NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Selasa, 08 Maret 2011

Babi Hutan

Tertegun saat kuingat seekor babi hutan, yang sempat kulihat meski hanya sekali namun aku ingat betul lekuk wajah dengan rambut keriting yang tentu berbeda dengan milikku.
Jangan heran, ia memang memiliki rambut.
Harusnya tak kuingat seekor babi hutan itu, namun apalah harus kusalahkan.
Sebuah cerita, yang lagi-lagi aku tak ingin berada di dalamnya.
Ia rusak hujanku saat hendak bertemu seorang ibu yang bahkan bukan ibunya.
Pikirku iyakah sebuah hipnosis tengah ia lakukan pada hujan, hingga hujan memijak pada tanah yang salah, dan SALAH?
Ia bukan babi hutan, sifatnya sedikit membelok menuju kuda liar, yang haus pada nafsu duniawi dan benar-benar mendosa layaknya aku, namun ia tetap lebih menyakitkanku.
Mengais pada daun kering seakan ia menawarkan sebuah kesakitan.
Sakit.
Sempat ia tawarkan daun yang terpetik dari bunga Rafflesia Arnoldi, tentu busuk aromanya.
Lalat dan lebah enggan hinggap pada bangkai harimau yang telah menelan daun itu, dan babi hutan pun terbahak-bahak atas kemenangannya.
Ia lepas tanggung jawabnya sebagai hewan bodoh yang telah membunuh rintik hujan.
Tak ia tanam kembali rumput kering bekas injakannya, tak ia siram kebun apel di tengah hutan.
Sedikit pun ia tak bertanya, ya sesekali memang, namun tanpa sebuah usaha untuk menghidupkan kembali awan untuk segera membuat hujan bangkit.
Babi yang benar-benar gila.
Pun kini aku yang terbahak, atas kesakitan yang kutangkap dari lemparan kotoran dari anusnya, sisa makanan dan lumpur dari kakinya.
Lalu aku tersesat dalam kelegaman hutan, tentu masih dalam sebuah penyakit dan sendiri.
Aku yang terlebih, hujan memang sakit.
Rintiknya tak lagi bercurah seindah yang kutunggu, berlesung semanis yang kuingat.
Sesal yang disodorkan padaku memang harusnya tak kugubris, tak kuhapus begitu saja nodanya.
Ya, memang telah kuhapus nodanya, namun entah masih sangat kental dan kadang dengan nakal menyapa lalu menggores mata dengan ujung pensil yang baru saja diserut.
SAKIT!
Babi hutan yang gila, mengapa tak kupanah saja saat kulihatnya dulu, sebelum ia sayat luka bakar yang sudah mengukir lutut hatiku?
Benar-benar babi hutan, dan kukira ia manusia, namun tetap saja selalu babi hutan, dan BODOH.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar