NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Rabu, 02 Maret 2011

Tertahan untuk Sebuah Tangis


Entah apa harus kupecahkan gelas beling satu-satunya yang kumiliki, agar sepi teralih dan menggema nada parau di seluruh ujung ruangku.
Aku tertahan untuk menangis, namun masih bimbang.
Menahan tangis hingga efek pada pernapasan yang tak bekerja dengan sempurna, atau lagi-lagi menangis seperti serigala banci yang memalukan?
Dan aku masih tertegun sedetik, berpikir apa sebab buruknya perasaan malam itu.
Sesaat, terpikir tentang bunda, dan bapak tentu.
Entah harus kubelaskasihkah mereka?
Ya, tentu harus.
Namun bukan tanpa imbas buruk pada raga mungilku.
Malam itu aku mungkin harus tertahan dalam sebuah kelaparan terhadap kasih sayang, rindu, serta belai manis bunda.
Malam itu aku juga akan tertahan dalam sebuah kehausan terhadap motivasi hidup, tamparan halus, serta tangan kokoh bapak.
Atau, harus kubiar agar aku tak lapar dan haus?
Tidak, hanya sesaat.
Lagi dan lagi aku masih merindu.
Harusnya aku terkulai lemah karena kehausan dan mati terkapar karena kelaparan agar bapak tak berkeringat banyak, dan bunda tak tersakiti lagi.
Itulah yang kubimbang.
Empat pekan sia-sia tanpa banyak kulakukan, dan kini terasa empat pekan berikutnya sangat kehilangan.
Hujan?
Kubiarkan hari ini ia datang hanya sesaat, gerimis.
Tak ingin lagi tenggelam dalam pelik yang harusnya tak kuributkan, lalu kubatin kesah yang kumakan.
Cukup merindu pada mereka, bukan hanya untuk sebuah problema pada hujan.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar