NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Minggu, 15 Mei 2011

Asapku di Antara Bangunan Tua


Bangunan tua, di siang yang mendung.
Matahari tak berdaya saat awan mengelabui kokohnya terik dan hanya bersisa rintik gerimis.
Adakah pelangi yang menyusul kegalauan siang itu?
Masih percayakah pada gumpalan asap yang rajin menemaniku saat amarah sedang meletup-letup?
Lagi-lagi aku dibuatnya naik pitam, oleh mereka yang tua-tua namun berlaku seperti kanak-kanak.
Hebat sekali memancing di antara kolam kepenatan kehidupan Senin sampai Kamis, lalu masih juga menyerang pada hari liburku di Jumat sampai Minggu.
Pahamkah bahwa aku mengantuk meski telah kuteguk lima drum kopi beserta ampas-ampas yang penuh dengan ketidakpentingan?
Ampas itu seraya membuntukan saluran pembuangan di wastafel yang sempat kukucurkan darah nadiku semalam saat aku terjaga.
Ah, lagi-lagi mereka.

Sabtu, 14 Mei 2011

Malam Itu...

Hmm.
Setahun setengah yang lalu, di Gedung Balai Pemuda Surabaya.
Asap dan kepul rokok mengibas kepenatan jiwa.
Manis dan pedas rasa jagung juga sempat mampir di depan Gedung Balai Kota Surabaya.
Terduduk di samping monumen patung pahlawan.
Revoku kesepian, aku tinggalkan ia dengan standard samping.
Berkeliling tengah malam Surabaya.
Hmm.
Aku termenung malam itu.
Batinku, tak akan terjadi lagi malam seperti ini.
Lalu aku berkata di balik asap-asap yang kuhembuskan, "Itukah hidup?!"
Cuih!
Kopiku malam ini pun hambar, sangat datar menggarisi hidupku.
Kuingat, sekitar 7 batang kuhabiskan dalam beberapa jam di malam itu.
Malamku di Surabaya yang tak pernah tidur.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Sabtu, 07 Mei 2011

Namaku Endonesa


Inilah negeriku, Endonesa.
Yang sangat kaya penghasilan.
Kata musisi dahulu, dapat kupetik koin emas dari pohon cemara, niscaya satu koin itu akan digantikan dengan sepuluh ribu koin emas.
Indah, bukan?
Bisa kuminta apapun yang kumau.
Ketika aku lapar, kupetik padi lalu kumakan nasi.
Ketika aku haus, kuayun gelas pada sumber mata air lalu kuminum air matang.
Ketika aku bosan, kubuka pintu rumah lalu kupandang hamparan pemandangan luas.
Ketika aku lelah, kusibak selimut lalu kurebahkan tubuh ceking di atas kasur berbingkai kayu jati.
Ketika aku rindu, kupetik dawai gitar dan menyeduh kopi lalu kuobati sedikit rindu.
Itulah negeriku, saat aku beranjak dari kanak-kanak.

Selasa, 03 Mei 2011

Lalu Ia Terkulai...

Malamku di kamar VIP ruang Emerald Tiga Rumah Sakit Permata Bunda Malang, dengan separuh hati yang terkulai lemas di atas kasur pasien sebelah kanan kasur penjaga.
Bekas muntahan meski telah dipel dan dibersihkan, masih melekat di lantai, meski telah disemprot dengan pelicin lantai.
Belum pernah kujalani malam ini selama hampir dua dekade hidup, bukan aku berharap seperti ini.
Tentang yang kurasa malam ini, takut dan resah sangat aktif berkecamuk dalam gejolak hati dan senantiasa berdisko ria di atas keringat dinginku.
Tersentak kala kudapati ia telah merebah di tempat ini.
Tifus, katanya.

Senin, 02 Mei 2011

Jancok


"Sesuatu dapat menjadi buruk jika semua orang mengecap hal itu sebagai buruk."
(Sudjiwo Tedjo di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya, 30 April 2011)

Bukan tentang keburukan tinta yang menggores pada lembar folio.
Ya, aku sangat paham frasa itu berasal dari tanahku, dan bukan berarti sangat buruk.
Lihat saja, adakah dosa dalam kitab kita saat kita lantunkan nada yang dianggap para tetuah sebagai frasa yang hina dan sangat berdosa?
Hahaha, tak akan kau temukan.
Itu dan itu, sekali lagi hanya sekedar budaya dari nenek moyang tanah kita yang melarang para cecunguk penuh ingus dan sangat mudah dibodohi agar menjauhi hal buruk.
Aku setuju pada beberapa awak yang mengiyakan tak ada yang buruk jika bukan kita sendiri yang mensugesti menjadi buruk.
Hanya tentang pemberian makna dari nenek moyang.
Frasa ini dari tanahku, bukan tempat tinggalku saat ini.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)