NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Senin, 25 Agustus 2014

Deskriptif Nonaktif


Selama di kota perantauan yang lain, aku sering berbalas BBM dengan salah satu kawan kuliahku dulu, Nadila. Perempuan berkerudung yang dulu kutahu suka dengan gaya casual dan sepatu sneaker. Dia sering menanyakan kabarku, mengirim pesan di BBM, menghubungiku lewat Skype, berbalas mention di Twitter, dan beberapa bentuk perhatian yang lain. Aku suka dengan perhatiannya.
Pertemuanku dengan Nadila di kedai susu di Kota Malang saat itu adalah yang pertama kali sejak dua tahun kami lulus kuliah. Tepatnya sejak kedekatan kami yang berawal hanya dari media-media sosial dan media maya. Kita sering menyebut sebagai kawan maya. Pertemuan yang sangat berkesan saat itu, dia tidak berubah dengan gaya khasnya yang dulu memang sempat kusuka.
Selain untuk show, salah satu alasanku menerima kembali pinangan untuk plesir ke Malang adalah ingin bertemu dengan Nadila. Entah, meski kami belum jelas berstatus apa -hanya dengan sebutan kawan maya- tapi ingin hati ini untuk menemuinya. Malam ini, setelah mengisi di workshop siang tadi, memang masih sedikit terbayang perempuan yang kukira adalah perempuan berkerudung ungu siang tadi. Aku sangat yakin itu dia. Entah mengapa tadi seperti dia tidak mendengar atau menangkap maksudku.

Kemudian Nadila membuyarkan lamunanku setelah dia memesan yoghurt kesukaannya. Iya, sekali lagi kusempatkan bertemu dengannya senyampang aku pulang di kota keduaku ini. Kami duduk di sofa pojok lantai dua dekat neon box bertuliskan “Kedai Yong Milk” dengan Tian dan perempuannya juga, Rahayu.
Kembali, kami larut dalam mesin waktu menceritakan kebiasaan-kebiasaan saat masih kuliah dulu, khususnya Tian yang sering jadi bulan-bulanan para perempuan tiap Escape meng-cover lagu musisi lain di tiap penampilan kami. Wajar, dari kami berempat, termasuk aku, Tian -menurut survey para wanita- adalah yang paling menawan. Bahkan, Nadila pun pernah menggandrunginya. Kemampuan vokalnya juga tidak bisa diragukan. Jadi, mengapa aku menceritakan Tian?
Nadila. Usia satu tahun di bawahku tak membuatnya terkesan childish. Terlebih, sering di antara chatting kami, dia yang sering bercerita berapi-api tentang organisasinya. Saat ini dia ada di tahun ketiga perkuliahan dan sedang menjabat sebagai menteri -atau setara dengan ketua departemen- di Badan Eksekutif Mahasiswa di fakultasnya. Dia menjabat menteri yang pernah juga kujabat saat aku masih aktif di organisasi yang sama. Hanya, kami berbeda fakultas. Nadila sering mengkritisi kebijakan-kebijakan pejabat kampus yang selalu seenak jidat sendiri. Pun dia juga sering bertanya bagaimana aku membuat kebijakan untuk departemen yang kupimpin tiga tahun yang lalu.

Sama halnya saat ini, Nadila juga banyak menceritakan tentang peliknya permasalahan baru-baru ini sedang in di berbagai media nasional. Aku suka caranya bercerita. Berapi-api, memancarkan aura seorang gadis kritis dengan style yang tetap anggun namun masih casual. Kebiasaannya memakai kaos dilapisi flanel dan bawahan rok panjang bersepatu sneaker. Tak lupa kerudung yang simpel dikenakannya di tiap waktu. Dialek khas Solo yang medhok membuat dia semakin lucu saat bercerita. Aku suka Nadila, dengan perhatiannya, dengan caranya berbicara, dengan kecuekannya pada orang-orang yang sering ingin menjatuhkan karirnya, dan tentunya dengan gaya berpakaiannya yang sederhana. Malam ini dia tidak berbeda dengan biasanya, masih anggun dan sederhana.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar