Bukanlah akhir dari pikiranku, karyaku.
Beberapa rasa dalam hati, pikiran, dan hidup tertuang tak rapi dalam lembar demi lembar, lalu kutulis perlahan.
Tak pernah egois kuinspirasikan rodaku yang kuanggap berputar sangat monoton, namun juga tentang kincir kawan yang secara cantik mengalirkan air di persawahan.
Juga tentang keindahan berkah dari-Nya yang memberikanku dua orang sempurna bukan bagi orang lain, bunda dan bapak.
Mereka tak pernah menelan kegembiraan untuk mereka dan selalu menelan tangis doa untukku.
Roda yang kuputar selalu berporos pada tempat yang sama, titiknya masih terkunci rapat.
Peluh, penat.
Lusuh, tekad.
Sabtu, 12 Maret 2011
Untuknya, di Kalimantan
Sebuah pagi di Surabaya, lalu kupaksa mata sembab bekas sesal semalam dan kubasuh dengan handuk.
Kudesak adik yang ingin memijak pada tempatku yang sama, segera, hanya untuk keegoisanku.
Hanya untuk kusapa senyumannya, gadis sampul idaman di sekolah.
Kuterjang embun rehat pukul lima tiga puluh tanpa seberkas mimpi, hanya sedikit harapan kosongku.
Pagi itu ingin tertulis sebuah lantunan cinta namun gagal, kutemui ia yang terpojok di sudut ruang sebuah kelas di SMA Giki 1 Surabaya.
Hari itu, ia bertanya, “Siapa gadis beruntung yang kau puja?”
Aku tersipu tak berkutu, seraya menyodorkan sorotan cinta padanya yang pikirku berbalas pula.
Kudesak adik yang ingin memijak pada tempatku yang sama, segera, hanya untuk keegoisanku.
Hanya untuk kusapa senyumannya, gadis sampul idaman di sekolah.
Kuterjang embun rehat pukul lima tiga puluh tanpa seberkas mimpi, hanya sedikit harapan kosongku.
Pagi itu ingin tertulis sebuah lantunan cinta namun gagal, kutemui ia yang terpojok di sudut ruang sebuah kelas di SMA Giki 1 Surabaya.
Hari itu, ia bertanya, “Siapa gadis beruntung yang kau puja?”
Aku tersipu tak berkutu, seraya menyodorkan sorotan cinta padanya yang pikirku berbalas pula.
Jumat, 11 Maret 2011
Penataran Ekonomi
Selama hampir tiga pekan kutelan pil kerinduan tanpa menyisir luka.
Beberapa kesakitan pun harus kuseka dengan betadine sendiri oleh tanganku yang juga tak sempurna.
Masih terasa menyengat, menyengat.
Kupaksa melangkah menuju peron, lalu kumasuki gerbong lima.
Ini satu yang kurindu, berpulang menuju kelahiran dengan mobil berekor enam.
Mengapa?
Aku cinta, memang tak seharga tinggi dan sekelas executive maupun bisnis.
Yang kutumpangi adalah kelas menengah ke bawah, penuh sesak oleh para pengharap keadilan bangsa.
Terduduk di sampingnya yang tertidur pulas oleh kepenatan nyata, aku tersenyum saat melihat beberapa penjuru.
Beberapa kesakitan pun harus kuseka dengan betadine sendiri oleh tanganku yang juga tak sempurna.
Masih terasa menyengat, menyengat.
Kupaksa melangkah menuju peron, lalu kumasuki gerbong lima.
Ini satu yang kurindu, berpulang menuju kelahiran dengan mobil berekor enam.
Mengapa?
Aku cinta, memang tak seharga tinggi dan sekelas executive maupun bisnis.
Yang kutumpangi adalah kelas menengah ke bawah, penuh sesak oleh para pengharap keadilan bangsa.
Terduduk di sampingnya yang tertidur pulas oleh kepenatan nyata, aku tersenyum saat melihat beberapa penjuru.
Kamis, 10 Maret 2011
Hari Ini Pada Tahun Lalu
Sepuluh Maret, di hari yang sama pada tahun lalu, inilah akhir sebuah kisah manis, pun awal sebuah kisah tragis.
Seseorang yang ia harap, puja, serta panutan kala itu menghilang.
Entah, semoga aku tak keliru menirukannya, mungkin dengan sebab kurang kuat.
Ia butuhkan sebuah ketenangan jiwa pun hati, untuk hadapi sebuah akhir dari masa.
Konsentrasi pada sebuah pemikiran memang rumit, tak semudah membeli semangkuk bakso yang kita dapat memilih berapa item yang kita pungut.
Diakhiri karena ingin membuatnya konstan pada satu jalan, salah!
Seseorang yang ia harap, puja, serta panutan kala itu menghilang.
Entah, semoga aku tak keliru menirukannya, mungkin dengan sebab kurang kuat.
Ia butuhkan sebuah ketenangan jiwa pun hati, untuk hadapi sebuah akhir dari masa.
Konsentrasi pada sebuah pemikiran memang rumit, tak semudah membeli semangkuk bakso yang kita dapat memilih berapa item yang kita pungut.
Diakhiri karena ingin membuatnya konstan pada satu jalan, salah!
Rabu, 09 Maret 2011
Bukan Tentang Insinyur
Kumulai ceritaku untuk seseorang yang masih mungil, berpemikiran serba minimal, mungkin hanya menggoreskan sebatang lidi pada pasir dan menuliskan namanya dengan ejaan yang masih keliru.
Ketika ia sampai pada huruf akhir dari namanya, sungguh bahagia yang terlukis pada dagunya tanda ia telah berhasil meski salah besar.
Bahkan untuk menyampaikan sendok pada mulutnya pun sedikit menabrak sebelah kiri bibirnya, lalu belepotan bubur kacang hijau yang ia makan.
Insinyur, itu impian yang terpikir olehnya, namun saat ditanya mengapa, ia hanya tertawa seraya menjawab, “Tak mengerti.”
Sebuah doktrin dari beberapa pengajar di masa kanak memang berpengaruh besar, dogma yang diterima pun sangat mudah terinfeksi ketika seekor nyamuk malaria mencubit kulitnya, mudah sekali.
Langganan:
Postingan (Atom)