NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Selasa, 14 Januari 2014

Aku Tak Suka Hujan

Siang itu sengaja kubangunkan kesadaranku tak sepagi biasanya. Dan sialnya, hujan dan hujan lagi seperti lima hari yang lalu sebelum aku datang ke sini. Lima hari yang lalu, hujan datang tujuh kali duapuluh empat jam nonstop dan menghiasi jalanan desa dengan lempung-lempung cokelat muda hasil tanah yang basah secara rutin. Lempung-lempung itu rupanya tak hanya mengaliri jalanan becek yang masih minim aspal di desa ini, namun terlalu parah hingga serta-merta mengeruhkan air laut dan sesekali membawa sampah yang terseret sampai ke pesisir pantai. Suasana lima hari yang lalu mampu kugambarkan secara klise menurut kabar yang kudengar dari beberapa penduduk lokal.
Pantai Ngliyep, Kabupaten Malang, 2014

Minggu, 12 Januari 2014

Pernah Berkacamata

Sebuah Kedai Makan, Kota Malang, 2014
Aku pernah berkacamata, dulu saat masih rajin aku berduduk rapi dengan pemuda-pemuda nganggur di atas trotoar jembatan. Iya, aku pernah melakukannya. Gila, kan? Aku pernah berkacamata sejak masuk dunia kuliah. Sebuah dunia yang banyak siswanya yang sudah maha sering mengeluh bahwa tugas itu kejam, skripsi itu pembunuh, atau bahkan dosen itu tukang pemberi harapan.
Kuputuskan berkacamata hanya untuk kesehatanku. Kata dokter, mataku berpenyakit langka yang aku sendiri lupa namanya lima menit setelah beliau memberitahuku namanya. Aku suka berkacamata. Imejku pun sekejap menjadi laki-laki yang identik dengan kacamata dan seakan sudah menjadi karakter.

Hujan di Januari Sore

Hujan tidak sehebat dulu saat aku menggilai. Bahkan saat ia mulai dihujat khalayak dengan beruntun dan aku turut di antaranya. Aku ada di barisan depan meneriakkan untuk berhenti karena hujan mulai sangat mengganggu. Buktikan, di kehidupan ibukota, jarang sekali orang-orang bekerja dengan hujan. Mayoritas ia sama sekali tak bersinergi dengan keseharian semua umat. Sudah semakin sulit menemukan logika bahwa aku pernah menyukainya bahkan tak separah aku membencinya saat ini.
Seperti sore ini, di kedai makan kecil ketika senja mulai menjelang. Langit berbalut gerimis cerah mengiringi buruh-buruh kehidupan yang serempak namun tetap berebut siapa dulu yang sampai rumah dan jumpa istri anak masing-masing. Sesekali terlihat pria muda kuyup tergesa hampir celaka meliuk lincah menyalip kendara demi kendara. Mungkin sudah ereksi dan tak tahan. Mungkin pengantin baru.

Jumat, 10 Januari 2014

Desember Tidak Jahat

Aku bukan tak suka Desember, tapi Desember selalu menarik urat tertawaku, kemudian menyembunyikannya di balik senja yang salah satu adikku pernah tak suka tentangnya. Dia di tahun lalu melancarkan senyumku, dan mungkin terlalu lancar hingga meluncur terlalu licin. Terlalu licin dan terlalu remeh dan akhirnya dilecehkan. Diinjak. Ditusuk. Kemudian aku diam.
Desember bukan jahat. Dia hanya sedang tak suka dengan aku yang tersenyum sumringah. Desember pagi ini masih pekat selegam air muntah para penjajah. Tetibanya ada pesan di kotak surat yang menyuruhku membawakan sekotak bekal makan siang berisi elegi dan segala kenangan apapun.

Kamis, 09 Januari 2014

Aku dan Cerita Nopember

Pantai Ngliyep, Kabupaten Malang, 2014

Sudah Nopember. Hujan sudah cukup lama datang saling sambut dengan riuh suara roda gerbong komuter berdecit pada besi-besi tua yang melintang. Pun aku sudah cukup lama tak menumpahkannya lagi pada tuts mesin ketik, menumpahkan ragam rasa yang tiga tahun sebelumnya kurangkum rapi dalam buku cerita.
Ini Nopember, yang banyak orang bersikeras menuliskannya November dalam bahasa Indonesia. Tentang sebuah waktu saat gerimis mulai risih disebut gerimis padahal disebut hujan pun ia tak. Bahkan disebut badai sekalipun semakin tak. Gerimis tiap pagi mulai dan cukup mengganggu dengan membangunkan aku yang semalam menghabiskan dua setengah ronde dengan istriku. Mungkin logis jika aku belum ingin terjaga. Ini sudah Nopember.