NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Senin, 07 Maret 2011

Dalam Jalan Menuju Masa Depan, Ia Masih Aku

Filosofi adalah sebuah sejarah, dan itulah pembelajaran.
Seorang bocah bukan pingitan yang tidak pintar namun kata bapak ia cerdas.
Lahir dengan takdir berbahasa asing yang cukup mengejutkan, lalu ia mulai meniti ilmu dengan merajut pada kain tipis, berharap menjadi pakaian yang sempurna suatu malam nanti.
Dalam tiap uji otak yang ia lakukan bahkan tak pernah bertengadah dan mengasah pada batu alam untuk lancarnya sebuah aliran kecil, namun hanya berdiam meski terkadang ia sempatkan untuk memohon suatu jalan.
Kala itu adalah puncak dari pendidikan resminya, dan ia masih belum berbelok ke arah bocah pintar rajin lain, masih tetap plonga-plongo dan tak tersentuh sebuah pelatihan.
Dalam tangis doa bunda dan bapak, dalam dingin dini hari, bocah kriwul yang tak bermasa depan lalu mulai terbangun, terjaga dalam siangnya.
Ia mulai terikut dalam pemohon lain, bertangis pada Penentu Jalan.
Hingga pada deadline penentu hidup baru ia hidup untuk sebuah ketidaksiapan, tetap ia langkahkan bersama seorang kawan menuju tempat itu.
Terlelap dengan bodohnya, dan saat itu ia tak yakin, sangat.
Bunda tak ingin menyerah, masih menjaga api kecil yang hampir padam, sesekali menghembus napas agar api kecilnya tetap terang dan besar dengan oksigen, bukan, karbondioksida yang bunda keluarkan.
Namun tetap, akhirnya terjaga, lagi.
Hujan tak sedang merintih, namun tertatih.
Hujan tak sedang menangis, namun mengais.
Dalam tidur panjang, ia tersentak oleh pesan dua orang kawan yang memaksanya menangis haru, oleh namanya yang tertulis pada tabel itu.
Ya, namanya.
Bunda, bapak, larut tenggelam memeluk bocah yang hampir tak bermasa depan, seorang yang dengan mukjizat mampu menembus enam ratus lainnya.
Dua puluh tiga agustus, hari itu memulai sebuah hidup aneh yang tak pernah tergambar pada benak, asing, tanpa kawan.
Masih dalam konteks plonga-plongo khas bibirnya.
Lambat dan akhirnya sebuah hidup telah menyala, kini bukan karbondioksida, namun benar-benar oksigen.
Bunda mengirimkan oksigen yang nikmat lewat sebuah mimpi, lewat sebuah igauan sore.
Hidup kebangga-haruan tak berlangsung lama hingga beberapa mulai terasa aneh dengannya.
Ia lupa pada tanahnya, kata mereka, ia lupa pada cerita kecilnya, kata mereka.
Ia hirup tanah barunya, kata mereka, ia minum hujan yang memijak pada tanahnya, kata mereka.
Hidup dalam pengasingan baru mengubah catatan bocah bodoh polos menjadi karakter baru, yang lebih pedas dalam meng-enter otak.
Ia berubah, kata mereka.
Judgement yang sangat tak perlu harusnya bukan untuknya.
Kala itu ia biru, dan hari ini ia masih biru.
Beberapa dari mereka mulai tersadar ia tak berubah menjadi lain, itulah kedewasaan.
Tak pernah ia bernapas selain dari oksigen bunda yang bahkan tak bunda hirup sendiri untuk napasnya.
Marah, tentu bocah itu marah, kecewa.
Belum pernah mereka mengunyah hiruk masa studi yang runyam.
Ya, kata mereka.
Hanya kata mereka.
Bocah kriwul, bapak berkata tidak pintar namun cerdas, plonga-plongo, tak bermasa depan.
Itulah sebuah sejarahnya.
Namun bukan ia lupakan tanahnya, masa kecilnya, hujan di tempat lahirnya.
Ia sedang mengenyam hidup baru, dalam progress mencari masa depan.
Salah untuk menghakiminya menjadi pribadi yang baru, ia masih lama, tetap.
Harus turut mereka telan permen karet yang ia kunyah, agar ikut terasa hambarnya setelah terkunyah beberapa minggu.
Ia bukan lain, ia masih aku, namaku.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

1 komentar: