NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Kamis, 18 September 2014

Sepenggal Elegi


Sampai juga akhirnya di ujung gang panjang ini. Luar biasa memang rasanya. Lelah, lega, puas, “akhirnya”, dan mungkin, sedikit bangga. Ya meskipun harusnya ada satu rasa bahagia ketika akhirnya sampai di ujung perjalanan panjang ini, tapi memang belum muncul juga rasa itu.
Sudah pagi. Tapi aku merasa masih gelap, dan, udara juga masih pengap. Meski begitu, rasaku sudah mati karena sepertinya ini bukanlah pagi. Ini adalah sebuah elegi. Kira-kira seperti itu yang kaugambarkan di dalam petikan lagumu, sebuah lagu yang kemudian banyak dirasa merefleksikan rasa beberapa orang. Sebuah lagu yang entah disengaja atau tidak dibuatnya, tapi akhirnya sedikit “meledak” di hati penggemarmu, iya, kamu memang idola.
Lagu itu kemudian kuputar-ulang, mungkin saat aku menulis ini, sudah terulang tujuh kali, atau delapan kali. Saat ini aku sedang depresi, menyusur kota mati dengan mobil tua dan sisa bensin yang tak lagi banyak, dengan iringan lagumu. Hanya lagumu. Aku tak punya banyak stok lagu karena memang aku tak suka musik. Musikmulah yang bisa kugilai. Terima kasih, ngomong-ngomong.

Kanan-kiri sudah sepi. Pasca wabah penyakit asing beberapa minggu lalu di sini, semua orang sudah phobia pada tempat tinggal mereka di sini. Pantas saja, dari populasi seribu kepala keluarga di kota kecil ini, hanya tiga ratus kepala keluarga yang selamat, termasuk aku. Eh, termasuk aku? Iya, entah aku termasuk yang selamat atau tidak. Kata orang, aku ditemukan tergeletak membeku dengan posisi badan sedikit menggulung di dapur. Waktu itu sedang ada pembasmian massal penyakitnya dengan semacam fogging. Aku belum sempat menyelamatkan diri. Untungnya, aku segera diselamatkan. Sayangnya, aku tak tahu siapa yang menyelamatkanku.
Entah, aku sudah termasuk selamat atau tidak. Meskipun sampai aku menulis ini dan masih bernapas serta bisa mendengarkan lagumu, aku merasa tak sehat. Mataku normal, pernapasan juga, kaki-tangan masih aktif, jari-jari juga masih lihai, otot-otot tak ada yang kram atau melilit, perut sedikit lapar, dan hanya saja hati dan empedu yang kurang berfungsi normal, utamanya jantung yang harus berdenyut dengan bantuan alat medis yang lebay. Kamu pasti heran, lalu bagaimana bisa aku berkemudi dengan mobil butut ini? Iya, aku bisa. Hingga akhirnya sampai di ujung pagi, di tengah gelap, pada suasana pengap udara fajar. Ini aku yang menunggumu, yang seharusnya menjemput aku yang sedang sakit. Menunggumu, yang seharusnya kamu mengantarku, bukan aku yang mencari. Eh, bukan, kamu bukan tak mengantarku. Untuk bisa sampai sini, kamulah yang mengantarku, meski bukan ragamu yang ada, hanya sisa-sisa semangat yang kamu tinggalkan pasca aku terbangun bahwa kamu hanya sekadar mimpi sore hari.

Selamat datang, elegi.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar