NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Selasa, 19 Juli 2011

Seperti Kopi

Serba hitam. Di bawah pundak bulan, malam ini aku terengah. Bagaimana tidak? Aku berlari dengan sekali tarik napas melewati sekitar tujuh puluh traffic light di antara penatnya hiruk pikuk sore. Sepertinya jalanan sedang sibuk mengantar pulang pekerja rodi. Aku lemah.

Serba hitam. Aku masih terengah. Keputusanku menelan dentum pinus ternyata benar-benar gila. Tentu aku sakit. Kupaksa mata agar tetap mendapat perhatian khusus di depan cecunguk bangsa.

Serba hitam. Semakin terengah. Pencipta pun mendiskriminasi hak ini agar selalu hidup tanpa hentakan napas di setiap istirahat sejenaknya. Apa bisa? Tentu aku ragu. Harusnya aku mendapat buah segar ketika aku kelaparan di tengah gurun pasir, bukan kehausan. Yang kudapat ternyata hanya simalakama.

Serba hitam. Engah ini parah. Hei, aku punya empat butir obat pelipur duka. Harus kuteguk sekaligus? Satu butir. Lama telah kumiliki dan kudapatnya sejak aku beranjak menengah. Satu butir. Sudah kuanggap sangat lekat layaknya adik. Satu butir. Secara kebetulan kudapat karena seorang teman. Satu butir. Ini yang benar-benar dapat menamparku saat aku habis.

Harusnya masih banyak butir.

Serba hitam. Seperti kopi.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar