NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Senin, 16 Januari 2012

Tertinggal


Mau berkata apa lagi? Masih mau melawan? Kamu sudah patah sepatah-patahnya, sudah tenggelam jauh dalam jebakan yang sengaja kugali tengah dalam saat semua serigala sibuk menyusui bayi-bayinya. Masih mau mengelak? Kamu sudah hampir kalah, meski saat ini seharusnya sudah tidak seratus persen lagi. Kamu hanya perlu duduk menunggu kaleng-kaleng penadah tetesan hujan dari genting yang akan menjadi rumah baru oleh jentik-jentik nyamuk.

Ada yang kamu lupakan? Ya, kamu bahkan lupa mengucapkan salam perpisahan di hari saat kamu patah (lagi) (sudah berkali-kali). Ini patahmu yang ke-berapa? Aku harus mematahkan berapa lagi? Ini, aku akan masih tetap menyangga kelopak mata dengan batang korek, aku hanya butuh satu batang kecil itu. Tentunya dengan bantuan secangkir kopi hitam seperti biasa.

Baiklah. (Sebentar, aku meneguk kopi sejenak) Aku akan lanjutkan.

Kamu memang lupa, tetapi aku dapat mengerti kamu tak serta-merta melupakan makan malam darah daging untuk aku seperti biasanya, mungkin karena sedang tengah terluka sayatan pada lambung deritamu. Harusnya ada telapak tangan yang kamu peras saat wajahmu mengernying kesakitan karena perih itu (lagi), itu tanganku, harusnya. Kamu di mana?

Malam itu, malam lalu, malam yang pernah terjadi itu, ada nafas yang sengaja kamu tinggalkan di bantalku untuk menggoda mimpiku tiap lelapku, menggoda inspirasiku untuk selalu hanya menulis dan menggambar tentangmu. Gigi yang kamu tinggalkan dan kamu tanam di bawah bantal tidak pernah tumbuh menjadi pohon uang untuk tabungan pernikahan kita nanti.

Kamu di mana, sayang? Kamu di mana, Linda?

PS: Lalu aku menulis ini, diiringi lagu pengantar tidurmu, Efek Rumah Kaca – “Desember”


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar