NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Sabtu, 07 Mei 2011

Namaku Endonesa


Inilah negeriku, Endonesa.
Yang sangat kaya penghasilan.
Kata musisi dahulu, dapat kupetik koin emas dari pohon cemara, niscaya satu koin itu akan digantikan dengan sepuluh ribu koin emas.
Indah, bukan?
Bisa kuminta apapun yang kumau.
Ketika aku lapar, kupetik padi lalu kumakan nasi.
Ketika aku haus, kuayun gelas pada sumber mata air lalu kuminum air matang.
Ketika aku bosan, kubuka pintu rumah lalu kupandang hamparan pemandangan luas.
Ketika aku lelah, kusibak selimut lalu kurebahkan tubuh ceking di atas kasur berbingkai kayu jati.
Ketika aku rindu, kupetik dawai gitar dan menyeduh kopi lalu kuobati sedikit rindu.
Itulah negeriku, saat aku beranjak dari kanak-kanak.

Inilah negeriku, Endonesa.
Yang penuh kaya utang negara.
Kata musisi sekarang, mereka berandai-andai menjadi koruptor yang bisa berlibur keliling dunia meski sedang diburu.
Payah, bukan?
Tak bisa lagi kudapat apapun yang kumau.
Ketika aku lapar, beli makan, bayar.
Ketika aku haus, beli minum, bayar lagi.
Ketika aku bosan, pergi ke tempat wisata, harus bayar.
Ketika aku rindu, kirim pesan elektronik, bayar juga pulsanya.
Itulah negeriku, saat aku mulai berbau tanah.
Sampah-sampah yang mereka buang sangat ringan seperti tak berbobot, ya, memang tak berbobot karena yang dibuang adalah sisa.
Sangat rajin mereka buang segala calon penyakit yang akan memakan mereka sendiri.
Mereka seakan bangga saat sungaiku tak lagi berpenghuni air jernih, namun menjadi sampah.
Dan saat hujan merembah lalu menggenang banjir bandang, mereka demonstrasi mencari kebijaksanaan pemerintah.
Oh, aku sadar.
Yang membuang sampah itu pemerintah, kah?
Lalu mengapa mereka memaksa pemerintah yang menguras banjir itu?
Ah, aku paham.
Mereka mungkin ingin menjadi pemerintah.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar