NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Minggu, 22 Januari 2012

Daur Ulang

Mungkin bukan Iwan Fals, ia berhasil menaklukkan rakyat tanpa kampanye bahwa ia pantas jadi pemimpin mereka, hanya berdasarkan musiknya yang tak rumit.


Mungkin bukan Andik Vermansah, ia berhasil mengalihkan media dunia bahwa ia pantas bersanding di samping David Beckham, hanya berdasarkan ia terjatuh dari sontekan sang bintang.


Lalu aku siapa? Aku ini anak siapa? Kepada siapa aku bernafas?


Aku ini hanya aku. Aku tetap aku. Kumuh. Sampah. Lembab. Bau. Kepada tempat sampah yang telah tercuci rapi. Aku ini aku. Aku yang mencintaimu seperti aku mencintaimu. Aku mencintaimu pada pagi.


Pernah kau merasakan kepada siapa aku berkeringat saat berlari? Itu kau.


Atau, haruskah aku pergi, lalu dileburkan beserta sampah lain?


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Selasa, 17 Januari 2012

Tanggung Jawabkan Rinduku


Ini buat kamu.

Hei, kamu, kan?

Kamu yang di sana, ya, kamu.

Kamu indah, meski sesekali menafsirkan mimpiku dengan, eh, hanya setengah dari mimpiku.

Tanpa kamu, dari mana aku bisa meraih sebuah tanya, bahwa aku harusnya bisa.

Ya, sepucuk amplop hijau berisi beasiswa, itu dari Tuhan, dan lewat semangatmu, kan?

Tanpa kamu, dari mana aku bisa meraih sebuah mimpi, bahwa aku memang bisa.

Bahkan aku tak pernah sebelumnya mencintai dunia menulis, kamu mengenalkannya padaku, dan maaf, aku lebih mencintainya dari padamu, mencintai menulis yang sangat baru untukku.

Senin, 16 Januari 2012

Tertinggal


Mau berkata apa lagi? Masih mau melawan? Kamu sudah patah sepatah-patahnya, sudah tenggelam jauh dalam jebakan yang sengaja kugali tengah dalam saat semua serigala sibuk menyusui bayi-bayinya. Masih mau mengelak? Kamu sudah hampir kalah, meski saat ini seharusnya sudah tidak seratus persen lagi. Kamu hanya perlu duduk menunggu kaleng-kaleng penadah tetesan hujan dari genting yang akan menjadi rumah baru oleh jentik-jentik nyamuk.

Ada yang kamu lupakan? Ya, kamu bahkan lupa mengucapkan salam perpisahan di hari saat kamu patah (lagi) (sudah berkali-kali). Ini patahmu yang ke-berapa? Aku harus mematahkan berapa lagi? Ini, aku akan masih tetap menyangga kelopak mata dengan batang korek, aku hanya butuh satu batang kecil itu. Tentunya dengan bantuan secangkir kopi hitam seperti biasa.

Baiklah. (Sebentar, aku meneguk kopi sejenak) Aku akan lanjutkan.

Sabtu, 14 Januari 2012

Lemah

Aku masih belum bisa mencerna apa yang sulit aku makan,

aku memang tak pernah melakukan yang terbaik

Ini yang kausebut menang?

Aku bahkan tak paham terhadap apa yang telah kuhirup,

saat itu aromanya sarapan pagi bumbu pecel

sementara aku belum memakan satu sentipun


Aku tidak berkata ini sudah habis, aku tidak berpihak pada malam

yang kini selalu bersahabat denganku,

mungkin tidak selalu, namun sering ia menengok aku di tengah sepiku

Bertukar hembus nafas yang akhirnya berembun pada lenguh


Beberapa detik aku menyapa pada gerimis yang menyertakan badai

lalu menyusul pada hujan deras dengan tangisan parau

Ini yang dinamakan kalbu?

Kepada angin aku berteriak

“AKU LAPAR!”


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)

Minggu, 08 Januari 2012

Ekspresif

Di sana aku sedang berpijak. Di tempat yang kamu bilang pijakan paling nyaman untukmu. Di tempat yang kamu bilang akan kamu kenalkan aku pada ibumu suatu saat nanti jika kamu siap. Maaf, sekali lagi.

Aku patahkan kamu lagi. Aku berhasil mengukir bekas tumpuan kakiku di rumahmu, yang kamu bilang tak akan siap mengajakku bercanda tawa saat ini. Kamu bilang, kelak, lekas, jika memang telah waktunya. Pun aku berhasil meraih kedua tangan kanan orang yang kamu cintai meski kamu beberapa kali dibuatnya memanen air mata. Ini seperti mimpi.


“Saat malam hatimu mencari dalam lelahmu memikirkanku. Namun aku yang ada di sini hanya terdiam dan membayangkan...

Seandainya kudapat menemanimu malam ini hilangkan sepi. Seharusnya ku ada di sisimu dan kuterjaga hingga kau terlelap mimpi...”

(The Titans – Seandainya.mp3)


Aku patahkan kamu, lagi-lagi lagi. Ya, sampai berkali-kali aku berhasil mematahkan satu-per-satu penamu. Ini bukan tanpa alasan. Ini yang harus aku lakukan, kupatahkan satu lalu selanjutnya lagi. Misiku memang itu, mematahkan hingga habis, lalu siap meminangmu di podium pernikahan kita, kelak. J


PS: Maaf mematahkan penamu lagi. Kali ini tintanya membekas di kakiku, dan sengaja kujejakkan di beranda rumahmu.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)