Senin, 30 April 2012
Fals
Jumat, 20 April 2012
Pesimistis
Jumat, 06 April 2012
Lilin Kecil
Patah.
Aku tak pernah tahu jika aku adalah lilin kecil yang mereka nyalakan saat listrik mati. Aku tak pernah tahu jika saat itu mereka membakar tubuhku perlahan, lalu menyalakan salah satu temanku yang lain untuk menggantikan aku. Iya, mereka dengan mudah membakar aku dan kami seperti jongos-jongos keluarga elit yang sengaja membakar sampah jika tukang pengambilnya sedang absen karena pura-pura sakit, biasa, sedang malas.
Aku pernah menulis tentang aku bahwa aku adalah sampah, aku adalah sampah, dan aku adalah sebongkah sampah yang tercecer dari truk pengangkut dan diinjak-injak roda-roda itu.

Haruskah aku tekankan lagi? Aku ini sampah! Atau setangkai lilin kecil yang sedang menyala dan tersisa 3/4 bagian saja? Sama sajalah, yang penting aku adalah yang mereka sisihkan, yang mereka pejamkan, yang mereka injak-injak serta jambak-jambak rambutnya.
Aku adalah serpihan-serpihan mimpi yang telah robek satu-per-satu karenanya, ya! Ia telah merobeknya! Aku telah menyerpih, syukurnya adalah karena aku masih bersisa. Sekarang aku menyusun serpihan sampah-sampah dan limbah-limbah lilin itu, aku telah hangus.
Aku pernah punya mimpi, ya, sebelum mereka bakar karena mereka butuh penerangan itu. Aku pernah punya, aku sedikit lupa di mana pernah kutata harapan-harapan itu dengan rapi, kususun berdasarkan abjad-abjad tetesan air mata. Aku pernah punya mimpi, sebelum aku menjadi sebingkai luka dari lilin yang telah terpatah-patah, lalu mati.
Saat itu, aku telah ia miliki. Penuh. Dalam hatinya, aku patah.
(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)
Rabu, 04 April 2012
Mosaik
Aku ini siapa? Masihkah aku tetap sama?
Sama dengan aku yang masih sampah dan bekas
Sama dengan aku ketika masih tak berpakaian dalam dan berdiri di tepi mimpi
Sama dengan mereka di rumah lonte yang menjajakan keperawanannya
Apa aku (masih) sama?
Aku ini siapa? Aku kehilangan aku
Kehilangan ke mana aku bermimpi
Ketika itu aku mengadu pada palang tebing, aku rindu sore
Di tengah peraduan tenggelam matahari pukul enam petang
Di sana aku masih mengais puntung-puntung harapan yang pernah aku gambarkan
Memanfaatkan celana dalam bekas darah menstruasi pekerja seks yang memaksa bekerja
Aku ini (masih) siapa?
Aku rindu
Di alam baru itu, aku membaca pelangi-pelangi yang lebih berfragmen
Di sini lebih bermosaik
Ah, aku tetap aku
Harusnya aku tetap aku
Patahkan aku
Silakan
(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)