namun saat ditanya mengapa, ia hanya tertawa seraya menjawab, “Tak mengerti.”
Sebuah doktrin dari beberapa pengajar di masa kanak memang berpengaruh besar, dogma yang diterima pun sangat mudah terinfeksi ketika seekor nyamuk malaria mencubit kulitnya, mudah sekali.
Insinyur yang tergambar adalah tak lebih dari mandor para kuli bangunan yang hanya menunjuk dengan telunjuk, mengangguk dengak tertunduk, sementara para kuli berpeluh dan otot semakin terpompa.
Sungguh tak dapat terdeskripsikan bagaimana bocah ingusan ini dapat menggapainya, kelak.
Ya, namun waktu mulai beranjak.
Sebuah doktrin baru muncul, alunan melodi dengan beat tinggi membuatnya mulai bergidik untuk berbelok menuju musisi, mungkin sekelas Mas Erwin Gutawa, namun tak seperti Mas Ahmad Dhani.
Beberapa ia tulis, bukan seperti lembar-lembar puisi ini, lebih berirama.
Juga tentang harapnya mengabadikan beberapa alunan, pupus.
Entah.
Lalu timbul sebuah inspirasi baru, dan masih membanting kemudi berlawanan arah, pendidik.
Profesi bapak yang ia impikan, namun bukan sebagai ahli pemanipulasi angka, ia mahir untuk memanipulasi pengganti otak manusia, dan asing.
Kini mulai ia injakkan satu langkah, belum, masih sekedar setengah langkah.
Pembelokan beberapa mimpi yang mungkin lucu untuk seorang balita polos, yang hari itu ia masih mengulum ibu jarinya saat kami membicarakannya, dalam puisi ini.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar