NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Selasa, 28 Januari 2014

Bapakmu Cinta Aku, Le!

Sambil memakan potongan-potongan nangka yang ditanamnya sendiri di tanah belakang rumah yang beberapa orang percaya itu bekas salah satu pertempuran jaman penjajahan Belanda, ia membawa bayinya ke depan balkon setelah memandikannya. Sekitar pukul tujuh waktu bagian pagi, matahari yang masih relatif hangat kemudian siap menyehatkan bayinya. Iya, jam segini saatnya bayi untuk caring. Lewat obrolan dengan suara lirihnya, ia tetap mengajak mengobrol bayinya meskipun mustahil akan dijawab atau minimal direspon. Sesekali ia selipkan nama bayinya di tengah obrolannya sambil berharap kelak bayinya akan bisa menghafal namanya yang sedikit panjang dan cukup rumit.

“Kamu, nanti kalo udah besar sekolahnya yang pinter, jangan pacaran dulu kalo belum kuliah jelang lulus.” Sesekali bayinya seperti mendengarkan sambil sayup-sayup setengah mengantuk setelah dimandikan ibunya. Bayinya belum berumur genap satu bulan, tapi tingkahnya sudah seperti hampir satu tahun. Bahkan digedong dengan balutan selimut hangat pun ia menggeliat risih. “Jangan cari kerja setelah lulus kuliah, nanti bingung kalo susah dapetnya. Kuliah sambil kerja di akhir-akhir tahun hampir lulus, biar nanti bisa lulus langsung disambung kerja.” Bayinya semakin terlihat berat menahan kelopak matanya lagi.
Tak terasa kemudian matanya sudah basah, padahal ia berusaha menahannya sekuat tenaga agar tak di depan bayinya. Meskipun ia tahu bayinya tak akan mengerti, tapi ia tetap tak mau melakukannya. Si bayi rupanya sudah mendengkur perlahan, lalu disekanya pelipis kanan-kirinya dengan selendang yang menggendong bayinya. “Kamu kerjanya yang kuat, jangan cepat mengeluh. Dicintai pekerjaannya yang tulus tanpa mikir upahnya dulu. Rejeki nggak ke mana kok, Le,” sambil ia berbisik.
“Bapakmu mencintai kerjanya, aku senang.” Setidaknya ketika matahari mulai mendongak ia timang bayinya ke dalam dan tetap mengayun perlahan agar tetap pulas dengan nyenyak. Sambil bayinya lelap, ia tetap mengajaknya ngobrol lirih. “Itu, bapak sama bunda waktu sebelum nikah,” ia menunjuk foto pre-wedding di ruang tamunya. “Yang itu, fotomu waktu baru lahir. Kamu digendong sama bapak, mbahkung, sama mbahti,” foto di sampingnya yang dimaksudnya. “Nah, yang itu, fotonya bapak waktu baru dipromosikan jadi menejer, Le. Lihat seragamnya, mbok, gagahnya bapakmu. Kamu kayak bapakmu lho ya,” sambil terus menatap tajam pada foto suaminya yang memegang topi perusahaan minuman ringan berkarbonasi. Ternyata sudah basah lagi pelipisnya. Kali ini semakin deras. Suaminya terlalu cinta pekerjaannya, melebihi istrinya sendiri. “Sebelum bapakmu akhirnya pergi dinas ke luar kota mengabaikan bunda yang melarangnya cuma karena nggak mau ditinggal kesepian dan meninggalkan kita jatuh di tebing Nganjuk.”


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar