NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Minggu, 11 September 2011

Lalu Lintas Galau

“Semalam macet. Aku terjebak macet 2 jam loh, lama banget. Padahal jarak kampus ke rumah normalnya cuma 20 menit. Hebat kan? Aku gak mau bahas apa penyebab macet yang membosankan itu, tapi aku pengen bahas apa aja yang terjadi saat macet.

Lampu lalu lintas gak berfungsi sebagaimana mestinya, ya, karena saat nyala warna hijau, mobil-mobil, motor-motor, dan kendaraan lainnya tetap berhenti dan antri. Pemandangan yang bisa aku lihat pun gak ada yang beda selain punggung-punggung mobil dan beberapa wajah pengendara yang tentu terlihat bosen dan mungkin agak emosi. Aku tahu mereka pasti capek, ini udah jam 10 malam. Terlebih mereka yang naik kendaraan umum kayak angkot dan bus kota. Bayangin aja, mungkin motor ku masih bisa jalan meskipun cuma 1 meter per jam, tapi bus kota dan truk-truk serta mobil-mobil pasti lagi nahan emosi banget gak bisa jalan sama sekali.

Di kota tempat persinggahanku ini iklimnya dingin, harusnya memang gitu. Lupakan, aku sekarang lagi tenggelam di lautan macet. Keadaan sangat pengap, panas, dan labil. Suhu 26 derajat Celcius sama sekali gak terasa, lebih kayak suhu 40 derajat Celcius.

Itu bukan pertama kali aku terjebak macet. Udah 3 kali. Dan tadi malam pengalaman terjebak macet yang paling singkat, 2 jam. Pernah malah sampai 6 jam tanpa bergerak sedikit pun. Bingung tuh mau pipis di mana coba?

Lalu lintas semalam lagi galau, banget. Padahal harusnya aku seneng. Ini analogi yang kurang pas, kurang sama sekali.”


Dan bukan karena itu, tapi karena yang satunya lagi, yang berikutnya. Atas segala penyembuh yang telah diberi dan digoreskan perlahan di hati. Yang galau bukan aku, namun lalu lintasnya. Aku? Kegirangan!

Jumat, 09 September 2011

Sajak Bahasa Inggris (Bukan Tak Nasionalis)


This is about a poem, not a politic.

So, do not talk anything except a poem.

I love poem.

I write a poem without a politic’s influence.

Not about nationalist, this is about feeling.

I love INDONESIA.


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Rabu, 07 September 2011

Naik Daun


Namaku mulai melambung tinggi, lebih banyak orang yang dapat mengenaliku meski aku bersembunyi di balik topeng genderuwo ini. Sebelumnya, saat kugunakan wajah asliku, tak sedikit yang mencaciku dan mencambukkan benang berduri di balik punggungku. Aku hanya bisa bungkam, tak mungkin aku berani membalas ribuan penjalin itu.

Kini di balik topeng, aku jauh lebih baik. Mungkin kebetulan. Tapi, ini bukan kebetulan! Ini murni atas usahaku membalikkan namaku dari keterpurukan bekas wajah lamaku. Meski bertopeng menjijikkan, aku tetap dielu-elukan.

Aku mulai tak terkalahkan. Maaf jika sedikit sombong. Aku hanya sedang bangga, mungkin yang kalian sebut sedikit sombong. Tapi aku tak pernah sombong. (Pikirkan, apa yang kusombongkan dari topeng ini?). Aku bahagia namaku tak sebusuk dulu, meski hanya bersembunyi di balik pembohongan ini.

Di balik sebuah topeng genderuwo, aku tetap mengais berjuta pasang mata untuk merebut perhatian mereka, hanya padaku. Kini milikku, setiap cahaya yang jatuh ke bumi adalah tertuju pada ke-glamour-an hidup baruku.

Saatnya menunggu, sampai topengku terbuka secara sengaja maupun tidak, ketika itu semuanya akan terlempar terbalik padaku. Dan saat itu, mungkin aku sudah mati.

(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Selasa, 06 September 2011

Dia

Dia berharga (dulu)

Dia sahabat (dulu)

Dia sayang kamu (dulu)

Dia terima kamu apa adanya (dulu)

Dia mau memaafkan segala keluh kesahmu (dulu)

Dia rela berkorban tiap malam menangis saat kamu menangis (dulu)

Dia tidak pernah lupa menamparmu saat kamu terjatuh dengan bodohnya (dulu)


Dia telah pilih jalannya (sekarang)

Dia punya yang terbaik, untuknya (sekarang)

Dia menangis bukan lagi di pundakmu (sekarang)

Dia pilih tanah yang membuatmu alergi (sekarang)

Dia menghapusmu dengan cat baru miliknya (sekarang)

Dia bukan dirinya (sekarang)

Kamu harus bangun

Segalanya telah ditamparkan padamu, masih mau tertidur pulas?

Dasar bodoh!

Ah, sayangnya ini kutulis untukku sendiri


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)

Minggu, 04 September 2011

Rasanya Linu, Bukan Sakit

Malam itu harusnya aku terbuai oleh terik cahaya bulan

Aku dibawa melayang, meskipun aku tahu akan sakit saat terjatuh

Bahkan di tengah-tengah awan, kuhirup beberapa kemunafikan karbondioksida

Sesaat aku terkapar dan sesak, namun berhasil kustabilkan pernapasanku

Ini hebat, belum pernah aku terbang setinggi ini

Baru kutahu jatuh dari ketinggian yang berlebihan itu rasanya linu, bukan sakit biasa

Terlebih saat dibanting, bukan hanya dijatuhkan

Bukan hanya sakit, namun juga linu

Sengaja kuulang agar semakin menegaskan aku sedang sakit

Meskipun hanya dengan satu pengucapan malam yang menutup hariku, juga mataku

Rasanya linu, bukan sakit


(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)