Sesaat terpikir untuk hujan malam itu.
Ya, Surabayaku diguyur kuyup lagi olehnya, kata mereka telah sepekan lalu hujan terakhir mampir di halaman untuk membuka pagar dan menyapa hutan kecil di depan rumah.
Hujan.
Telah lama hilang.
Aku hanya ingin memanggilnya lagi, dan untuk kubasuh hati kerontangku sesaat setelah tangisku di pagi buta lalu.
Kubaca lantang di depan mimbar puisi mantra itu, kutangisi apa yang aku tak paham menangis untuk apa, masih bergetar nervous genggamanku yang membawa kertas ini.
Kupanggil dan kupanggil.
Sempat tak kudatangkan beberapa kali ia untukku, kini bukan karena inspirasiku dari siapa dan apa.
Masih ingin selalu kupanggil hujanku untukku.
Kupanggil dan kupanggil.
(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)
hujaan..hujaaan..kenapa kau datang hanya untukku? mereka juga butuh rintikmu untuk sekedar melepas dahaga. Aku tahu hujanku dan hujan mereka berbeda, tapi bisakah kau panggil teman-temanmu untuk menyegarkan mereka?
BalasHapus