NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Selasa, 18 Januari 2011

Kutadah Peluhnya

Menghirup ketegangan malam, sesak tak bertumpu.
Menderu di antara keramaian, kuningnya lampu perkotaan.
Kulangkahkan dengan berat, terduduk di antara segala harapan perih dan aku adalah aku.
Jalanan yang kering dan hitam kulirik tak bergeming.
Lalu ranting pendosa tergerak, tertiup angin gundah yang menyelimuti mimpi.
Hening sejenak.
Deru itu terdengar kembali dan kacau parau.
Putih terkontaminasi kapuk yang memang menyesakkan nafas, awan tak undang hujan.
Apakah aku?
Ia berlari dan menyeret kepedihan meski terbebat tak bergerak.
Kesakitan terhapus seakan air mata menyapu untuk sebuah bahagia, ya, ini untukku.
Lampu perkotaan meredup, fajar mulai bergeming.
Kulihat ia masih berontak, tertetes peluh yang kutadah dengan jari hitamku.
Kubasuh wajah dengan peluh sucinya lalu bertengadah dan berucap, “Ini untukku.”
Kini mulai kurintikkan sebuah tangis, akulah harapan.
Kugendong sebuah beban masa depan yang harus kuseberangkan menuju pulau kecerahan.
Sangat berat tertimpa batuan problematika dan terpaku materialistis.
Namun inilah aku, segera kubayar peluhnya.
Tangisnya adalah aku, doanya untuk segalanya.
Sedang kucoba meraih senyumannya.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar