NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Minggu, 19 Juni 2011

Elegi

Malam ini kembali datang, bukan tentang momen yang begitu hebat, namun untuk keterpurukan angan yang terasa menusuk bulu kuduk.
Berawal dari sebuah pertarungan tarik tambang yang bukan memperingati kemerdekaan, pagi buta masih diselimuti kabut hitam dengan penuh kelam, dan kejam.
Cek-cok, masih dalam konteks yang monoton.
Tak mau lagi untuk kuulang yang tak ingin kurasa, karena telah cukup kuhina ludahku saat kusemburkan pada tanah pengganti hujan.

This is about how I can run away from my destiny.
May I take a deep breath for a second?
Sure, I can’t last longer, I’ll pass away.
Bring me out, right away!


Kawan lama menjejalkan seribu kenangan, masa lalu, yang tak pernah kelam dan datar.
Menuju pusat perkotaan Surabaya yang semakin malam semakin bangun dengan gagah, Taman Bungkul pun semakin sesak oleh keringat tawa para penghirup udara malam.
Ini bukan kali pertama untukku, ini yang hebat.

Kawan lama menarik lengan kaosku dan memaksaku menenggelamkan asa burukku malam ini, hanya untuk malam ini.
Kulahap “Ayam Kremes Goreng” khas Taman Bungkul dengan sambal yang menendang semua gundah yang merangkul rapat-rapat kotak tertawaku.
Juga kuteguk jus alpukat gelas jumbo agar dapat kupaksa mengalir gundahku dalam darahku.

Oh, damn!
Tonight, I can’t take a deep breath, because of my broken neck.
Smoke, smoke, and smoke.
Everyone breaks my arms.
Oh, I’m sure I can’t last longer.


Pelarian berlanjut, kini kucoba untuk memasuki dunia yang benar-benar malam, metropolitan.
Alunan musik dari Disc Jockey yang memaksa kaki terbawa dalam hentakan semangat, serta asap-asap sisha yang beragam baunya, semacam buah-buahan.
Aku hanya terduduk, sepi, meski yang terjadi adalah perang lampu berkilauan menerobos kulit ari yang berusaha menghibur pecandu-pecandu gelap.
Kawanku, sangat mempesona dengan gelak tawa yang tak pernah berubah sejak terakhir kutemui mereka di sebuah halte, saat perpisahan kami menuju pencapaian masa depan.
Ya, mereka menghiburku sepenuhnya dalam gelap ini, aku terbahak dalam tiap kedipan kelopak mata.

Mungkin ini sebuah pesta, perayaan sebelum semua direnggut oleh Sang Maut.
Oh, bukan.
Ini tetap malamku di Surabaya, meski tak seindah yang sedang terjadi di depanku.
Aku masih menunggu asap-asap itu datang menghampiri, aku yang sedang menangis dalam aliran penat dan tak pernah tersumbat sampah sedikit pun.
Aku masih dalam tubuhku, juga masih tersadar bahwa namaku adalah aku.
Entah, aku tak ingin malam ini berakhir.

Kopi yang kuminum sangat tak bersahabat, tak enak untuk kuteguk demi menghanyutkan gelapku.
Di sisi lain, harusnya harga kopi ini tak semahal rasanya.
Masih kufavoritkan kopi di warung bersama kawan-kawan pecinta galau.
Oh, ini bukan tentang kopi, maaf.

And I know, tonight will be the night that I’m sick.
Happy, I should happy.
They all try to make me laugh, yeah I’m laughing with them.
However, my heart is crying, blood.
Blood.
Actually, I want my rain, again.


Malam ini hebat.
Hebat.
Dan.
Hebat.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar