NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Selasa, 08 Maret 2011

Namaku Tak Hanyut, Ayah


Hari itu kurasuki seorang kawan, dan bukan sebagai aku, kuceritakan masa lalu pada beberapa kawan, lebih tepatnya aibku.
Ya syukurlah, itu dapat menghibur mereka.
Tentang kelamku yang sempat tak disebut anak lelaki oleh seorang ayah.
Tak pernah tersentuh seakan akulah yatim yang terbuang, atau aku sudah mati?
Aku lelaki ketiga yang harusnya secara resmi tertulis dalam silsilah kaum Ksatria namun lenyap, ah mungkin tertinggal saat banjir lumpur yang menghanyutkan namaku.
Pun kala itu belum sewaktu kusebutnya penglahir priaku, hanya bergidik saat ingin kupanggil ia ayah.
Sepertinya aku adalah sebongkah permata yang kusam, bahkan menurut mereka tak berharga.
Tentu kusam tak terlirik satu pasang mata pun meski akhirnya sedikit demi sedikit bongkahanku terkikis.
Seseorang, bahkan beberapa bertanya, mengapa sesadis itukah?
Hanya kujawab senyuman yang mereka suka, lalu mereka pun senyum.
Kulanjutkan.
Oh aku salah, masih ada yang ingin melihat indah pantulan cahaya permataku, maka ia jaga kikisanku agar tak berlanjut, merawat dan kikisan itu membentuk lain yang justru mengubahku menjadi indah.
Suapan bubur halus yang tak pernah kusuka telah membiusku saat kutahu ia, baca saja ibuku, memaksaku perlahan bahkan tanpa berkata, hanya menyalurkan sinar mata yang subhanallah indahnya.
Lambat-laun bongkahanku membaik, lalu kekusamanku diseka dengan wash-lap air hangat dan cahayaku mulai terlihat.
Aku membisu, padanya yang setia menelan kelam kisahku oleh yang aku sendiri tak tahu kusebut apa.
Ayah, dulu bukan ayah.
Mainan di toko itulah favoritku, kutunjuk, namun acuh.
Masih tetap teracuh sampai kuberanjak pada tanah lain.
Lama dewasa ini entah aku sanggup dan berani menyebutnya, ayah, yang lalu mulai kusegan.
Ayah, sekarang adalah ayah.
Mimpiku adalah dua, untuk menyembuhkan mata ayah saat tak bisa melihatku dalam hatinya pada masa cerahku ke depan.
Dan ibu, akan kusodorkan bongkahan permata yang pernah ia rawat, dan kini sangat berharga.
Kawanku menepuk bahu perlahan lalu berbisik, “Permata memang akan selalu hebat.”

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

1 komentar:

  1. aku suka ini.. #permata memang akan selalu hebat :)
    sumpa merinding bulukuduk ku waktu baca ini

    BalasHapus