NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Selasa, 05 Juli 2011

Kronologi Palsu

Aku benar-benar sedang menangis darah, meminum air kubangan bekas hujan maya yang tak pernah terjadi. Aku sakit, sakit!
Kutelan lima lusin obat tidur, obat penghilang rasa penat, semua yang harusnya menjadi penolak antibodi dalam tubuhku. Semua kutelan mentah-mentah, ingin sekali kurasakan ketenangan. Semua telah berubah, melayang.
Aku memang selalu menjunjung tinggi sebuah ego yang tak pernah dimengerti semuanya, termasuk malaikat pencabut nyawa. Hanya sebuah penyesalan ketika kutemui kebenaran yang tak pernah terpikir matang-matang saat itu, aku benar-benar tenggelam dalam ego ini. Harusnya kutelusur lebih sabar lagi saat ingin kupetik dawai gitar hingga putus karena terlalu kencang kupasangnya. Bahkan sampai rela kuhapus bekas pijakan setelah kubasuh air wudhu fajar itu, ketika benar-benar terbangun untuk sebuah keterpaksaan.
Dunia ini baru, semua serba baru. Aku yang lahir dengan segala keburukan rupa, aku yang lahir dengan segala kesyukuran terhadap apa yang aku punya, serta aku yang lahir dengan segala ketidakpedulian yang aku rasa. Aku seperti memasuki pintu reinkarnasi yang memaksaku bukan ke tempat itu. Ini bukan aku. Benar, bukan aku. Memang segalanya menilaiku lebih dan jauh lebih baik. Namun tetap saja, aku tak pernah dapat merasa berada di sini. Sempat kurasa ingin kembali ke pintu itu, sebelum kumasuki reinkarnasi ini. Apa aku benar-benar pengecut? Kembali tanpa menyelesaikan hidup ini hingga kematian kedua menyambutku?
Terdengar bisikan-bisikan di antara hebatnya angin topan yang merusak atap rumahku dengan sengaja. Aku harusnya menjadi lebih baik, bukan menjadi jauh lebih baik. Aku semakin tua, aku semakin tertatih. Harusnya tak kuhirup kepulan-kepulan asap yang memaksaku mengidap sesak berkepanjangan saat bulan berkuasa. Harusnya tak kuucapkan kata-kata yang semakin memperburuk wajahku di depan semua malaikat pencatat nilai kehidupanku. Harusnya bukan seperti ini. Bukan seperti ini! Lalu apa? Apa lagi yang harus kutangisi? Belum cukup pecundangkah aku?
Aku benar-benar menghilang, tenggelam di balik senja yang turun dan terlihat dari lanskap Pantai Kuta. Aku ditelan oleh dilema, makan-memakan dengan hiu harapan yang tak ada. Sore itu aku menyesal, lagi. Menyesal terhadap apa yang telah kutorehkan di atas kertas kontrak kerja sebelum aku mulai dibayar. Aku merasakan nafasku terengah-engah, ini sudah sangat biasa.
Hei, ini bukan tentang sesuatu yang menyelinap ke dalam pintu reinkarnasiku! Tolong jangan menyela, interupsi, atau apalah! Aku hanya sedang berhenti sejenak, mengumpulkan puing-puing nafasku yang berjatuhan saat maraton panjang yang kujalani pagi tadi. Inilah aku. Aku adalah pecundang kurus yang tak pernah setegas Bung Tomo, orator penggerak Arek-Arek Suroboyo yang dapat menyulut mereka. Aku ini hanya tikus selokan yang terhanyut oleh banjir bekas hujan semalam. Aku tak pernah bisa menelan kenyataan, aku selalu dihanyutmatikan oleh pemain-pemain hati.
Jadi tolong, tarik aku kembali menuju tempat sebelum pintu itu, pintu reinkarnasi itu!

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

1 komentar: