NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Kamis, 03 Maret 2011

(Bukan) Sang Pemimpi

Setiap individu pernah melukis sebuah ingin, dan tergambar acak dalam benak yang menganggapnya elegan.
Tak pedulikan acak yang teramat saat dipandang satu hati oleh mereka, sebuah mimpi adalah cita.
Mimpilah indah terasa, saat terlelap dalam nyamannya spring bed dengan balutan bed cover empuk dan mulai ternoda liur penuh kreatif.
Enyah, karena masih lelap oleh buai mimpi yang terus dan lagi.
Lalu bangun untuk sebuah fajar, dan masih dalam mimpi alam sadar.
Masih berbekas jelas meski telah membuka kelopak mata, itu mimpi tujuh detik yang lalu.
Berjalan sebagaimana mestinya, entah mimpi itu masih tergambar jelas saat berpaling pandang menuju objek lain dan masih jelas.
Terduduk pada baduk teras sebuah kios, lalu termenung.
Ini bukan mimpi, inilah cita.
Tak bisa hanya untuk terpendam sebagai mimpi, namun harus dalam wujud nyata.
Kini bukan hanya bangkit dari baduk abu-abu, dan juga melengok ke atas menuju awangan sebuah wujud baru untuk tempat cita.
Plung!
Terdapati pandangan pada sebuah lahan kosong untuk meletakkan sejenak sebuah bahu untuk ukiran baru, lalu jauh berpikir untuk sebuah karya.
Entah, masih tak yakin inilah sebuah cita dalam mimpi lelap malam tadi.
Pesimis terbunuh oleh semangat gila yang lalu mempertebal garis pada gambar yang tertulis dengan tinta biru gelap.
Sebuah nama yang tersebut, kini bukan sang pemimpi.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

1 komentar:

  1. tersenyum lalu mulai menapaki jejak yang kau sebut mimpi, ketika kau hampir sampai, mendadak langkah menjadi semakin meletihkanmu, namun kau tak gentar, kau terus melangkah hingga mimpi itu kini dalam genggamanmu :)

    BalasHapus