NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Rabu, 22 Januari 2014

Terlambat Sepersekian Detik

Pagi ini ia terbangun dengan sarapan yang terlalu awal. Ia melakukannya tak sesiang biasanya, sekitar pukul enam pagi. Biasanya, ia habiskan sarapannya dengan susah payah sejak pukul setengah satu tengah hari. Terlalu terlambat? Tidak, ia biasa melakukannya. Katanya, perutnya tak biasa mencerna kumpulan makanan-makanan di waktu-waktu yang terlalu dini. Aneh memang, karena orang-orang butuh asupan untuk tabungan energi melakukan aktifitas harian dan memang ia bukan sebagian orang pada umumnya. Ia tak pernah melakukan apapun. Ya, ia tak pernah melakukan apapun sejak kepergian kekasihnya menuju negara lain yang berjarak dua blok dari tempatnya tinggal.
Anehnya, pagi ini ia melawan pantangan itu. Ia nekat melahap nasi demi nasi sedini mungkin karena tak kuat menahan tangis sedih kerinduan pada kekasihnya. Ia paksakan menenggak obat-obat penenang seperti biasanya yang sering ia sebut sebagai alat untuk melupakan kesendiriannya dan kerinduan yang semakin sulit dibendung. Komunikasi sulit menjadi salah satu sebab atas alasannya breaking the habbit.

Malam sebelumnya, ia sampaikan lewat sebuah surat kecil bahwa ia tak bisa lagi mendukung sebab kekasihnya pergi ke tanah orang tersebut. Iya, akhirnya ia jujurkan hal yang membuatnya bengek beberapa kali (sebenarnya tiap malam) karenanya. Ia tuliskan bahwa ia sudah tak sanggup, meminta kekasihnya segera pulang dan kembali melakukan aktifitas yang sebenarnya jauh lebih tak penting dari yang dilakukan kekasihnya di sana. Ia sampaikan, ia tak bisa mendukungnya. “Kamu, segera pulang, Dik!”
Kekasihnya membaca surat kecil ini dengan sesengukan dan ternyata juga sempat sesekali bengek mengiringinya di tengah menggenggam secarik kertas ini. Secepat kilat tanpa berpikir dewasa, kekasihnya memutuskan berhenti dan segera pulang. Sialnya, ia kehabisan tiket kapal hari ini. Ia baru bisa pulang minggu depan. Ia menangis. Ia takut, karena biasanya kekasihnya bisa lebih nekat dari seekor anjing yang sedang lapar dan mencuri daging steak dari restoran setempat. Bahkan sampai makan racun pun.
Minggu depan sudah berlalu, kemudian kapal yang ditumpanginya selesai menyampaikannya ke tanah asal dan segera ia temui kekasihnya sejak ia mendapat surat kecil tadi. Saat membuka pintu, ia senang karena kekasihnya menyambut dengan senyum lebar nan manis serta tangan yang siap memeluknya, dengan posisi terduduk lemas di kursi dan busa putih di antara senyumnya. Ah, sudah terlambat.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar